jpnn.com, JAKARTA - Indonesia masih dihadapkan oleh tantangan baru dan ketidakpastian ekonomi pada tahun ini.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan dunia saat ini dihadapkan dengan ancaman reflasi.
BACA JUGA: Perlu Diversifikasi Ekspor untuk Antisipasi Resesi Global
Reflasi adalah istilah dari risiko resesi yang terjadi di sejumlah negara disertai dengan tingginya inflasi.
Reflasi pada dasarnya adalah pertumbuhan ekonomi yang melambat atau bahkan negatif yang dibarengi dengan inflasi yang tinggi.
BACA JUGA: Kemenperin Sebut Penerapan Zero ODOL Picu Kenaikan Inflasi Tahun Ini
Selain itu, tingginya tingkat inflasi juga membuat bank sentral di beberapa negara menaikan suku bunga acuan, bahkan suku bunga tinggi diprediksi akan terus berlanjut.
Meskipun demikian, kenaikan suku bunga acuan diprediksi bisa kembali turun pada semester II-2023.
"Kami memperkirakan akan naik lagi dari 4,5 persen menjadi lima persen. Ada lagi yang memperkirakan 5,25 persen dan puncaknya di kuartal I dan kuartal II 2023," ujar Perry dalam keterangan resmi, Minggu (15/1).
Inflasi Akhir Tahun Tidak Terhindarkan
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Desember 2022 mencapai 0,66 persen secara month-to-month (mtm) dibandingkan bulan sebelumnya.
Adapun penyumbang inflasi Desember ialah makanan, tembakau, sektor perumahan, air, BBM hingga transportasi.
Berdasarkan sebaran wilayahnya, inflasi tertinggi terjadi di Kotabaru sebesar 8,65 persen dengan IHK sebesar 119,83 dan terendah terjadi di Sorong sebesar 3,26 persen dengan IHK sebesar 110,95.
Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan inflasi tahun ke tahun atau Desember 2022 terhadap Desember 2021 terjadi sebesar 5,51 persen.
Kemudian, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan sebenarnya Indonesia sudah merasakan imbas dari resesi global pada sebagaian sektor.
Misalnya, pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada beberapa pabrik tekstil pakaian jadi, alas kaki, hingga di sektor digital.
"Selain biaya impor mahal maka harga barang yang dijual di Indonesia akan makin tinggi. Ini tentu akan membuat inflasi lebih melonjak dari saat ini," ungkapnya.
Untuk itu, Bhima mengimbau pemerintah Indonesia harus segera mengeluarkan paket kebijakan untuk mengantisipasi dampak tersebut.
"Pemerintah harus segera menyiapkan paket kebijakan yang meliputi relaksasi pajak pertambahan nilai atau PPN dari 11 persen menjadi delapan persen," kata Bhima.
Lebih lanjut, kebijakan lain yang diperlukan, di antaranya tambahan alokasi dana perlindungan sosial, bantuan subsidi bunga yang lebih besar bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"Misalkan pada dana kompensasi kenaikan BBM, padahal masalahnya bukan soal inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM," tegasnya.(mcr28/jpnn)
Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Wenti Ayu Apsari