JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, mengutuk aksi penyerangan dan eksekusi tragedi penembakan empat tahanan di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta.
Direktur Program Imparsial, Al Araf, mengatakan, tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun eksekusi yang dilakukan di luar proses hukum. Menurutnya, hal ini menjadi ancaman serius kehidupan demokrasi.
"Rasa keamanan publik ikut terkoyak. Ini sangat amat mengkhawatirkan. Kita mengutuk keras peristiwa ini," kata Al Araf, didampingi Koordinator KontraS, Haris Azhar, Peneliti Elsam, Wahyudi, dan Alex Albert dari LBH Jakarta, dalam konfrensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, di Jakarta, Minggu (24/3).
Dijelaskan Araf, eksekusi di luar proses hukum itu seharusnya hanya hidup di dalam negara yang berdasarkan kekuasaan (machstat) seperti era Orde Baru, bukan dalam negara hukum (rechstat). "Pertanyaan kita ini negara berdasar kekuasaan atau hukum?," ungkap Araf.
Ia menilai, pelaku penembakan di Yogyakarta itu memang masih samar-samar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa memandang sebelah mata peristiwa ini. Termasuk peristiwa penyerangan markas polisi di Kabupaten Ogan Komerang Ilir, Sumatera Selatan.
"Jika tindakan kekerasan itu terus berlangsung, maka Indonesia bisa masuk dalam situasi dan kondisi negara gagal (failed states)," jelas Araf.
Ia meminta harus ada langkah konkrit parlemen dan pemerintah, agar peristiwa tidak terulang. Koalisi meminta polisi mengusut terang-benderang kasus ini, dan jangan menutup-nutupi.
Aparat kepolisian harus temukan dalam dan pelaku penyerangan. Dia mengatakan, kalau polisi bisa membongkar kasus-kasus teroris yang terbilang rumit, maka kasus penembakan ini juga harus dibongkar.
"Tentu dalam kasus ini aparat kepolisian harus bisa dapat informasi dan saksi yang bisa mengungkap kasus. Terlepas CCTV Lapas dirusak," jelasnya.
Menurutnya, penyerangan ini sangat terorganisir, terencana, pelakunya terlatih dan memiliki kapasitas penggunaan senjata secara profesional.
"Hal ini terlihat dari cara penyerangan yang sistematis, cepat, taktis dan persenjataan yang memadai yakni senjata AK 47, FN dan granat," ungkap dia.
Aparat keamanan, sambung Araf, harus fokus menarik benang merah peristiwa penyerangan Lapas dengan tindakan yang dilakukan empat korban di Hugo"s Cafe.
"Di situlah kemungkinan besar motivasi penyerangan akan terjawab dan pelaku penyerangan bisa terungkap," ungkapnya.
Seperti diberitakan, penyerbuan berdarah yang berlangsung sangat cepat terjadi di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Empat orang tewas diberondong sekelompok orang tidak dikenal.
Keempat korban tewas tersebut adalah orang-orang yang diduga mengeroyok dan membunuh mantan anggota Kopassus Sertu Heru Santosa, Selasa (19/3) lalu.
Empat orang tewas tersebut adalah Dicky Sahetapi alias Dicky Ambon, Dedi, Ali, dan YD alias Johan. (boy/jpnn)
Direktur Program Imparsial, Al Araf, mengatakan, tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun eksekusi yang dilakukan di luar proses hukum. Menurutnya, hal ini menjadi ancaman serius kehidupan demokrasi.
"Rasa keamanan publik ikut terkoyak. Ini sangat amat mengkhawatirkan. Kita mengutuk keras peristiwa ini," kata Al Araf, didampingi Koordinator KontraS, Haris Azhar, Peneliti Elsam, Wahyudi, dan Alex Albert dari LBH Jakarta, dalam konfrensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, di Jakarta, Minggu (24/3).
Dijelaskan Araf, eksekusi di luar proses hukum itu seharusnya hanya hidup di dalam negara yang berdasarkan kekuasaan (machstat) seperti era Orde Baru, bukan dalam negara hukum (rechstat). "Pertanyaan kita ini negara berdasar kekuasaan atau hukum?," ungkap Araf.
Ia menilai, pelaku penembakan di Yogyakarta itu memang masih samar-samar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa memandang sebelah mata peristiwa ini. Termasuk peristiwa penyerangan markas polisi di Kabupaten Ogan Komerang Ilir, Sumatera Selatan.
"Jika tindakan kekerasan itu terus berlangsung, maka Indonesia bisa masuk dalam situasi dan kondisi negara gagal (failed states)," jelas Araf.
Ia meminta harus ada langkah konkrit parlemen dan pemerintah, agar peristiwa tidak terulang. Koalisi meminta polisi mengusut terang-benderang kasus ini, dan jangan menutup-nutupi.
Aparat kepolisian harus temukan dalam dan pelaku penyerangan. Dia mengatakan, kalau polisi bisa membongkar kasus-kasus teroris yang terbilang rumit, maka kasus penembakan ini juga harus dibongkar.
"Tentu dalam kasus ini aparat kepolisian harus bisa dapat informasi dan saksi yang bisa mengungkap kasus. Terlepas CCTV Lapas dirusak," jelasnya.
Menurutnya, penyerangan ini sangat terorganisir, terencana, pelakunya terlatih dan memiliki kapasitas penggunaan senjata secara profesional.
"Hal ini terlihat dari cara penyerangan yang sistematis, cepat, taktis dan persenjataan yang memadai yakni senjata AK 47, FN dan granat," ungkap dia.
Aparat keamanan, sambung Araf, harus fokus menarik benang merah peristiwa penyerangan Lapas dengan tindakan yang dilakukan empat korban di Hugo"s Cafe.
"Di situlah kemungkinan besar motivasi penyerangan akan terjawab dan pelaku penyerangan bisa terungkap," ungkapnya.
Seperti diberitakan, penyerbuan berdarah yang berlangsung sangat cepat terjadi di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Empat orang tewas diberondong sekelompok orang tidak dikenal.
Keempat korban tewas tersebut adalah orang-orang yang diduga mengeroyok dan membunuh mantan anggota Kopassus Sertu Heru Santosa, Selasa (19/3) lalu.
Empat orang tewas tersebut adalah Dicky Sahetapi alias Dicky Ambon, Dedi, Ali, dan YD alias Johan. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kompolnas Desak Insiden Padang Lawas Diusut Tuntas
Redaktur : Tim Redaksi