jpnn.com - Aung San Suu Kyi akhirnya melawat Negara Bagian Rakhine. Kemarin pagi, Kamis (2/11), perempuan 72 tahun yang menjabat penasihat negara dan punya kuasa di atas Presiden Htin Kyaw itu tiba di Kota Sittwe, ibu kota Rakhine.
Dari sana, dia melanjutkan kunjungan ke Kota Maungdaw dan Buthiduang. Di kota-kota itulah warga Rohingya mengalami intimidasi sehingga mereka harus menyelamatkan diri ke Bangladesh.
BACA JUGA: Akhirnya! Suu Kyi Temui Warga Rohingya di Rakhine
Dalam kunjungan perdananya ke Sittwe pascakonflik sektarian yang memaksa lebih dari 600.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh itu, Suu Kyi didampingi sekitar 20 pejabat pemerintah.
Di kota yang hanya dihuni sekitar 181.000 jiwa tersebut, dia tidak singgah terlalu lama. Putri mendiang Jenderal Aung San itu segera bertolak dengan helikopter militer ke Maungdaw yang berjarak sekitar 91 kilometer dari Sittwe.
BACA JUGA: Suu Kyi Berulah Lagi, Beri Harapan Palsu untuk Rohingya
Menurut Chris Lewa dari Arakan Project, Suu Kyi sempat bertemu dengan para pemuka agama Islam dalam lawatan sehari tersebut. Dia pun mengutarakan sebuah janji manis kepada mereka.
”Dalam pertemuan itu, dia hanya menyampaikan tiga hal. Yakni, agar mereka hidup rukun, tidak bertengkar satu sama lain, dan yakinlah bahwa pemerintah selalu ada untuk mereka,” katanya, mengutip salah seorang pemuka muslim yang hadir dalam pertemuan tersebut.
BACA JUGA: Rohingya Terus Mengungsi, Pemuka Agama Sibuk Pamer Kerukunan
Zaw Htay, juru bicara pemerintah Myanmar, mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa memublikasikan agenda lawatan Suu Kyi secara terperinci dengan alasan keamanan.
”Kami hanya bisa menyampaikan bahwa kunjungan resmi ini hanya berlangsung satu hari,” katanya.
Dia berjanji untuk memberikan informasi lebih lengkap terkait lawatan Suu Kyi tersebut setelah sang penerima Nobel Perdamaian 1991 itu kembali ke ibu kota negara.
Kunjungan Suu Kyi memang tidak akan mengubah apa pun. Semuanya sudah telanjur. Namun, sebagai mantan tahanan politik yang pernah mendapat julukan ikon demokrasi Myanmar, kehadirannya di Rakhine penting. Setidaknya, dia tidak berpangku tangan.
Secara de facto, junta militer Myanmar masih berkuasa. Pemerintahan sipil yang terbentuk setelah kemenangan besar Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) itu hanyalah salah satu strategi untuk membuat Myanmar terlihat moderat.
Dan, cara tersebut berhasil membebaskan Myanmar dari sejumlah sanksi. Keberadaan Suu Kyi dalam pemerintahan berhasil membuat Myanmar kembali ke pergaulan internasional.
Sayangnya, di dalam negeri, Suu Kyi tidak bertaji. Dia tidak bisa bebas mengambil sikap. Seluruh kebijakannya harus diselaraskan dengan junta militer.
Itulah yang membuat Suu Kyi diam dan tidak berbuat apa pun saat menyaksikan penderitaan kaum Rohingya. Apalagi, kasus tersebut terjadi di Rakhine yang merupakan salah satu wilayah kekuasaan militer. Di sana, militerlah yang murni berkuasa. (AP/Reuters/AFP/BBC/hep/c6/any)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Duh! Pengungsi Rohingya Malah Selundupkan Sabu ke Bangladesh
Redaktur & Reporter : Adil