jpnn.com, JAKARTA - Dalam Kongres Ke-5 PDIP di Bali kemarin, isu tentang kursi Kabinet Jokowi-Amin kembali mencuat. Padahal isu ini sudah sempat tenggelam seiring dengan banyaknya isu lain yang muncul dalam kancah politik nasional.
Pasalnya, dalam Kongres itu, Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP yang kembali dipilih, di hadapan Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Yusuf Kalla, Wakil Presiden terpilih KH. Ma'arif Amin dan para Ketua Partai yang hadir serta semua peserta Kongres menyatakan dengan sangat tegas bahwa PDIP harus diberikan jatah kursi lebih banyak dibanding partai lain.
BACA JUGA: Koordinator TePI: Sangat Wajar Jika Megawati Minta Jatah Menteri PDIP Terbanyak
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow menilai permintaan Megawati ini tidak terlalu mengejutkan. Sebab PDIP adalah partai pemenang Pemilu dan secara otomatis juga memiliki kursi lebih banyak di parlemen dibanding dengan partai koalisi pendukung 01 lainnya.
“Wajar saja dan malah semestinya memang begitu. Karena itu, Jokowi pun lalu memberikan jaminan itu,” kata Jeirry.
BACA JUGA: Hasto Bilang, Bu Megawati Akan Serahkan Langsung ke Presiden Jokowi
Jokowi dalam sambutannya di Kongres PDIP tersebut menegaskan bahwa akan memberikan jatah kursi lebih banyak kepada PDIP. Kelihatannya, partai politik lainnya juga tak akan keberatan dengan hal itu.
Sebetulnya, menurut Jeirry, soalnya bukanlah semata pada berapa jatah kursi yang akan didapat partai koalisi? Juga, siapa dapat banyak dan siapa dapat sedikit? Atau, apakah juga partai pendukung yang tak masuk parlemen akan diberikan kursi kabinet? Bahkan apakah partai pendukung Paslon 02 juga akan dapat jatah?
BACA JUGA: Permintaan Bupati Puncak kepada Presiden Jokowi
Lalu, apakah partai koalisi akan setuju jika partai pendukung Paslon 02 juga masuk kabinet? Bagaimana nasib partai koalisi pendukung Paslon 01 jika Jokowi "nekat" memberikan kursi kepada mereka?
“Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang menarik dan penting secara politik. Tetapi, bukan di situ soalnya. Ada soal lain yang lebih penting, yang "dengan sengaja" sering dilupakan atau diabaikan. Yaitu: siapa saja figur-figur calon menteri yang akan diusulkan oleh partai? Apakah jatah partai akan diambil dari kader partai sendiri atau partai mau mengambil dari kalangan profesional atau akademisi?,” tanya Jeirry.
“Lalu, apakah figur yang akan diajukan kepada Presiden cukup mumpuni untuk menjadi menteri?,” tanya Jeirry lagi.
Mengingat waktu yang masih cukup panjang dan terkait dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, Jeirry menyampaikan lima catatan terkait cara untuk mencari calon menteri.
Pertama, ada baiknya jika proses mengajukan calon menteri ini tidak dilakukan melalui "pintu belakang" alias tertutup. Lakukanlah secara terbuka dan transparan. Baik jika publik ikut dilibatkan agar bisa memberi masukan sehingga orang-orang yang nanti muncul tak membuat publik kaget.
Kedua, dalam hubungan dengan hal di atas, mungkin perlu diusulkan agar Presiden membuka kemungkinan keterlibatan publik dalam memberikan masukan terhadap para figur yang muncul. Mekanismenya bisa dibuat oleh Presiden.
“Meskipun soal itu memang hak prerogatif Presiden, tetapi tak salah jika Presiden berkehendak untuk melibatkan publik. Sebab, bukankah para Menteri sebagai Pembantu Presiden, pada prinsipnya akan bekerja untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat?” kata Jeirry.
Ketiga, Jeirry mendorong agar partai politik berani dan terang-terangan mau mengumumkan ke publik siapa saja figur yang akan mereka mengajukan sebagai calon menteri. Ini juga mungkin akan memudahkan Presiden melakukan seleksi calon menterinya dari nama-nama yang sudah muncul itu. Begitu juga, publik bisa berpartisipasi memberi masuk terhadap figur-figur tersebut kepada Presiden.
Keempat, mengingat negara kita punya banyak orang-orang hebat yang layak duduk di kursi menteri, maka kami mendorong orang-orang terbaik bangsa ini untuk berani tampil dan mengajukan dirinya menjadi calon menteri kepada Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Maruf Amin. Bisa secara tertulis dan bisa juga secara terbuka ke publik. Dan siapa pun yang dipilih Presiden harus diterima. Sebab itu adalah hak prerogatif Presiden.
Kelima, partai-partai non-parlemen juga bisa saja secara terbuka mengajukan calon calonnya ke publik. Tentu bisa dari kader partainya sendiri maupun dari kalangan profesional dan intelektual.
Proses yang terbuka dan transparan ini penting agar kabinet nanti bisa mendapatkan penerimaan, legitimasi dan kepercayaan publik yang lebih kuat. “Jika itu terjadi maka jalannya pemerintahan Jokowi Kedua diperkirakan bisa lebih baik dan lancar untuk menuntaskan apa yang sudah dimulai sebelumnya,” katanya.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ferdian Lacony: Pesan Ibu Megawati Jadi Suluh Bagi Kader PDIP
Redaktur & Reporter : Friederich