Ivan Mbatik Habibie, Ayung Pilih 'Enak Jamanku To'

Sabtu, 09 Agustus 2014 – 08:43 WIB
PROYEK ISTANA: Ivan Hariyanto di depan lukisan B.J. Habibie yang sudah jadi. Foto: Robby L for Jawa Pos

jpnn.com, JAKARTA - SEMUA berawal tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertandang ke Istana Kepresidenan Jogjakarta. Di istana yang juga disebut Gedung Agung itu tersimpan aneka karya seniman-seniman top tanah air. Terdapat lebih dari 700 lukisan, 350 patung, dan 5 ribu seni kriya.

----------------
Doan Widhiandono/Zalzilatul Hikmia
----------------
Salah satu yang memikat mata SBY kala itu adalah karya Adam Lay. Pelukis realis tersebut punya lukisan superbesar tentang Pak Harto Bapak Pembangunan.

BACA JUGA: Presiden Ingatkan Kembali Soal Penanganan Asap Riau

’’Pak SBY bilang, rasanya bagus juga kalau setiap presiden diabadikan dalam bentuk lukisan seperti ini,’’ ungkap Ivan Hariyanto, satu di antara enam pelukis yang ketiban sampur ’’proyek’’ melukis enam presiden RI itu, ketika ditemui di rumahnya di Surabaya pada Juli silam.

Ivan kebagian melukis Bacharuddin Jusuf Habibie, presiden ketiga RI yang memimpin pada periode 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999.

BACA JUGA: SBY dan Istri Dapat Kaos dari Christiano Ronaldo

Siang itu, di pengujung Ramadan, Ivan sedang melihat-lihat lukisan besarnya di rumahnya yang sejuk dalam naungan pohon kamboja yang berbunga. Lukisan cat minyak di kanvas berukuran 3 x 1,5 meter persegi itu sudah mendekati ’’sempurna’’. Setidaknya bagi orang awam seni. Ivan sendiri menyebut itu ’’relatif selesai’’.

’’Dianggap selesai ya selesai. Tapi, kalau mau ditambahi kecil-kecil, ya pasti ada yang ditambahi,’’ ungkap seniman kelahiran Banyuwangi, 18 November 1955, itu.

BACA JUGA: Menelusuri Sisa-Sisa Kejayaan Lan Fang, Republik Pertama di Indonesia (2)

Ivan menjadi salah seorang pelukis potret presiden itu setelah ’’dijawil’’ Konsultan Seni Rupa dan Benda-Benda Purbakala Istana Negara Agus Dermawan Tantono. Secara kebetulan, kurator kawakan tersebut juga asli Banyuwangi. Dia juga seperti Ivan, lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI –kini melebur di Institut Seni Indonesia) Jogjakarta.

Namun, Agus memilih Ivan bukan lantaran faktor per-konco-an itu. Sebagai kurator yang dipercaya istana, Agus memang memilih pelukis-pelukis realis yang hebat. Kiprah dan karya mereka tentu sudah diakui jagat seni rupa Indonesia.

Selain Ivan, lima pelukis lainnya adalah Melodia Idris (Jogjakarta), Dede Eri Supria (Jakarta), Ayung alias Lim Hui (Jakarta), Robby L. (Jakarta), dan Gunawan Hananjaya (Solo). Berdasar penilaian Agus, para pelukis tersebut kebagian jatah wajah presiden satu per satu. Mereka dilihat atas dasar karakter realisnya.

’’Kebetulan saya dinilai cocok dengan karakter Habibie yang cepat, namun sederhana,’’ ungkap Ivan.

Dede Eri Supria lain lagi. Dia punya gaya brush stroke (sapuan kuas) yang cepat. Cocok dengan karakter Presiden Soekarno yang cepat dan berapi-api saat berpidato. Lalu, Melodia kebagian melukis Presiden SBY, Ayung menggambar Pak Harto, Gunawan melukis Gus Dur, sedangkan Robby Lulianto kebagian Presiden Megawati.

Yang terang, Agus tidak asal tunjuk. Dia harus menyaring ratusan pelukis dari seluruh Indonesia. ’’Tapi, katanya, banyak pelukis yang tidak sanggup. Mereka takut deadline,’’ ujar Ivan yang sudah mengadakan lebih dari 100 pameran (tunggal dan bersama) sejak berkarya sekitar empat dekade silam itu.

Perjumpaan Ivan dengan Agus Dermawan terjadi secara informal di acara pameran ilustrasi Kho Ping Hoo di House of Sampoerna Surabaya pada Februari lalu. Awalnya, Agus tidak memberikan informasi apa pun soal proyek istana kepresidenan itu.

’’Dia hanya tanya, ’Van, lukisanmu yang berukuran 3 x 1,5 meter regane piro?’,’’ kata Ivan. Pertanyaan itu dijawab Ivan sekenanya saja. Dia tidak pernah membayangkan akan mendapat proyek besar dari Agus.

Tidak berapa lama, Ivan mendapat e-mail tentang penunjukan dirinya dalam proyek renovasi Museum Seni Rupa Gedung Agung Jogjakarta. Dan, meskipun awalnya informal, karena itu proyek negara, prosedur demi prosedur resmi pun harus diikuti Ivan.

Misalnya, dia mesti menunjukkan delapan desain lukisan di hadapan panitia di Sekretariat Negara (Setneg) terlebih dahulu. Delapan desain itu lantas disaring menjadi lima, lalu diperas menjadi dua, dan akhirnya dipilih satu.

Yang disyaratkan Setneg adalah lukisan yang konsepnya seperti lembaran mata uang. Foto utamanya sosok presiden yang bergaya realisme fotografi. Artinya, ya persis plek dengan foto. Soal itu, Ivan tidak kesulitan. Realisme memang dia lakoni sejak lama.

Karena itu, Presiden B.J. Habibie pun hadir bak potret. Ketelitian Ivan ’’mbatik’’ (istilah untuk mengejar detail-detail kecil) diuji. Drapery (lekuk-lekuk kain) jas Habibie muncul. Kerut-kerut di wajah terlihat. Bahkan, pori-pori serta urat di tangan pun tidak ketinggalan. Seperti foto yang dicetak dengan cat minyak pada kanvas.

Sosok realis itu lantas ditunjang dengan gambar-gambar impresionis tentang karakter presiden pada lukisan tersebut. Soal itu, Setneg membantu pelukis agar bisa mencitrakan para presiden itu secara pas. Gambar impresionis itu harus dituangkan secara monokrom. Yakni, menggunakan satu warna beserta gradasi-gradasi dekatnya. Persis dengan warna sephia.

Habibie sendiri dicitrakan sebagai presiden dengan sejumlah prasasti besar. Antara lain, kemerdekaan pers, penegakan hukum, dan kemajuan teknologi. Oleh Ivan, itu diuangkan lewat gambar Jembatan Barelang, hanggar pesawat N-250, dan CN-135 yang mengangkasa. Selain itu, terdapat lukisan-lukisan koran yang digambarnya secara sangat realis.

’’Aku itu tidak bisa menggambar kalau tidak persis,’’ ujar sulung tujuh bersaudara itu.

Maka, gambar yang seharusnya ’’sekadar’’ impresionis terkesan jadi realis. Meskipun, warnanya monokromatik sehingga berkesan surealis. Pulau dilukis tidak hanya sebagai gumpalan hitam di cakrawala. Tapi, bentuk-bentuk pohonnya –juga ilalang– pun terlihat. Begitu pula, gambar hanggar yang begitu detail, lengkap dengan sejumlah teknisinya yang sedang wira-wiri.

’’Wah, nggambar hanggar ini mati rasane,’’ ujar dosen luar biasa di Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya itu lantas tertawa.

Karena itu, Ivan berani bilang bahwa karyanya sudah melampaui syarat-syarat teknis yang sudah ditetapkan panitia proyek. ’’Alhamdulillah, saya merasa terhormat jadi pelukis istana,’’ ujarnya.

Lukisan gede itu dirampungkan Ivan tiga pekan. Itu pun dia merasa santai sekali, tidak terburu-buru. ’’Saya punya banyak waktu mbatik,’’ kata mantan ketua presidium Dewan Kesenian Surabaya itu.

Soal deadline, Ivan relatif tidak punya masalah. Sebab, dia memang tipe pelukis yang karyanya tidak bergantung mood. Baginya, kalau tidak melukis, dia tidak bakal punya karya. Dan kalau tidak punya karya, dia nggak makan. ’’Apalagi, ini berkarya untuk negara,’’ kata Ivan.

Kharisma Bu Mega

Meski telah beberapa kali melukis Megawati Soekarnoputri, Robby Lulianto mengaku masih sedikit kesulitan mengerjakan proyek kepresidenan tersebut. Hal itu disebabkan pihak istana secara khusus meminta pose lukisan Megawati berbeda dari yang sebelumnya. Sementara itu, referensi foto presiden kelima yang diberikan pihak istana terbatas.

Setelah beberapa kali mencari referensi, pelukis kelahiran Jakarta yang memulai karir melukis 34 tahun silam itu akhirnya berhasil menemukan pose Megawati yang pas. Pose tersebut diperoleh dari kumpulan foto pidato kenegaraan Mega. Di foto itu Mega tersenyum dan melambaikan tangan kepada hadirin.

Sayangnya, foto itu memiliki resolusi rendah. Walhasil, dia kesulitan saat menuangkan di kanvas. ’’Fotonya pecah saat di-zoom. Cukup susah memperoleh detailnya,’’ ujarnya ketika dihubungi di rumahnya kemarin (8/8).

Robby perlu lima bulan untuk merampungkan lukisan potret putri Bung Karno itu. Demi menyelesaikan proyek tersebut, pelukis 53 tahun itu sampai rela menolak order yang datang kepadanya. Sebab, menurut dia, (melukis Presiden Megawati) itu bukan melukis biasa. Tapi, sebuah kehormatan dipercaya untuk melukis mantan orang nomor satu di Indonesia tersebut.

’’Meski prosesnya memakan waktu beberapa bulan, hasilnya cukup sempurna. Saya sangat puas,’’ ungkapnya.

Robby mengaku masih sering terkesima melihat sosok Megawati dalam lukisannya. Kharisma dalam diri Mega membuatnya selalu senang melukis ibunda politikus Puan Maharani itu.

’’Thanks God, saya bisa mentransformasikan kharisma beliau dalam lukisan saya,’’ ujarnya lega.

Lain halnya dengan pelukis Ayung alias Lim Hui Yung, yang kebagian melukis Presiden Soeharto. Pernah mencicipi zaman Orde Baru membuat dia tak kesulitan untuk menggambarkan sosok Soeharto di kanvas. Ide-ide komposisi untuk mengenalkan pribadi presiden kedua itu pun dengan mudah dia peroleh.

’’Sebagai bapak pembangunan, sosok Pak Harto lekat dengan gedung-gedung bertingkat sebagai latar. Juga suasana panen padi untuk menggambarkan swasembada pangan. Dan, tak lupa pada masa-masa perjuangan membantu Jenderal Soedirman. Kira-kira seperti itu,’’ papar Ayung.

Bagian tersulit saat mentransformasi sosok Pak Harto dalam kanvas ialah mencari foto utama yang pas. Setelah beberapa lama menyelami dunia maya dan beberapa koleksi foto Soeharto, pria kelahiran 52 tahun silam itu akhirnya memutuskan untuk menggunakan foto Soeharto yang sering muncul menjadi meme.

’’Saya pilih foto Pak Harto yang ’enak jamanku to’. Beliau melambaikan tangan, kesannya lebih dekat dengan rakyat,’’ ungkapnya.

Ayung mengatakan perlu tujuh bulan untuk menyelesaikan lukisan berukuran 3 x 1,5 meter persegi itu. Dia harus mengumpulkan mood setiap akan menyelesaikan garapannya. Apalagi, dia juga harus merampungkan order lukisan yang lain.

’’Belum lagi ada perubahan-perubahan mendadak yang diminta pihak istana. Di satu sisi ini memang tantangan. Tapi, di sisi lain harus di-setting ulang. Diatur lagi balance-nya, lumayanlah,’’ ujarnya.

Seperti halnya Ivan dan Robby, Ayung menyatakan sangat puas dengan hasil akhir karyanya. Pelukis yang sangat suka melukis orang utan itu merasa terhormat atas kepercayaan yang diberikan kepadanya. ’’Tidak bisa dimungkiri, ini merupakan prestise bagi saya,’’ tandas Ayung. (*/c4/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Konsil Dokter Bersumpah di Hadapan Presiden SBY


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler