Jaksa Agung Dicap Tak Punya Prestasi Menonjol

Senin, 21 November 2016 – 06:55 WIB
Jaksa Agung M. Prasetyo. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Rapor merah dua tahun kinerja Jaksa Agung M. Prasetyo terus disuarakan berbagai pihak. 

Setelah ICW dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), kini giliran mantan Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Halius Hosein yang bersuara. 

BACA JUGA: Sendau Gurau tapi Tetap Bahas Isu Penting

Menurut dia, selama dua tahun menjabat jaksa agung, Prasetyo tidak menunjukkan peningkatan kinerja. Termasuk dalam penanganan korupsi ''Tidak ada prestasi yang menonjol,'' kata Halius kemarin (20/11). 

Selain tidak ada prestasi menonjol, Halius mengkritik penanganan perkara yang tak tuntas. Banyak tunggakan perkara di era Prasetyo. Halius juga menyoroti kuatnya dugaan adanya intervensi politik dalam penanganan sebuah perkara. Karena itu, dia mendesak Prasetyo untuk membenahinya. 

BACA JUGA: Tabrakan KMN Mulya Sejati-MV Tay Son, 12 Korban Berada di Lamongan

"Jangan sampai ada intervensi politik. Jaksa agung harus membuktikan bahwa tidak ada intervensi,'' papar dia. 

Prasetyo memang berlatar belakang politikus. Sebelum menjabat jaksa agung, Prasetyo adalah anggota DPR dari Nasdem.

BACA JUGA: Kecelakaan Kapal Kembali Terjadi, Dirjen Hubla Beri Peringatan Nakhoda

Selain itu, Halius mengkritik sistem mutasi dan promosi yang dinilai tidak fair. Menurut dia, baru kali ini jaksa agung digugat bawahannya karena dinilai tidak adil dalam melakukan mutasi dan promosi. 

''Gugatan dari internal seperti itu belum pernah ada,'' ungkapnya. Jaksa agung harus bijaksana dalam memutasi dan mempromosikan pegawai. Kinerja dan prestasi harus menjadi acuan. ''Bukan karena faktor kedekatan atau like and dislike,'' ungkapnya.

Dia menambahkan, jaksa agung harus tegas kepada bawahan yang melakukan pelanggaran. Baik pelanggaran disiplin maupun pidana. Jika ada jaksa yang melakukan korupsi dan pidana lain, jaksa agung harus tegas dalam memberikan sanksi. 

Selama ini ada beberapa jaksa yang terbelit kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kejaksaan bisa bekerja sama dengan KPK untuk mengusut dan mendukung penanganan perkara tersebut.

Dengan adanya masukan dan kritik dari ICW dan lembaga lain, kejaksaan harus berbenah diri. Kritik dari eksternal itu menjadi bahan perbaikan agar kejaksaan lebih baik. Kritik tersebut didasari pada fakta yang ada. ''Kenyataannya seperti itu, ya harus diterima,'' papar Halius.

Sementara itu, MaPPI FHUI menyoroti buruknya pengelolaan anggaran perkara. Peneliti MaPPI FHUI Aulia Ali Reza mengatakan, jaksa agung tidak serius dalam menangani masalah pengelolaan anggaran di instansinya. Misalnya, menyangkut target anggaran penanganan perkara. Pada 2016 anggaran yang disiapkan hanya untuk penanganan 81.869 perkara. Padahal, pada tahun sebelumnya, anggaran yang dialokasikan untuk 120 ribu perkara.

Selain alokasi total anggaran perkara, masalah lain muncul dari satuan anggaran perkara. Saat ini kejaksaan hanya mengalokasikan anggaran Rp 3 juta hingga Rp 6 juta per perkara. ''Anggaran tersebut disamaratakan untuk seluruh wilayah kejaksaan negeri (kejari) tanpa ada pembedaan jenis perkara,'' jelas Ali.

Persoalan anggaran tersebut berdampak pada kinerja kejaksaan. Pertama, terkait kualitas penegakan hukum. Misalnya, jaksa akan menekan biaya yang diperlukan dalam proses pra penuntutan dan persidangan. Menurut Ali, jika hal itu terjadi, kualitas penanganan perkara tentu tidak bisa maksimal. ''Kedua, keterbatasan anggaran akan membuka potensi praktik korupsi,'' ujarnya. Pernyataan Ali itu setidaknya terbukti dari banyaknya oknum jaksa yang bermain dalam penanganan perkara. 

Di luar perencanaan anggaran, MaPPI FHUI bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga menemukan 200.000 berkas perkara yang statusnya tidak jelas. Temuan tersebut muncul setelah mereka mencocokkan antara jumlah berkas perkara pidana umum yang dikirimkan kepolisian dan berkas pidana umum yang diterima kejaksaan. 

''Jadi, koordinasi antara kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan perkara juga tidak baik,'' kata Ali. Hal tersebut tentu tidak dapat dibiarkan karena penundaan proses hukum bisa berlarut. Hal itu juga berdampak pada pelanggaran hak kepastian hukum, baik dari korban maupun tersangka.

Sebenarnya sejak 2015 ada strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan program tersebut, seharusnya penerapan sistem penanganan perkara terintegrasi antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan bisa dilakukan. ''Sayangnya, penerapan sistem ini belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh jaksa agung,'' tegas Ali.

Mengenai permasalahan barang sitaan, barang rampasan, denda, dan uang pengganti, MaPPI FHUI punya pandangan yang sama dengan ICW. Mereka sepakat bahwa jaksa agung tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Prasetyo tidak mampu memaksimalkan masuknya uang negara yang menjadi tugas instansinya. (atm/lum/c7/nw/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bantu Cari Korban KMN Mulya Sejati, Kemenhub Kerahkan Kapal


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler