Jatuh Bangun Tim BPPT Mewujudkan Pesawat Udara Nir Awak (PUNA)

Tak Ingin Kecewakan sang Pencipta Cetak Biru

Jumat, 24 Mei 2013 – 06:30 WIB
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sukses menciptakan pesawat udara nir awak (PUNA).
DUNIA dirgantara Indonesia terus menebarkan optimisme. Setelah PT Dirgantara Indonesia (DI) kebanjiran pesanan helikopter militer, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sukses menciptakan pesawat udara nir awak (PUNA) yang siap dikomersialkan. Jerih payah selama 15 tahun pun terbayar.
 
BAYU PUTRA, Jakarta
 
TANGGAL 29 April 2013 merupakan hari bersejarah bagi proses penciptaan PUNA. Sebab, mulai tanggal itu, BPPT menyatakan kesiapannya untuk memproduksi pesawat tanpa awak tersebut secara komersial. Mereka siap menerima pemesanan dari pihak luar. Rilis PUNA yang diberi nama Wulung itu dilakukan Kementerian Pertahanan bersama PT DI sebagai pelaksana produksinya.

Para penggawa tim produksi PUNA Wulung pun bersorak kegirangan menyambut babak baru industri kedirgantaraan Indonesia tersebut. Wajah kurang tidur mereka pun seketika berubah ceria seusai penandatanganan kerja sama komersialisasi PUNA. Sembari memandangi pesawat dengan warna dominan biru laut yang sedang dipamerkan itu, senyum cerah terus menghiasi raut wajah penuh kepuasan mereka.

Bagi tim PUNA Wulung, inilah salah satu babak yang sudah lama diimpikan: menghasilkan produk teknologi tinggi yang bisa dikomersialkan. Meski belum secanggih pesawat tak berawak bikinan negara maju, optimisme tetap membuncah.

Sekitar 50 orang anggota tim pengembang PUNA Wulung menyatakan kesiapannya untuk mengembangkan pesawat itu agar lebih canggih. Harapannya, pesawat tersebut akan digunakan untuk kepentingan militer Indonesia dan menjadi bagian alutsista asli buatan anak negeri.

Para anggota tim PUNA Wulung memang pantas berbangga. Hasil pengembangan bertahun-tahun mampu menghasilkan pesawat nirawak yang cocok untuk kondisi geografis Indonesia. "Kami tidak bisa melupakan jasa almarhum Prof Said," ujar Kepala Program PUNA Joko Purwono ketika ditemui pekan lalu.

Pengembangan PUNA di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari sosok Prof Said Djauharsjah Jenie. Mantan kepala BPPT itu merupakan perintis teknologi PUNA. Pada 1998 Said yang bermimpi Indonesia memiliki pesawat intai tak berawak mulai merekayasa teknologi dirgantara yang merupakan bidang keilmuannya.

Sayang, karena berbagai keterbatasan di BPPT kala itu, Said memutuskan untuk menggandeng pihak swasta guna mengembangkan PUNA. Bahkan, krisis ekonomi dan kondisi politik pascareformasi sempat membuat proyek tersebut mandek. Baru pada akhir 2004 pengembangan PUNA dilakukan lagi.

Selama dua tahun Said dan timnya berkonsentrasi mengembangkan struktur ringan. Sejumlah uji coba pun dilakukan dan berakhir dengan kegagalan. Setelah ditelusuri, penyebabnya adalah bobot pesawat yang terlalu berat. Setidaknya, ada dua prototipe pesawat yang gagal diuji coba meski berkali-kali dilakukan penyesuaian.

Rupanya, selama ini para ilmuwan pengembang PUNA menyamakan struktur pesawat tersebut dengan pesawat komersial. Tidak heran bila PUNA kelebihan berat badan dan gagal diterbangkan. Meski begitu, mereka pantang menyerah. Berbagai uji coba pun dilakukan lagi untuk menciptakan pesawat yang layak terbang. Maka, lahirlah prototipe ketiga yang mampu terbang.

Setelah Said diangkat sebagai kepala BPPT pada 2006, pucuk pimpinan proyek PUNA diserahkan kepada Joko Purwono. Dia lalu merekrut para sarjana teknik dari berbagai universitas untuk bergabung di tim ini. Di antara mereka terdapat beberapa profesor, tapi juga ada sejumlah sarjana fresh graduate. Bahkan, ada pula sarjana seni rupa yang masuk dalam tim tersebut. Sejak itu Joko dan timnya mulai mengembangkan konfigurasi PUNA.

Anak-anak muda tersebut dilatih bahasa pemrograman. Setelah mahir, mereka diberi software sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. "Mustahil PUNA dibuat ahli di satu ilmu saja, semisal termodinamika," tutur Joko.

Setidaknya, tim PUNA dibagi dalam tujuh kelompok yang memegang peran penting. Mulai kelompok aircraft, avionic, hingga kelompok yang khusus menangani termodinamika.

Masa-masa uji coba merupakan saat paling krusial. Para penggawa tim PUNA jarang tidur menjelang hari uji coba. Mereka harus memastikan setiap bagian sekecil apa pun tidak ada yang terlewatkan. Pesawat dibuat sesuai dengan prosedur dan cetak biru yang diciptakan Said.

Pesawat belum selesai, Tuhan memanggil Prof Said pada 2007. Tim PUNA pun terguncang. Mereka sempat seperti anak ayam kehilangan induk. Apalagi, kala itu dukungan pemerintah terhadap pengembangan PUNA belum maksimal. Mereka harus mengembangkan pesawat dengan kemampuan finansial terbatas. Rasa pesimistis sempat mulai menjalari tim.

Untung, para pemuda itu cepat bangkit. Mereka kembali pada jalan yang benar dan mengembangkan PUNA hingga benar-benar laik terbang. Bukan hanya itu, Joko juga mulai memberikan materi komersialisasi teknologi agar hasil karya tersebut tidak sia-sia setelah berhasil terbang dengan sempurna.  

Sejak 2009, tim PUNA mulai mengembangkan segmentasi kebutuhan pasar. Antara lain, melayani kebutuhan TNI-AU untuk mengawasi wilayah perbatasan. Selain itu, PUNA dapat dimanfaatkan untuk pengawasan wilayah Indonesia yang rawan pembalakan liar dan kepentingan hujan buatan.
 
Dari situ, rancangan PUNA terus disempurnakan hingga akhirnya menarik perhatian Balitbang TNI. Balitbang lalu ikut terlibat dalam pengembangan PUNA yang kemudian melahirkan Wulung. Spesifikasi pesawat tersebut dianggap cukup sesuai dengan kondisi geografis Indonesia.
 
Dengan bobot 60 kilogram dan bentang sayap 6,34 meter, PUNA Wulung memiliki jarak jelajah 200 kilometer di ketinggian 12 ribu kaki. Pesawat itulah yang pada 29 April lalu dinyatakan siap dikomersialkan melalui PT DI.
 
"Pesawat ini sekarang masih memiliki kemampuan 3,5 gravitasi. Kami masih mengembangkan agar pesawat ini memiliki kemampuan 7 gravitasi sehingga mampu menahan beban ratusan kilogram," lanjut pria 58 tahun itu.
 
Potensi PUNA Wulung saat ini masih pada level II. Sedangkan, pesawat militer tak berawak yang dimiliki negara maju berlevel III. Sementara itu, level IV (tertinggi) yang mampu dicapai saat ini adalah pesawat yang mempunyai daya jelajah di atas 70 ribu kaki.
 
Menurut Joko, dengan potensi di level II saat ini, PUNA Wulung sudah mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan negara. Terutama dalam hal pengawasan illegal logging dan pembuatan hujan. Bila jelajahnya terlalu tinggi, dikhawatirkan wilayah Indonesia tidak bisa terekam sempurna karena tertutup awan.
 
Joko menambahkan, dengan menggunakan PUNA, fungsi pengawasan yang selama ini dilakukan kapal dan pesawat berawak milik TNI-AU bisa lebih efisien. PUNA bisa menggantikan biaya tinggi akibat pengawasan di wilayah perbatasan. "Dari satu kapal induk, PUNA bisa mengawasi lebih jauh dengan biaya yang lebih efisien," tandasnya. (*/c4/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Nonton Peter Sagan Menang, Naik Turun Perkebunan Anggur

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler