Janggal, Polisi Klaim Temukan Nota Beli Pisau

Grafolog : Surat Ditulis Oleh Dua Orang

Selasa, 04 September 2012 – 05:05 WIB
JAKARTA - Penyidikan terhadap kasus terorisme di Solo terus berlanjut. Yang terbaru, polisi mengklaim menemukan nota pembelian sejumlah barang yang diduga terkait aksi penyerangan pos polisi.

"Benar, ada nota pembelian satu jenis pisau komando, dan juga sarung pistol," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar, Senin (03/09).
   
Menurut Boy, nota itu ditemukan dalam tas pinggang yang dibawa oleh Farhan yang tewas dalam baku tembak di Solo. "Jadi itu bukan di saku, tapi di tas pinggang, selain nota ada juga surat sampai 16 halaman," katanya.
   
Dalam surat itu, menurut Boy, motif mereka adalah ingin menegakkan negara dengan syariat Islam. Pada alinea kedua, kata Boy, menjelaskan mereka ingin balas dendam kepada anggota kepolisian. "Balas dendam ini terkait penangkapan yang dilakukan polisi kepada pelaku teroris sebelumnya,"katanya.
   
Surat itu kini menjadi dasar bagi anggota Densus 88 mengembangkan penyidikan di lapangan. "Saat ini masih dianalisis, termasuk target target lain yang mereka rencanakan," katanya.
   
Boy menjelaskan, sandi penyerangan dalam kelompok yang diberi nama Abu Musab Al Zarqowy Al Indonesiy ini adalah "main bola". "Kalau dulu menjadi pengantin, kini sandinya main bola untuk kode penyerangan bagi polisi," kata mantan Kapolres Pasuruan Jawa Timur ini.
   
Abu Musab Al Zarqowi adalah nama pimpinan Al Qaeda di Irak. Zarqawi tewas dalam serangan udara di Baquba pada 7 Juni 2006. "Kita bisa lihat afiliasi ideologinya dari surat itu," katanya.
   
Secara terpisah, ayah salah satu terduga teroris Mukhsin Sanni Permadi mengaku terkejut anaknya menjadi korban penggerebegan Densus 88. "Dia (Muksin) bilang mau usaha ikan di daerah Banten, katanya temannya sudah punya lapak di Banten dan tinggal pakai saja," kata ayah Mukhsin, Muslim Canni Assidiqie kepada wartawan di rumahnnya yang beralamat di Jalan Raya Condet Jalan Haji Latif RT 3 RW 3 No. 26 , Jakarta Timur kemarin.
     
Muslim pun kaget mendengar anaknya meninggal karena diduga terlibat dalam jaringan teroris yang meneror Kota Solo. Menurutnya, anak yang dulu pernah sekolah di SDN 11 Batu Ampar dan SMPN 126 Condet ini merupakan anak yang berprestasi dengan nilai akademik yang cukup memuaskan. "Saya tidak menyangka, dia anaknya yang cerdas begini tapi diduga teroris," ujarnya.
     
Dia membenarkan anaknya pernah mondok di Ngruki selama beberapa tahun. "Memang dia belajar di Solo, tapi tidak pernah menunjukkan kalau mau berbuat seperti itu," ujarnya.
      
Rupanya, sebelum Mukhsin pergi dia telah menitipkan KTP dan ATM tersebut pada Sidik. Merasa ada yang aneh, Muslim pun langsung mengirim pesan singkat kepada Mukhsin untuk memberi tahu KTP miliknya ditinggal di rumah. "Dia (Mukhsin) bilang kalau ada apa-apa sama dia KTP itu dibakar aja," ujarnya.
     
Selain menitipkan KTP, Mukhsin juga meninggalkan pesan terakhir melalui tulisan yang ditemui ayahnya. Dalam surat itu, Mukhsin meminta maaf pada ayahnya.
     
Ibu tiri Mukhsin Ziny Hasanah mengaku terakhir bertemu pada hari Lebaran bulan Agustus 2012. Muchsin bahkan ikut renang bersama keluarga. "Saya sama sekali tidak menyangka," katanya.
     
Muslim mengaku dipamiti sang anak pada 26 Agustus 2012 atau sekitar 4 hari sebelum penembakan pos polisi yang menewaskan Bripka Dwi Data Subekti 30 Agustus 2012. "Keluarga ikhlas, kami berdoa saja semoga dosanya diampuni," katanya.
     
Secara terpisah, Rakyan Adibrata staf ahli Komisi III (hukum dan kepolisian) DPR menilai pernyataan Polri dalam rapat kerja kemarin janggal. "Misalnya soal nota pembelian pisau, tidak masuk logika seorang teroris meninggalkan jejak dengan menyimpan nota, untuk apa ? "katanya.
     
Rakyan menjelaskan, penjelasan yang sepotong-sepotong oleh kepolisian membuat masyarakat justru ragu ragu dengan polisi dalam hal ini Densus 88. "Saat awal pengumuman soal barang bukti, tidak disebutkan sama sekali soal nota itu, apalagi ini pisau dan sarung pistol, belum tentu terkait dengan terorisme," katanya.
     
Alumni Fakultas Hukum UII yang juga sering mengikuti seminar terorisme di Perancis dan beberapa negara Eropa ini juga menyesalkan pernyataan Polri yang menyebut insiden terlukanya wajah mertua Bayu sebagai hal yang tak disengaja. "Seharusnya mereka minta maaf secara terbuka," katanya.
     
Densus, kata Rakyan, sejak awal sudah salah prosedur. "Yang ditarget Bayu tapi Wiji yang dihajar. Ingat Densus dilatih oleh SWAT AS yang bisa menangkap tanpa melukai," katanya.
     
Densus juga bukan militer yang mengedepankan senjata . "Bisa saja dilumpuhkan dengan tasser atau alat setrum, atau pakai semprotan merica. Ini jelas pelanggaran protap," kata Rakyan.
     
Nota ini juga diragukan oleh peneliti terorisme Mardigu Wowiek Prasantyo. "Kalau benar mereka menyimpan nota jelas menunjukkan bahwa mereka bukan teroris, ini anak anak yang marah saja," katanya.
    
Dalam manual jihad Afghan yang dimiliki Mardigu, diharamkan meninggalkan jejak dalam bentuk apapun. "Logikanya kalau mereka teroris, mengapa mereka tidak lari keluar Solo setelah beraksi?"katanya.
     
Soal surat terduga teroris, rupanya hasil analisa grafolog menyimpulkan surat yang diklaim polisi ditinggalkan Farhan itu ditulis oleh dua orang. Ahli grafolog (analisa tulisan tangan) Deborah Dewi menjelaskan, dari salinan surat terduga teroris yang dia terima, ada dua tulisan tangan. "Bisa saja itu dua surat atau dua orang yang menulis suratnya," katanya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.
       
Debo, panggilan akrabnya, menjelaskan dia mendapatkan salinan dalam bentuk file pdf sebanyak 16 halaman. "Dalam urutan surat itu jelas terlihat halaman 1 dan 16 ditulis oleh satu orang, sedangkan halaman 2 dan 15 ditulis orang yang berbeda," katanya.
   
Debo yang menjadi ahli grafolog terbaik di Indonesia ini tidak berkomentar soal isi surat. "Kami grafolog menganalisa bentuk tulisannya, bukan isinya," katanya.
   
Dia menambahkan, penulis yang pertama memiliki masa kecil yang tidak bahagia. "Karena itu dia mencari kompensasi stabilitas sebagai pengganti masa kecilnya itu," katanya.
   
Debo menambahkan penulis pertama itu, memiliki karakter yang berani mengambil resiko. "Yang jelas secara emosional dia sedang dalam tekanan," katanya.
   
Sedangkan penulis yang kedua relatif lebih stabil kejiwaannya. "Trauma sosial ada tapi tak sekuat dengan yang pertama," katanya.
   
Yang jelas, menurut grafolog asal Malang ini, keduanya menulis dalam kondisi gugup dan cemas. "Ada beberapa kata yang rusak, dicoret-coret, ada penyisipan kata diantara kata, ini menunjukkan penulisnya tidak yakin 100 persen dengan yang ditulisnya," katanya.
   
Sumber Jawa Pos di lingkungan antiteror menjelaskan, berdasar informasi dari Bayu, saat ini ada dua orang yang sedang dikejar . "Bacho dan Santoso," katanya kemarin.
   
Bacho alias Sabar adalah anak buah Abu Umar (ayah tiri Farhan) yang pernah membuat pelatihan ala militer di Palopo, Sulawesi Tengah 2011. "Dia yang melatih Farhan dan Bayu," katanya.
   
Komandan yang di atas Bacho adalah Santoso. Dia memiliki keterampilan perencanaan serangan. "Bisa dibilang dia otak utamanya," katanya. (rdl/ind/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Polisi jadi Korban, Berharap Imbang soal HAM

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler