jpnn.com - JAKARTA - Hengkangnya dana asing (capital outflow) menjadi salah satu perhatian serius sebagai imbas terus lemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Kepemilikan investor asing di instrument saham mencapai 60 persen dan di Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 37,8 persen.
BACA JUGA: Alihkan Subsidi BBM, Makin Yakin Kejar Target Proyek Besar
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan koordinasi secara intensif dilakukan dengan Bank Indonesia (BI) bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
BACA JUGA: Curigai Ada Permainan di Pasar Uang
"Yang kami lakukan jaga surat berharga negara kita, krena 30-an persen punya asing. Memang ada outflow tapi tidak banyak. Kita jaga supaya tidak jual," ucapnya di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), kemarin.
Bambang melihat sudah ada mekanisme untuk jaga SBN tetap stabil. "Secara keseluruhan SBN aman dan terkendali. Kami dapat informasi mereka (investor asing) anggap ini kondisi eksternal yang tidak ada urusannya dengan fundamental Indonesia. Jadi mereka percaya fundamental kita baik," akunya.
BACA JUGA: Rupiah Melemah, Eksportir-Importir Terpukul
Terkait dengan bursa saham yang mengalami penurunan cukup signifikan sejalan dengan pelemahan nilai tukar Rupiah, dinilai Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Ito Warsito sebagai situasi normal karena bursa saham global juga mengalami hal yang sama.
"Kita lihat bursa saham hari ini (kemarin) mengikuti tren global. Kita memang hari ini turun 1,6 persen. Tapi kalau kita lihat jepang, Singapura, turun lebih dari 2 persen. Bursa Jerman kemarin juga turun 2,7 persen. Jadi penurunan IHSG tidak istimewa, tidak perlu membuat panik para investor," kata dia, kemarin.
Begitu juga dengan terus terjadinya penjualan oleh investor asing di bursa saham Indonesia. Investor melakukan hal tersebut karena merespon sentiment negatif atas segala situasi yang ada termasuk penurunan nilai tukar Rupiah.
"Ada penjualan di obligasi negara sekitar Rp 10 triliunan, sehingga mengakibatkan nilai tukar mendadak melemah terhadap USD dan itu diikuti oleh investor saham," ungkapnya. Pada perdagangan kemarin investor asing melakukan penjualan bersih (foreign net sell) sebesar Rp 1,24 triliun.
Namun sisa pembelian bersih oleh investor asing (foreign net buy) sebesar Rp 46,2 triliun sejak awal 2014 sampai dengan kemarin, kata Ito, masih sebagai sejarah tertinggi di bursa saham Indonesia. "Kita tidak perlu khawatir berlebihan," kata dia.
Ito mengatakan, situasi saat ini masih jauh lebih ringan dibandingkan terjadinya Euro Zone Crisis pada 2011. Saat itu tercipta kepanikan namun akhirnya bursa saham Indonesia tetap tumbuh positif.
"IHSG sekarang juga masih tumbuh double digit. Maka masih belum perlu dilakukan tindakan khusus di bursa saham. Saya melihatnya kondisi ini masih normal. Kalaupun harus jadi perhatian BI bagaimana jaga stabilitas exchange rate. Yang penting stabilitas. Tidak fluktuatif. Volatilitasnya dijaga," harapnya.
Ito juga menyarankan investor tidak terpaku pada doomsday scenario dimana investor asing jual portofolio seluruhnya. "Dalam kenyataan, tidak akan terjadi. Investor asing tidak akan pernah mau nge-dooms karena mereka akan rugi sendiri. Mereka akan jaga harga. Di saham atau obligasi sama," yakinnya.
Jika investor asing jual secara sekaligus, kata Ito, tidak mungkin terealisasi sepenuhnya sebab misalnya baru terealisasi 20 persen saja harga saham dan obligasi langsung anjlok.
"Sebanyak 80 persen sisanya sulit untuk mereka selamatkan. Harga sudah keburu anjlok dan mereka pasti tidak mau rugi. Yang ada nanti malah investor domestik yang panen. Meskipun tidak akan terjadi, tetapi dalam rangka antisipasi kondisi itu tetap dipertimbangkan," paparnya.
Lalu bagaimana jika Fed Funds Rate (suku bunga acuan di AS) benar-benar naik oleh The Fed?
"Kalau The Fed naikkan suku bunga di sana, yield obligasi pemerintah Amerika menjadi menarik. Tapi investor asing tidak akan segera pergi dari Indonesia. Buang barang lalu pindah. Tidak akan. Karena kalau rugi, dapat sedikit. Keuntungan di AS tidak akan menutupi kerugian di Indonesia. Di sisi lain, begitu fed rate meningkat, investor lain yang tadinya tidak tertarik masuk Indonesia, akan masuk Indonesia. Jadi akan tercipta equilibrium baru. Saya tidak tahu persis equilibrium yang ingin dicapai BI seperti apa," ulasnya.(gen)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pasang Target Tahun 2017 Capai Swasembada Garam
Redaktur : Tim Redaksi