Jawaban Tegas Petrus Selestinus Terkait Polemik Ketentuan Peralihan UU KPK Hasil Revisi

Jumat, 18 Oktober 2019 – 10:03 WIB
Koordinator TPDI Petrus Selestinus. Foto: Friederich Batari/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Koodinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) sekaligus mantan Komisioner KPKPN, Petrus Selestinus memberi jawaban tegas terhadap polemik yang berkembang seputar ketentuan peralihan UU KPK hasil revisi tahun 2019.

“Polemik tentang apakah pimpinan KPK Agus Rahardjo dkk masih berwenang melakukan OTT (operasi tangkap tangan, red) terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi, pasca-berlakunya UU KPK hasil revisi per tanggal 17 Oktober 2019, maka jawabannya adalah  OTT KPK masih tetap dilakukan oleh KPK,” tegas Petrus Selestinus di Jakarta, Jumat (18/10).

BACA JUGA: Sah, UU KPK Hasil Revisi Nomor 19 Tahun 2019

Menurut Petrus, hal itu berdasarkan ketentuan Pasal 69D UU KPK hasil revisi. Karena ketentuan pasal 69D UU KPK hasil revisi dengan tegas menyatakan bahwa: ”Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini diubah" (artinya mengacu kepada UU No. 30 Tahun 2002).

Petrus mengungkapkan polemik di atas terjadi karena menjelang berlakunya UU KPK Revisi dan masa bakti pimpinan KPK Agus Rahadjo dkk berakhir pada pertengahan Desember 2019, hampir setiap hari KPK melakukan OTT. Sementara pada saat bersamaan telah berlaku UU KPK Revisi yang mengharuskan Penyadapan, Penggeledahan dan Penyitaan harus seizin Dewan Pengawas. Namun demikian, menurut Petrus, Dewan Pengawasnya sendiri belum dibentuk karena akan dibentuk bersamaan dengan pelantikan Pimpinan KPK periode 2019-2023 pada pertengahan Desember 2019. 

BACA JUGA: Ini Negara Hukum, Jika Tak Setuju Revisi UU KPK Silakan Uji Materi di MK

Meskipun terdapat jaminan pelaksanaan tugas dan wewenang KPK berdasarkan UU KPK sebelum direvisi seperti dimaksud di dalam pasal 69D UU KPK Revisi, namun ketentuan pasal 70C UU KPK Revisi, telah melahirkan polemik, oleh karena ketentuan pasal 70C dengan tegas menyatakan bahwa: "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

Menurut Petrus, Ketentuan Peralihan kedua pasal UU KPK Revisi di atas, memperlihatkan adanya pertentangan dan saling menegasikan, karena di satu pihak pasal 69D membolehkan KPK untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan ketentuan "sebelum" UU ini diubah (UU No. 30 Tahun 2002), akan tetapi juga di pihak lain pada pasal 70C mengharuskan semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK harus berdasarkan UU KPK Revisi Tahun 2019. 

Dari rumusan pasal 69D UU KPK Revisi maka keberadaan Dewan Pengawas KPK seakan-akan menjadi penentu berlakunya UU KPK Revisi, bahkan memunculkan pertanyaan apakah pemberlakukan UU KPK sebelum revisi hanya sebatas kewenangan KPK yang memerlukan izin Dewan Pengawas atau menyangkut seluruh pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK.

“Inilah yang menjadi sumber polemik di tengah masyarakat menyikapi berlakunya UU KPK Revisi, yang kelak akan membawa UU KPK Revisi ini berujung kepada Judicial Review di MK,” kata Petrus.

Sebagai sebuah Ketentuan Peralihan, kata Petrus, mestinya rumusan pasal 69D UU KPK Revisi harus diperjelas, karena selain rumusan dalam Ketentuan Peralihan itu, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum juga untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum untuk sementara waktu. Karena itu, rumusan pada ketentuan pasal 69D dan pada pasal 70C seharusnya diperjelas di dalam penjelasan UU KPK Revisi.

Petrus mengusulkan alternatif solusi yakni rumusan pasal 69D dan 70C bisa disatukan dalam satu rumusan pasal sehingga berbunyi sebagai berikut: "Segala tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalan UU ini, kecuali tugas dan wewenang KPK yang memerlukan ijin Dewan Pengawas dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah hingga Dewan Pengawas dibentuk”.

Anehnya, kata dia, keberadaan Dewan Pengawas merupakan salah satu organ terpenting di dalam Komisi Pemberantasan Korupsi namun keberadaanya tidak ditegaskan apakah ia berada di dalam struktur organisasi pimpinan KPK atau tidak, sama sekali tidak digambarkan dengan rumusan yang menempatkan dimana kedudukan Dewan Pengawas diantara organ Pimpinan KPK dan organ Pegawai KPK. 

Apakah Dewan Pengawas KPK ini berada di dalam struktur yang sejajar dengan pimpinan KPK dan menjadi bagian di dalam struktur organisasi KPK atau Badan Pengawas ini memiliki organisasi tersendiri dan berada dalam rumpun kekuasaan legislatif karena berperan mengawasi Pimpinan KPK dan Pegawai KPK. Mari kita lihat perjalanan UU ini dalam pelaksanaannya.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler