Jangan Sembarangan Konsumsi Jahe, Simak Penjelasan Dokter Tania

Minggu, 04 Juli 2021 – 09:16 WIB
Jahe. Foto : Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Para pasien COVID-19 bergejala ringan yang punya masalah lambung dan tak ingin semata mengandalkan obat medis, maka bisa mengonsumsi kunyit, temulawak dan meniran.

Kunyit mengandung senyawa yang disebut kurkumin. Sebuah tinjauan pada tahun 2013 menyimpulkan, kurkumin memiliki aktivitas antiinflamasi dan antioksidan yang dapat membantu mencegah sakit maag.

BACA JUGA: Inilah 3 Jenis Herbal, Para Pasien COVID-19, Silakan Coba ya

Namun, penelitian ini masih terbatas sehingga memerlukan studi lebih lanjut.

"Kalau tidak memilih herbal, ada obat yang diresepkan dokter untuk meredakan keluhan-keluhan di lambungnya," kata Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) Dr (Cand) dr. Inggrid Tania, kepada ANTARA.

BACA JUGA: 7 Bandit Merampok Ambulans Pengantar Pasien Covid-19, Begini Kejadiannya, Ya Ampun

Lalu, apakah herbal bisa memicu masalah pada pasien dengan riwayat sakit maag atau sindroma dispepsia?

Menurut Tania, ini tergantung sejumlah hal seperti jenis herbal yang dikonsumsi, seberapa berat sakit maag yang diderita dan sensitif lambung terhadap suatu herbal tertentu.

BACA JUGA: Nikita Mirzani Bongkar Tarif Amanda Manopo, Ternyata Sebegini...

Sebagai contoh jahe, yang bisa membantu mengatasi keluhan sakit maag, mual, nyeri ulu hati.

Pada mereka dengan lambung sensitif, rasa panas jahe yang berasal dari shogaols (yang sifatnya panas) bisa memicu kambuhnya sakit maag.

Jadi, agar tak memicu masalah khususnya pada mereka yang memiliki lambung sensitif, Tania menyarankan konsumsi herbal setelah makan.

Kabar terkini herbal untuk pengobatan COVID-19. Sejak awal masa pandemi COVID-19, PDPPOTJI melihat potensi jamu atau herbal Indonesia sebagai terapi komplementer atau melengkapi pengobatan standar COVID-19.

Mereka bersama Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Kalbe Farma, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balibangkes) Kementerian Kesehatan dan tim di Wisma Atlet kemudian melakukan uji klinik herbal imunomodulator.

Pada 6 Agustus lalu uji klinik sudah berada pada tahap akhir dengan melibatkan 90 subjek.

Kini, pengujian sudah selesai dan laporan akhir berada di tangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), menunggu izin publikasi dari semua pemangku kepentingan.

"Herbal Indonesia yang sudah selesai diuji klinik hasilnya sangat aman dan cukup bermanfaat," kata Tania.

Potensi herbal dalam pengobatan COVID-19 juga dilirik negara lain seperti Thailand dan Uganda.

Pemerintah Thailand seperti dikutip dari Straits Times bahkan sudah menyetujui penggunaan Andrographis paniculata atau dikenal sebagai sambiloto.

Tanaman ini berfungsi sebagai obat alternatif untuk mengurangi keparahan wabah dan memotong biaya pengobatan.

Pihak Kementerian Kesehatan Thailand mengatakan, ekstrak tanaman yang dalam bahasa Thailand disebut "fah talai jone" ini dapat mengekang virus dan mengurangi keparahan peradangan.

Hasil uji pada manusia menunjukkan, kondisi pasien membaik dalam tiga hari pengobatan tanpa efek samping apabila obat diberikan dalam waktu 72 jam setelah terkonfirmasi positif.

Sementara itu di Uganda yang memasuki gelombang ketiga kasus COVID-19, pemerintah setempat menyetujui penggunaan produk herbal buatan lokal yakni Covidex untuk COVID-19, walaupun ini belum mendapatkan persetujuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Apoteker di Uganda, seperti dikutip dari VOA mengatakan tidak punya banyak pilihan karena obat yang diizinkan untuk penggunaan darurat di negara maju tidak tersedia di negara mereka.

Direktur eksekutif otoritas obat Uganda, David Nahamya menuturkan persetujuan penggunaan herbal itu mengikuti evaluasi ilmiah selama dua minggu tentang keamanan dan kemanjurannya.

Menurut dia, produk herbal ini diformulasikan dari tanaman herbal yang telah digunakan secara tradisional untuk meringankan gejala beberapa penyakit.

"Untuk lebih meningkatkan khasiat obat untuk kegunaan lain, NDA (Otoritas Obat Nasional Uganda) menyarankan produsen untuk melakukan uji klinis terkontrol acak, yang merupakan bukti tingkat tertinggi untuk memastikan klaim pengobatan apa pun," tutur Nahamya.

WHO sebenarnya pada Maret lalu berkonsultasi dengan para peneliti di sembilan negara Afrika, termasuk Uganda tentang penggunaan obat tradisional untuk COVID-19.

Namun, menurut perwakilan WHO di Uganda, Dr. Solome Okware, Covidex tidak termasuk herbal yang dievaluasi.

Okware mengatakan, WHO bekerja sama dengan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika, mengembangkan protokol untuk mengembangkan uji klinik guna menilai klaim pengobatan yang efektif untuk COVID-19.

Menurut dia, penggunaan produk untuk mengobati COVID-19 yang belum diselidiki secara kuat dapat berbahaya bila proses yang semestinya dilakukan tidak diikuti.

Hal senada diungkapkan asisten profesor peneliti di Arizona State University' s Biodesign Center for Immunotherapy, Vaccines and Virotherapy, Jeffrey Langland.

Dia mengatakan, herbal yang tampaknya bekerja untuk infeksi virus lain perlu diuji untuk melihat apakah juga tahan terhadap COVID-19.

Dia dan tim telah mempelajari apakah dan bagaimana ramuan tertentu berpotensi digunakan untuk mengobati COVID-19.

Mereka menguji lebih dari 30 herbal, dan melihat sifat antivirus dan pendukung kekebalan masing-masing tanaman. Hanya saja, mereka masih membutuhkan waktu untuk mendapatkan hasilnya.

"Bahkan untuk ramuan yang kami anggap efektif, kami ingin memeriksa dan memastikan kami melihat segala jenis toksisitas, dan jenis efek samping yang mungkin terkait dengannya, melihat kualitas ekstrak," tutur dia seperti dikutip dari Healthline. (antara/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Jahe   Herbal   kunyit   Covid-19   pasien Covid-19  

Terpopuler