Kesehatan mental perlu ditangani lebih menyeluruh bagi pelajar dan mahasiswa Indonesia saat menimba ilmu di Australia, ujar seorang akademis dan aktivis asal Indonesia di Australia.

Yacinta Kurniasih, Akademis Kajian Indonesia di Monash University mengatakan pelayanan untuk mahasiswa internasional saat ini sudah dilengkapi dengan bantuan psikologi, tapi masih ada yang perlu ditingkatkan.

BACA JUGA: Australia Bangun Dua Ladang Panel Matahari Terbesar di NSW

"Pelayanan di universitas-universitas sudah menjadi lebih baik, tapi mereka harus lebih sadar adanya perbedaan bahasa dan budaya bagi pelajar internasional, termasuk Indonesia," ujarnya kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.

"Sementara komunitas pelajar Indonesia, seperti PPIA perlu menyuarakan masalah kesehatan mental ini, dan pemerintah Australia harus bisa mengakui bahwa organisasi seperti ini memiliki peranan penting."

BACA JUGA: Pendaftaran Pemilih Meningkat di AS Setelah Postingan Instagram Taylor Swift

Photo: 10 Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia dengan tema di tahun 2018 terkait anak-anak muda. (ABC Open, Lisa Clarke)

Punya masalah dianggap memalukan

Yacinta yang sudah mengajar bahasa dan budaya Indonesia di Australia selama hampir 20 tahun mengatakan tentu ada mahasiswa Indonesia yang pernah mengalami kondisi terkait mental selama studi.

BACA JUGA: Menteri Utama NSW di Australia Minta Kedatangan Migran Dikurangi

Mulai dari culture shock akibat perbedaan budaya diantara kedua negara, atau kegelisahan yang dikenal dengan istilah anxiety, hingga perbedaan dalam kultur belajar dan bekerja.

"Tidak semua mahasiswa internasional memanfaatkan fasilitas, yang sebenarnya sudah termasuk biaya kuliah," ujarnya.

"Mereka kurang mengetahui kalau sakit harus kemana, padahal dari masalah bahasa hingga akomodasi pun sebenarnya bisa dibantu." Photo: Bayu Pratama pernah terjerat dalam perjudian semasa kuliah, karena ingin mencoba hal baru. (Foto: Koleksi pribadi)

Bayu Pratama adalah salah satu warga Indonesia di Melbourne yang pernah ketagihan berjudi, setelah ia pertama kali mencobanya di usia 17 tahun.

Meski ia mengaku awalnya hanya ingin coba-coba berjudi, sampai akhirnya menemukan kesenangan, Bayu menyadari berjudi juga menjadi salah satu pelariannya dari tekanan saat ia kuliah.

"Ada beban bagi saya untuk beradaptasi dengan budaya Australia dan diterima dengan masyarakat, sehingga saya mencoba hal-hal baru," kata Bayu. Photo: Bayu mengatakan kebanyakan anak-anak muda tak mau mengakui saat memiliki masalah perilaku, seperti ketagihan berjudi. (ABC News: Natalie Whiting)

Tapi saat itu ia merasa judi bukanlah masalah, sehingga tidak membutuhkan bantuan. Jika ingin bercerita pun, ia hanya menceritakan pada teman-temannya, yang tidak bisa banyak membantu.

"Universitas memiliki pelayanan yang baik, informasi yang spesifik, tapi kita datang dari budaya lain," ujarnya.

"Dalam budaya Asia, kita tidak butuh bantuan dan tidak perlu terbuka jika ada masalah."

"Seperti berjudi misalnya, dianggap memalukan bagi keluarga, agama, dan budaya."

Beruntung setelah tiga tahun terjerat dalam perjudian, Bayu bisa keluar dan sekarang mencoba meningkatkan kesadaran soal perilaku anak muda terkait kesehatan mental.

Kini ia aktif untuk mempromosikan footy, sepakbola gaya Australia, sebagai sport officer bersama Australia Indonesia Youth Association.Harus tinggalkan rasa sungkan Photo: Yacinta mengaku telah mengidentifikasi mahasiswa Indonesia yang memiliki masalah terkait pikiran dan kejiwaan. (Foto: Chris Woodrich)

Menurut Yacinta kebanyakan warga Indonesia terbiasa dengan rasa sungkan, karenanya saat memiliki masalah atau kekhawatiran tidak mau menceritakannya.

"Rasa sungkan ini harus dihapus jika sudah menyangkut pikiran dan kesehatan mental," ujarnya.

"Ada baiknya kita membicarakannya dan tidak perlu khawatir atau takut untuk meminta bantuan karena hal ini dianggap lumrah di Australia."

Satu hal yang menurut Yacinta yang perlu disyukuri dari budaya Indonesia adalah rasa persaudaraan diantara sesama komunitas Indonesia.

"Mereka bisa bersama-sama ikut arisan, makan-makan, atau pengajian, sehingga ini bisa menjadi obat," tambahnya. Photo: Bayu, kedua dari kiri, kini lebih sibukkan dirinya dengan aktif berorganisasi dan olahraga. (Foto: Koleksi pribadi)

Anak muda perlu dukung satu sama lain

Hari Kesehatan Mental Sedunia yang jatuh tanggal 10 Oktober, tahun ini mengangkat tema kesehatan mental di kalangan anak-anak muda.

Dari pengalamannya, Bayu merasa anak-anak muda perlu menyadari bahwa merasa kurang enak atau ada pikiran adalah hal yang biasa.

Karenanya ia mengajak anak-anak muda untuk saling bercerita jika ada masalah.

"Sesama anak muda harus mendukung satu sama lain, jangan kemudian menganggap gangguan perilaku dan mental sebagai hal yang memalukan."

Saling menerima dan kolaborasi diantara sesama anak muda sangatlah dibutuhkan untuk menangani kondisi terkait kejiwaan dan pikiran, tambahnya.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rodrigo Duterte Tidak Menderita Kanker

Berita Terkait