Jadi Standar Produk Heinz, Gratiskan Royalti buat Jatim

Kamis, 14 Maret 2013 – 08:15 WIB
Tamara Allaf (kiri) menjelaskan hasil penelitiannya di hadapan jajaran pimpinan Jawa Timur di KBRI Perancis. Foto Yuyung Abdi/Jawa Pos
ILMUWAN bukanlah sosok yang tinggal di menara gading. Dua ilmuwan Prancis, ayah dan anak, mewujudkan hal itu dengan menciptakan mesin pemroses buah dan sayur.

Pemprov Jatim akan memproduksinya secara masal buat petani hortikultura di Jawa Timur. Berikut catatan wartawan Jawa Pos ABDUL ROKHIM yang akhir bulan lalu berkunjung ke Prancis.
--------------
Rombongan Pemerintah Provinsi Jawa Timur tak punya banyak waktu saat berkunjung ke Paris, Prancis, akhir Februari lalu. Untuk menekan biaya akomodasi, semua acara yang disepakati dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Prancis harus tuntas dalam 24 jam.

Karena itu, pemimpin rombongan, Asisten Bidang Pembangunan dan Ekonomi Sekdaprov Jawa Timur Hadi Prasetyo, sejak awal keberangkatan menetapkan agenda pembicaraan, alokasi waktu, bahkan target negosiasi dengan ketat.

"Semua harus disiplin, jangan sampai kita tidak mendapat apa-apa dari kunjungan ke Prancis ini," tegasnya.

Datang saat hari baru saja terang, pukul 08.30 waktu setempat, rombongan yang terdiri atas para kepala dinas, kepala bidang, serta pejabat eselon II tersebut menjadi tamu paling pagi KBRI di Paris.

Untunglah, mitra dialog dari Prancis, yakni lembaga kajian asosiasi pemerintah daerah Prancis, Brest Metropole, dan Universit" de La Rochelle, juga sudah hadir tepat waktu. Karena itu, tanpa membuang banyak waktu, perundingan pun berlangsung.

Perundingan pertama dengan Brest Metropole berjalan mulus. Pemprov Jatim yang diwakili Hadi Prasetyo meneken letter of intent (LoI) dengan Vice Director of Brest Metropole Oceane M. Michaek Morvan. Tiga kesepakatan dalam LoI itu adalah pengembangan bio-resources seperti perikanan, pengembangan rumput laut, dan budi daya perairan.

Sesi kedua, setelah diselingi coffee break, suasana lebih segar. Tidak hanya karena mata lebih melek, namun karena hadirnya dara semampai dengan rambut pirang kemerahan. Saat memperkenalkan diri kepada Hadi Prasetyo dengan menyebut nama Tamara Allaf, seluruh delegasi sadar, dia pasti punya hubungan spesial dengan tamu yang ditunggu-tunggu, Prof Karim Allaf. "Benar, saya putrinya," sahut Tamara dengan cepat.

Seperti sang ayah, Tamara juga menjadi pengajar di Universit" de La Rochelle. "Mohon maaf, Profesor Karim ada acara sangat penting pagi ini juga, sehingga meminta saya sebagai wakil khusus beliau untuk menemui tim dari Indonesia," jelas Tamara.

Tentu, kehadiran Tamara memarakkan pertemuan. Tidak hanya karena paras cantiknya. Namun, Prof Karim Allaf siap menawarkan pembuatan alat pengering tepat guna temuannya yang diberi nama DIC (D"tente Instantan"e Contr"l"e).

"Ini temuan penting bagi Jawa Timur. Sebab, dengan mesin DIC ini, masalah tahunan limbah dari pengolahan sayur dan buah karena proses pascaproduksi bisa teratasi," ujar Hadi.

Proses mengenai paparan Hadi itu kemudian ditunjukkan oleh presentasi Tamara. "Kami membantu petani untuk mendapatkan proses pengeringan yang mudah, namun tetap menghasilkan produk turunan dengan kualitas terbaik," ujarnya.

Dia menyebutkan, dengan mesin DIC, beberapa masalah pengeringan seperti tekstur yang tidak menarik, nilai gizi yang rendah, serta kekhawatiran adanya kontaminasi bisa dikurangi.

Di pasar komersial, proses pengeringan DIC sudah diimplementasikan ke berbagai produk terkemuka seperti semua produk Heinz, di Indonesia terkenal dengan kecap dan saus ABC. Tamara, mengutip pernyataan sang ayah, menjanjikan penyerahan izin penggunaan produknya kepada Universit" de La Rochelle.

"Meski hak paten masih ada di ayah, beliau menegaskan tidak akan memungut uang atau royalti apa pun atas penggunaan mesin DIC oleh pemerintah Jawa Timur," tegasnya.

Di sela pertemuan, Tamara menceritakan, DIC adalah karya penting ayahnya yang lahir 57 tahun lalu di Tripoli, Lebanon. "Sebagai perantauan, ayah ingin meraih kemakmuran dengan sekolah setinggi-tingginya," ungkap Tamara.

Karena itu, setelah menamatkan pendidikan sarjana di Universit" Paris-Sud 11 pada 1976, Karim langsung melanjutkan ke program doktor. "Beliau dalam lima tahun menjadi doktor ilmu fisika dengan spesialisasi plasma temperatur rendah," jelasnya.

Ketekunan Karim berlanjut. Pada 1981, dia mengembangkan keahlian ke teknik kimia bidang termodinamika, sehingga diganjar gelar PhD dan associated professor.

Meski sudah lama tertarik, Tamara mengungkapkan, ayahnya baru serius mempelajari sistem DIC saat bergabung dengan Universit" de La Rochelle pada 1994. "Beliau memiliki banyak kesempatan menyempurnakan penemuannya karena memimpin LMTAI (Laboratory Mastering Technologies for Agro-Industries)," ceritanya.

Secara keseluruhan, kini Prof Karim Allaf memiliki 9 paten atas temuannya, telah menerbitkan 216 jurnal internasional, dan sedang menjadi supervisor untuk 28 mahasiswa yang sedang mengejar gelar PhD.

Secara sederhana, Tamara menjelaskan prinsip kerja mesin pengering bersistem DIC. "Biasanya, untuk mengawetkan buah atau sayur, dilakukan pengeringan dengan memanfaatkan sinar matahari," jelasnya.

Cara itu memang murah, apalagi di Indonesia yang mendapat sinar matahari sepanjang tahun. Namun, cara tradisional tersebut mengundang masalah karena menghasilkan tekstur yang tidak menarik, nilai gizi yang rendah, serta kekhawatiran adanya kontaminasi kuman. "Akibatnya, hampir 60 persen buah dan sayur yang diolah pascapanen terbuang jadi sampah," sebutnya.

Dengan sistem DIC, pengeringan dilakukan lewat mesin. Treatment pertama, buah dan sayur yang sudah dipotong dalam bentuk selai atau keripik dimasukkan dalam kondisi vakum (hampa udara). Pada saat bersamaan, dilakukan injeksi uap sehingga menghasilkan tekanan dalam tempo singkat.

"Kemudian, secara tiba-tiba tekanan diturunkan sehingga buah yang dikeringkan mengembang, namun dengan tekstur yang masih bagus," jelasnya.

Proses itu dilakukan berulang hingga didapatkan hasil pengeringan maksimal (kandungan air minim), tekstur terjaga, sekaligus sudah dekontaminasi kuman. "Secara bersamaan, tiga masalah pengeringan dengan matahari teratasi," terang Tamara.

Metode itu sudah diterapkan secara luas di beberapa negara Asia seperli Laos dan Kamboja. Untuk Indonesia, Karim pernah mempresentasikan langsung di depan akademisi Universitas Surabaya (Ubaya) tahun lalu.

Meski tidak didemonstrasikan langsung, hanya lewat dokumentasi video, tim Pemprov Jatim cukup puas atas kelebihan proses pengeringan DIC. "Ini akan mengatasi masalah petani mangga dan tanaman keras lain yang selama ini sulit mendiversifikasi produk," kata Hadi Prasetyo.

Kesediaan Prof Karim Allaf merelakan royalti jika mesin pengering sistem DIC diproduksi masal cukup melegakan. "Kami akan pelajari sistemnya serta mencari produsen manufaktur yang bisa membuatnya di Jawa Timur," tegas Hadi.

Jika dari uji coba sistem operasi tidak menyulitkan petani, akan dilakukan upaya produksi masal. "Dengan DIC, petani mangga tidak hanya bisa dapat uang dari jual mangga, namun juga dari penjualan keripik, selai, serta produk turunan mangga lainnya yang berkualitas," ujar Hadi. (*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sempat Dianggap Tukang Pijat, Kini Jadi Tempat Curhat

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler