jpnn.com, JAKARTA - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik menilai laporan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto ke Komnas HAM dan meminta Presiden RI Keenam Susilo Bambang Yudhoyono bicara tentang kasus 27 Juli (Kudatuli) merupakan upaya politik yang sudah kesiangan.
Dia mengatakan memanfaatkan momentum kasus 27 Juli merupakan ritual politik PDI Perjuangan sejak SBY mengalahkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputi pada Pilpres 2004.
BACA JUGA: Masalahnya di Pak SBY Sendiri, Rakyat Tahu Itu
"Tapi memanfaatkan kasus 27 Juli adalah ritual politik PDIP sejak Pak SBY mengalahkan Ibu Megawati dalam Pemilu 2004," kata Rachland, Jumat (27/7).
Dia menjelaskan peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) terjadi 1996. Kini atau 22 tahun kemudian, kata dia, pasti akan banyak kesulitan mengungkap karena banyak sumber informasi yang sudah tidak ada. “Misalnya, Pak Harto. Belum lagi bicara alat bukti,” katanya.
BACA JUGA: Banteng DKI Masih Butuh Sosok Politikus Senior Ini
Menurut dia, jika serius mengusut demi keadilan bagi para korban, kesempatan pertama dimiliki Megawati pada 2001 saat menjadi presiden. Megawati bisa menggunakan pengaruhnya untuk membuka jalan bagi investigasi, seperti yang kuat didesak masyarakat.
“Sayang, Mega memilih diam. Bahkan mengangkat Pak Sutiyoso, Pangdam Jaya saat kejadian menjadi Gubernur DKI," jelasnya.
BACA JUGA: Hasto Persilakan TGB Masuk PDIP
Pada 2004 Megawati malah menghalangi penyidikan Tim Koneksitas Polri atas kasus 27 Juli dengan alasan pemilu sudah dekat. "Tak ada nama SBY dalam daftar orang yang disangka oleh Tim koneksitas Polri," katanya.
Kesempatan kedua datang saat negara didesak membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang sudah dimulai sejak Habibie masih menjabat Presiden. Inisiatif masyarakat sipil mengikuti pengalaman Afrika Selatan ini menghadapi resistensi. Fraksi PDI Perjuangan sejak Mega menjabat Presiden bukan saja tidak pernah mendukung, tapi paling keras menolak.
“Sebagai Ketua Umum PDIP, Mega tidak memerintahkan fraksinya menyetujui inisiatif itu. Padahal bila komisi terbentuk, Megawati mendapat alat yang kuat untuk mengungkap 27 Juli," ujarnya.
Nah, kata dia, saat para korban 27 Juli masih keras berteriak, Mega memilih berkompromi demi melindungi kekuasaan politiknya. Mungkin juga karena Megawati mengkhawatirkan political backlash.
"Jadi nilai sendiri saja apa maksud laporan Hasto ke Komnas HAM itu sekarang, 22 tahun sejak para korban 27 Juli ditinggalkan Megawati," pungkasnya.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PDIP Masih Istimewakan Sosok Jusuf Kalla
Redaktur & Reporter : Boy