Jaksa Agung Ungkap Peran Penting Pers Dalam Penegakan Hukum

Kamis, 03 Desember 2020 – 20:21 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin. ilustrasi Foto: ANTARA/Istimewa

jpnn.com, JAKARTA - Jaksa Agung ST Burhanuddin menerangkan pers punya peran yang sangat penting dan strategis dalam proses penegakan hukum di Indonesia.

Khususnya yang dilakukan jajaran Kejaksaan Agung. Informasi akurat yang disampaikan pers terkait proses penegakan hukum bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan Agung.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Rizieq Minta Maaf, Kapolri Kumpulkan Jenderal dan Kombes, Ketum Ansor Kirim Ratusan Banser

Hal itu disampaikan Burhanuddin saat menjadi pembicara kunci dalam acara media gathering bertema “Sinergisitas Puspenkum dengan Insan Pers Dalam Penyajian Berita Untuk Meningkatkan Public Trust Kejaksaan RI” di Jakarta, Rabu (2/12).

"Saya sangat berharap media juga dapat membantu Kejaksaan dalam proses penegakan hukum," kata Burhanuddin.

BACA JUGA: Animo Peminat Program Jurnalis Ubah Laku Tinggi, Dewan Pers Buka Pendaftaran Lagi

Burhanuddin menyebut media massa bisa mendukung penegakan hukum dengan menyampaikan informasi atau berita yang benar dan akurat, meminimalisir pemberitaan negatif, serta bisa membantu meningkatkan kepercayaan publik demi terciptanya citra positif bagi Kejaksaan.

Kejaksaan sangat membutuhkan kehadiran pers dalam memerangi berbagai macam berita yang tidak tepat, fitnah, dan ujaran kebencian, serta misinformasi yang menyerang dan mendeskreditkan institusi Kejaksaan, sehingga bisa memperlemah penegakan hukum dan berujung kepada menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap Kejaksaan.

BACA JUGA: Jaksa Agung ST Burhanuddin Dorong Pemiskinan Koruptor Supaya Mereka Jera

"Tentunya saya juga akan terus mendorong Kejaksaan untuk lebih baik lagi dalam hal menyajikan informasi, akurasi data, dan kecepatan yang dibutuhkan oleh para awak media, sehingga dalam pemberitaannya diharapkan tidak ada kesalahan data dan narasi yang dapat memengaruhi perspektif masyarakat terhadap Kejaksaan," ujarnya.

Burhanuddin kemudian menyampaikan bahwa beberapa bulan belakangan ini banyak berita yang cenderung bersifat negatif dan mendeskreditkan Kejaksaan.

Pada dasarnya Kejaksaan tidak antiberita negatif sepanjang pemberitaan tersebut didasarkan pada data dan fakta.

"Berita negatif justru kami pandang sebagai bahan koreksi untuk memperbaiki institusi kami dan tentunya kami sangat berterima kasih atas koreksi tersebut," ujarnya.

Namun, ada kalanya terkadang muncul berita negatif yang tidak didukung oleh data dan fakta, bahkan terkadang tidak dikonfirmasi ulang. Tentunya ini sangat disesalkan. Mengingat pemberitaan seperti ini, tidak hanya menurunkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga Kejaksaan, tetapi juga dapat meruntuhkan kualitas penegakan hukum yang tentunya pada akhirnya akan merugikan masyarakat.

Setelah Jaksa Agung menyampaikan pemaparan, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), Sunarta, dan Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo. Sunarta menyampaikan, pihaknya tengah mengubah pola pikir soal penegakan hukum.

"Kejaksaan saat ini sedang melakukan perubahan mindset, kita melakukan pencegahan, dan represif itu last resource dan tindak pidananya sangat serius," ujarnya.

Selain itu, pihkanya juga terus mengupayakan restorative justice. Dia mencontohkan suatu kasus, yakni seorang ibu mencuri 1 boks susu di minimarket karena tidak punya uang. Sementara anaknya yang masih kecil sangat membutuhkan susu.

Begitupun yang terjadi di Garut, Jawa Barat. Seorang ayah mencuri gawai karena tidak punya uang untuk membeli alat komunikasi tersebut untuk menunjang anaknya belajar secara daring.

Menurutnya, kejadian tersebut menggugah semua pihak termasuk Kejaksaan untuk membantu dan menyumbang kepada mereka yang mengalami keterbatasan.

"Restorative justice sudah ditetapkan di Kejaksaan," ujarnya.

Sementara itu, Agus Sudibyo, menyoroti soal perlunya platform media sosial dimintai pertanggungjawaban hukum jika ada salah satu penggunanya melakukan perbuatan melawan hukum, seperti kasus hoaks Ratna Sarumpaet dan ITE Buni Yani.

Menurutnya, beberapa negara meminta pertanggungjawaban platform media sosial seperti Twitter, Facebook, dan lain-lain ketika terjadi seperti kasus Ratna dan Buniyani.

Konten-konten tersebut juga telah menguntungkan platform medsos. "Karena samakin naik, maka iklannya naik, ini masih kosong dalam penegakan hukum di Indonesia," ujarnya.

Selain itu, demi kesetaraan di mata hukum karena media massa bisa diadukan dan diproses di Dewan Pers jika pemberitananya dipersoalkan oleh pihak tertu. "Tidak adil jika media massa bisa dibawa ke KPI atau Dewan Pers, tapi media sosial tidak. Agar platform medos ikut bertanggung jawab atas hoaks," ujarnya. (cuy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler