jpnn.com, JAKARTA - Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan mengumumkan pemberlakuan kembali langkah-langkah karantina di areal Seoul dan sekitarnya, setelah muncul klaster-klaster baru penyebaran COVID-19.
Pengetatan langkah-langkah karantina akan diberlakukan kembali pada 29 Mei hingga 14 Juni 2020, setelah sebelumnya dilakukan relaksasi pada tanggal 6 Mei lalu.
BACA JUGA: Korsel Tiba-tiba Memburuk, Tempat Hiburan Malam jadi Mengerikan
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK) Bursah Zarnubi meminta pemerintah dan masyarakat belajar dari kegagalan penerapan tatanan kehidupan normal baru alias new normal di Korea Selatan.
"Kita harus memetik pelajaran dari Korea Selatan ini. Tentu kita mesti hati-hati betul, karena COVID-19 ini belum berhenti betul. Itu artinya COVID-19 ini kemungkinan akan muncul kembali," ujar Bursah, melalui pernyataan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu (30/5) malam.
BACA JUGA: Corona Memangsa 1 Keluarga di Madiun, Lihat Usia Pasien 29, Bikin Makin Sedih
Bursah menyampaikannya saat memberikan pengantar pada web seminar (Webinar) halalbihalal millenials talk bertajuk "Catatan Kaum Muda untuk New Normal".
Negeri Ginseng tersebut, katanya, kini tengah dilanda virus corona atau COVID-19 gelombang II sehingga terpaksa kembali menutup lebih dari 200 sekolah hanya beberapa hari setelah dibuka.
BACA JUGA: 6 Fakta tentang Ruslan Buton si Pecatan TNI yang Minta Jokowi Mundur, Dia Mengaku
Menanggapi rencana pemerintah yang bakal menerapkan tatanan kenormalan baru, menurut dia, normal baru memang harus dilaksanakan, meskipun hal itu menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Bursah menyebutkan kehidupan normal baru merupakan paradigma baru tentang bagaimana masyarakat belajar hidup nyaman dalam suatu sistem sosial masyarakat selama pandemi COVID-19 tidak sirna di bumi Indonesia, karena belum ada indikasi bahwa pandemi ini akan berakhir.
"Karena itu kehidupan juga tidak boleh berhenti. Semua aktivitas ekonomi, bernegara, dan lain-lain harus berjalan dan kita harus selamat dari ancaman COVID-19 ini. Artinya, perlu ada pengendalian, perlu ada protokol-protokol kesehatan dan lainnya yang bisa mengurangi serbuan COVID-19 ini," kata Bursah.
Bursah berharap penerapan kehidupan normal baru tidak menimbulkan gejolak sehingga protokol kesehatan dan fasilitas rumah sakit di seluruh Indonesia, terutama RS di daerah yang menjadi sentrum perkembangan penyebaran COVID-19, harus dipersiapkan.
"Sebab, kalau tidak, kita akan menghadapi bencana yang bisa lebih besar kalau kita tidak siap," ujarnya.
Selain itu, Bursah juga meminta masyarakat mematuhi protokol kesehatan dan dengan penerapan tatanan kenormalan baru nanti masyarakat harus terus membudayakan pola hidup yang sehat, yang sebelumnya belum pernah diterapkan.
"Kita mulai akrab dengan hand sanitizer, menggunakan masker, cuci tangan, dan jaga jarak, minum vitamin C, E dan D, karena itu akan menjadi budaya panjang. Kalaupun misalnya COVID-19 ini selesai dua tahun lagi, kita tetap menggunakan hand sanitizer dan masker, jaga jarak, dan cuci tangan. Sebab, kalau tidak kita rentan terkena virus," katanya.
Di sisi lain, Bursah juga meminta kaum milenial membangun rasa optimisme dalam penerapan tatanan kehidupan normal baru, apalagi dengan jumlah kaum milenial saat ini yang mencapai 92 juta orang.
"Mereka harus menjadi tauladan dan mengedukasi masyarakat luas dengan cara mengikuti protokol kesehatan itu sendiri," katanya.
Pembicara webinar yang dikemas dengan halalbihalal itu adalah pengamat hukum Chrisman Damanik, Presiden Pemuda Asia Afrika Beni Pramula, Pendiri Rumah Milenial Indonesia Sahat Martin Philip Sinurat, pengamat pendidikan Lidya Natalia Sartono, mantan Ketua Umum PB HMI Mulyadi P Tamsir, dan Mantan Ketua Umum PB PII Munawar Khalil. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo