Jejak - jejak Prajurit TNI di Tapal Batas, Demi Merah Putih

Minggu, 21 Juli 2019 – 00:33 WIB
Tim patroli Prajurit TNI dari Yonif Raider 613 Raja Alam menemukan patok payung di blank post area, Februari lalu. Ratusan patok di sana ditancapkan sejak 1977. Foto: SAIPUL ANWAR/KALTIM POST

jpnn.com - Sejumlah prajurit TNI dengan penuh dedikasi tinggi, bertugas di daerah perbatasan, demi menjaga keutuhan wilayah NKRI.

Laporan: Duito Susanto, Saipul Anwar

Senja turun di punggung bukit. Aroma khas singkong goreng mengapung bersama udara dingin. Di bawah pondok kecil beratap terpal. Bersanding dengan teh manis, yang uap panasnya baru beranjak meninggalkan gelas plastik. Kawan karib penghangat suasana.

BACA JUGA: Rencana Menhan untuk 3 Persen Anggota TNI Penganut Radikalisme

Di bawah temaram senja, hujan mengguyur Pos Tanjung Karya. Sebuah kamp pengamanan perbatasan milik TNI di Krayan, Nunukan, Kaltara. Dihuni 20 prajurit dari Yonif Raiders 613/Raja Alam. Posisinya di ketinggian. Dikelilingi rerimbunan hijau hutan. Dua kilometer dari tapal batas dengan Malaysia. Melalui jalan setapak menanjak.

Dari Bandara Yuvai Semaring di Long Bawan, Krayan, pos itu bisa dijangkau dengan mobil. Plus berjalan kaki. Harus menumpang mobil bergardan ganda. Melalui jalan-jalan tanah yang dikeraskan. Yang lahir dari hasil memapas bukit. Yang bopeng di sana-sini. Yang serbasalah; hujan berlumpur, panas berdebu.

BACA JUGA: 2.497 Prajurit Bergerak Cepat Menghancurkan Setiap Ancaman di Wilayah NKRI

Satu jam perjalanan dengan mobil, yang lebih terasa seperti menunggang kuda, tiba di Desa Pabutal, Krayan Barat. Satu di antara empat desa di lokasi Tanjung Karya. Desa lainnya; Padelung, Paurut, dan Pakemut.

BACA JUGA: Respons Panglima TNI Saat Menerima Panglima Armada Pasifik AS

Prajurit TNI melakukan pemeriksaan barang yang diangkut dari Malaysia di Pos Long Midang. Foto: SAIPUL ANWAR/KALTIM POST

Mobil berakhir di mulut jembatan. Kecil. Dari kayu. Terlalu sempit untuk kendaraan roda empat. Terlalu rapuh menyangga beban berat. Panjangnya kurang dari 10 meter. Menjulur di atas saluran irigasi. Dinaungi atap daun nipah.

Perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki. Saya bersama empat lainnya. Tiga di antaranya prajurit. Beradu lincah di pematang sawah. Yang dalam masa pemulihan. Tak ada aktivitas. Dipenuhi air, yang konon di beberapa titik mencapai pinggang orang dewasa.

Bukit-bukit memunggungi sawah-sawah itu. Terkadang kami mesti melewati rintangan berupa pagar kawat berduri. Setinggi perut. Atau paha atas. Atau pagar bambu dan kayu. Yang berfungsi untuk mengurung kerbau. Saat masa rehat seperti ini, warga memasukkan kerbau ke sawah. Dibiarkan mandi dan bermain di sana. Pembajakan alami.

BACA JUGA: Kisah Anak Gagal PPDB 2019, Diam di Rumah, Tidak Sekolah

Jalan setapak kian menanjak. Landai, terjal, silih berganti. Seperti berirama. Serupa suara jangkrik sahut-menyahut. Pertanda senja segera tiba. Sekitar 45 menit berpacu dengan mentari yang segera tenggelam di balik bukit. Hujan rintik diam-diam. Kian lama kian deras. Dan tumpah di gapura bambu bercat merah-putih.

Pos itu berada di ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut. Kerap dibekap cuaca dingin. Mencapai 15-16 derajat Celcius saat malam. Dua kilometer di atasnya, patok perbatasan Indonesia-Malaysia.

Pos Tanjung Karya terdiri dari bangunan-bangunan kayu yang tersebar di lahan sekitar 2 hektare. Paling depan, berdekatan dengan gapura, ada pos jaga. Kemudian surau, barak berisi sepuluh ranjang tingkat dua, tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK) empat pintu, ruang data, dapur berserambi plus meja makan panjang, serta menara pantau di sisi paling atas.

Aneka tanaman, didominasi sayur-mayur, menjejali tempat yang tersisa di antara bangunan-bangunan itu. Singkong, cabai, tomat, pepaya, nanas, tebu, daun bawang, labu, dan bebungaan.

“Hiburannya berkebun, Mas,” ujar Komandan Pos Tanjung Karya Lettu Ckm Darmawan. Mereka juga beternak. ”Itu ayamnya untuk dipotong pas mau pulang,” timpal prajurit lainnya sembari tertawa menunjuk peliharaan.

Keperluan mandi dan minum terpenuhi dengan menampung air gunung di embung. Dialirkan dengan selang kecil menuju pos. Diwadahi dua tandon yang masing-masing berkapasitas 1.300 liter.

Penerangan mengandalkan tenaga surya. Ada tujuh panel solar cell di depan barak prajurit. Ditopang enam aki. “Tapi cuma satu aki yang masih berfungsi,” ujar dia.

Komunikasi masih bisa dilakukan melalui seluler di pos ini. Meski sinyal tak menentu. Untuk sekadar sambungan telepon atau SMS, masih bisa meski tertatih.

Lantaran posisinya di tengah bukit, pos ini tak banyak dilintasi. Warga yang lewat biasanya pergi berburu. Atau menuju kampung Bario di wilayah Malaysia. “Rata-rata (warga Bario) punya keluarga atau kerabat di Tanjung Karya,” sambung dia.

Keberadaan pos ini, utamanya, memang bukan untuk memantau pelintas. Tetapi menghalau penjarah hutan. Penebang kayu liar. Sebagian besar dari negara tetangga. “Sejak ada pos di sini pembalakan hutan turun jauh,” tutur dia.

Meski dikelilingi hutan dan bukit, pasokan logistik pos ini tak pernah jadi masalah. Silih berganti mereka belanja keperluan sehari-hari di Long Bawan. Saban bulan. Pergi dengan sepeda motor. Hasil belanjaan dititipkan di mobil warga yang kebetulan melintas. Diturunkan di Desa Pabutal. Diangsir naik bersama-sama.

***

Bau tanah basah sisa guyuran hujan menusuk hidung. Selimut gulita semakin pekat. Kami memutuskan meninggalkan Pos Tanjung Karya. Menuruni kembali jalan tanah setapak berliku itu. Pukul 19.44 Wita.

Kilatan cahaya senter memandu langkah penuh waspada di atas jalur licin. Ditemani kisah-kisah nostalgia masa lampau, guyon, dan ledekan, kami beringsut dari punggung bukit ke pematang sawah. Melewati lagi pagar-pagar kawat berduri, bambu, dan kayu. Merunduk di bawah dahan-dahan basah menjuntai. Meniti langkah di atas titian. Samar-samar mobil mulai terlihat saat mendekati jembatan.

Tetapi, tantangan belum berakhir. Hujan menyisakan jalan tanah berlumpur. Licin dan lengket. Komandan Kompi Pamtas Yonif R 613/Rja Kapten Taufan HS dengan keyakinan penuh duduk di belakang kemudi.

Kapten Chb Aman Karyoko, Serda Yulio Maharendi, dan fotografer Kaltim Post Saipul Anwar berdesakan di kursi belakang. Saya, dengan pertimbangan ketambunan ha-ha-ha-ha, dipersilakan duduk di kursi depan di samping sopir.

“Kita yang belok kanan kan?” tanya saya sembari menunjuk jalur landai. “Bukan,” sahut sopir. “Kita naik,” sambung dia. Kami menarik napas panjang. Menatap nanar jalan menanjak cukup terjal yang tersorot cahaya lampu mobil.

Mesin meraung, sopir berkali-kali mengutak-atik persneling, tuas gas diinjak, mobil double cabin itu beringsut. Raungannya semakin keras meski gerakannya sangat pelan. Roda tergelincir ke kiri dan ke kanan. Sopir pontang-panting memutar kemudi. Berbelok-belok tak karuan.

Kami menaklukkan perlawanan tanjakan itu. Diakhiri dengan tepuk tangan. Sekadar penyemangat. Jalur serupa masih membentang sepanjang mata memandang. Hingga Pos Lembudud, tujuan kami berikutnya. Kami tiba di sana pukul 21.35 Wita.

BACA JUGA: Hubungan Sesama Pimpinan Honorer K2 Makin Runyam, Curiga soal Dana

Serupa Pos Tanjung Karya, kerawanan di wilayah jaga Pos Lembudud juga illegal logging. Sebab, selain bertani, warga mencari kayu dan berburu. Untuk dijual. Kayu merit, sejenis bengkirai, yang paling dicari. Karena daya tahannya. Dijual ke warga yang membutuhkan. Biasanya untuk membangun hunian.

“Ada juga yang pesan,” ujar Ambi Irfan, komandan Pos Lembudud. “Mereka jual ke warga lokal, ke Long Bawan, tak pernah jual ke Malaysia,” sambung pria berpangkat Sersan Kepala itu.

Lembudud memang dikenal penghasil kayu. Warga mengangkutnya dengan kerbau dari hutan dan gunung. Kemudian dilanjutkan dengan kendaraan. Roda dua atau empat. Seperti juga Tanjung Karya, Lembudud masuk Kecamatan Krayan Barat. Pos ini bertugas memantau 348 patok. Yang terdekat 12 kilometer dari pos. “Empat kilometer bisa ditempuh dengan sepeda motor. Sisanya jalan kaki,” terang Ambi Irfan.

Posisi patoknya terhitung ngeri-ngeri sedap. Di dalam hutan, di atas tebing. Konon, waktu pemasangannya, diangkut dengan helikopter. “(Penyisiran) Satu minggu selesai semua,” terang pria yang juga pernah bertugas di perbatasan Papua pada 2014 itu.

Lima belas personel pos ini harus bergantian ke Long Bawan setiap bulan. Untuk pemenuhan logistik. Beruntung mereka di jalur yang sepenuhnya bisa dilalui kendaraan bermotor. Beruntung lagi, dari antara semua pos pamtas di Krayan, Lembudud paling lancar dalam urusan komunikasi. Jaringan 4G, meskipun kembang kempis, melayani mereka. “Itu towernya,” ucap Danki Taufan menunjuk bukit. Hanya beberapa ratus meter dari pos yang juga di atas bukit itu.

Relatif tak banyak masalah di Pos Lembudud. Penerangan mengandalkan tenaga matahari dengan solar cell enam panel. Di bukit di belakang pos, ada bendungan. Yang dibangun pada April lalu. Dialirkan ke rumah-rumah warga, termasuk kamp prajurit. “Selain pengamanan, kami juga mengadakan kegiatan teritorial, seperti membantu membangun gereja dan dam,” sebut Ambi Irfan.

***

Tanjung Karya dan Lembudud adalah dua di antara enam pos di bawah koordinasi Danki Pamtas Yonif R 613/Rja Kapten Taufan HS. Yang lainnya di Long Midang, Krayan, Bahsiuk, dan Long Bawan. Pos Long Bawan semacam pusat koordinasinya. Dikenal dengan Pos Koki atau Kelompok Kompi. Dekat Koramil 0911-06/Kry.

Semua pos itu di wilayah Krayan. Mulai Krayan (sering disebut Krayan Induk), Krayan Barat, Krayan Timur, Krayan Tengah, dan Krayan Selatan. Hingga 11 Juli, para personelnya dalam penantian pulang. Digantikan tim anyar. Bahkan acara perpisahan sudah digelar akhir Juni lalu. Namun, helikopter penjemput tak kunjung tiba. Meski personel dari wilayah lain seperti Malinau sudah dipulangkan.

Pos Long Midang berjarak 2 kilometer dari patok perbatasan dengan Malaysia di wilayah Serawak. Ini pos gabungan yang posisinya di wilayah Indonesia. Dengan 20 personel TNI dan 10 dari Tentara Diraja Malaysia (TDM).

Kurang dari 10 menit dengan kendaraan bermotor dari Pos Long Midang, ada pos gabungan serupa. Tetapi di wilayah Malaysia. Namanya Pos Bakelalan. Di sana, personel TDM yang lebih banyak; 24. Sementara TNI sepuluh.

Pos Bakelalan dibangun di ngarai. Dikelilingi bukit. Konon sering diprotes petinggi TDM yang berkunjung. Dinilai tak strategis dan rawan. Lahirnya dua pos gabungan ini untuk mengikis intimidasi yang kerap terjadi kepada pelintas. Seperti yang dituturkan Taufan, sebelum ada pos gabungan, WNI yang melintas di Pos Bakelalan kerap dipersulit. “Ada yang KTP-nya digunting. Atau direndam di kolam,” sebut pria lulusan Akademi Militer 2011 itu.

Saat ini segala keperluan warga memang bersumber dari negara tetangga. Nyaris semuanya. Masuk tanpa dipungut bea cukai. Mestinya ilegal semuanya. Namun, ada kebijakan bahwa saat ini yang dilarang hanya minuman keras dan narkoba. Sampai nanti pos lintas batas negara (PLBN) berdiri. “Baru diberlakukan pemungutan bea cukai. Rencananya mulai tahun depan,” kata dia.

Pemasok narkoba dan minuman keras memang lawan yang tak mudah. Mereka disebut menguasai medan. Paham celah bukit dan hutan yang mengurung perbatasan. Pun mengenal titik-titik yang dijaga aparat.

Hutan lebat memberi tantangan tersendiri, terutama dalam urusan komunikasi. Telepon satelit pun kerap susah mendapat sinyal. “Pernah patroli di Long Midang hilang kontak selama empat hari,” kisah Taufan.

Enam pos di bawah koordinasi Taufan bertanggung jawab atas 2.276 patok sepanjang perbatasan Indonesia Malaysia. Pemantauan dilakukan bergantian. “Kami juga sweeping barang-barang ilegal,” ujar dia.

Patroli prajurit pernah menemukan pergeseran patok. Dua hingga tiga meter dari koordinat yang ditandai. Namun, disebut karena kondisi alam. “Kebanyakan karena tanahnya longsor,” sebut Taufan.

Prestasi menonjol pos di bawah komando Taufan adalah patroli blank pos area. Memantau kembali patok-patok yang ditancapkan pada 1977. Sekitar 42 tahun silam.

Blank pos area ini adalah kawasan yang patok-patoknya tak ada yang bertanggung jawab secara rutin. Umumnya sulit terjangkau, jauh, memerlukan perbekalan dalam jumlah jumbo.

Tahun ini diutus tim untuk mengecek kembali kondisi patok-patok itu. Dipimpin Solo Atmanegara. Pria 27 tahun berpangkat letnan satu yang mengomandani Pos Long Midang. Misi khusus itu memerlukan waktu nyaris sebulan. Dari awal hingga akhir Februari 2019. Penyisiran dari Desa Papetung, di Krayan Timur, yang bisa ditempuh dengan mobil selama 1,5 jam dari Pos Long Midang.

Tim Solo beranggota tujuh prajurit. Plus satu sipil, warga kampung. Yang membantu memberi tanda untuk jalur pulang tercepat. “Anggota lain menjadi tim support. Mereka mengantarkan logistik ke tengah jalan pulang. Antisipasi kami kehabisan logistik,” ujar lulusan Akmil 2014 itu.

Tim ini menyapu bersih 371 patok di blank pos area yang medannya berbukit-bukit dan dikelilingi belantara lebat di tapal batas dengan Malaysia di wilayah Sabah. Patok pertama ditemukan setelah berjalan kaki tiga hari dari Desa Papetung. Rerata masih dalam kondisi bagus. Meski berselimut lumut, penandanya masih terlihat. “Warnanya sudah tidak jelas,” kata pria asal Malang itu. Ada beberapa patok yang bergeser. Tak jauh. Lantaran longsor. Ada juga yang miring.

Selain aktivitas sweeping barang ilegal, patroli, mengecek pelintas batas, para prajurit juga ada yang membantu menjadi tenaga pendidik di sekolah dekat pos. “Bantu nanam dan panen padi juga,” ujar Solo.

Pos Long Midang bertanggung jawab terhadap 416 patok. Patroli dilakukan berkala. Memakan waktu 15 hari berjalan kaki. Dengan sepuluh anggota. Anggota pos ini pernah mengungkap peredaran narkoba. Tak banyak, gram-graman. Dibawa sopir angkutan barang dari Malaysia. Dikonsumsi sendiri sebagai penangkal lelah, katanya. “Disembunyikan di kaleng minuman ringan, kalengnya dikepruk, dibuang kayak sampah,” ujar pria lajang tersebut.

Berada di perbatasan, Pos Long Midang mudah dijangkau. Jalannya lebar, dan sedang ditingkatkan. Segala macam keperluan juga tak begitu sulit terpenuhi. Seperti penerangan yang bisa menggunakan panel tenaga surya. Sementara air ditampung dari gunung dan dialirkan ke pos melalui pipa kecil. Sinyal telekomunikasi pun lumayan. Kadang bisa untuk sambungan telepon dan berkirim pesan.

Pos-pos perbatasan yang kami kunjungi pada 8–11 Juli lalu tak semengerikan yang dibayangkan. Meski ada satu yang luput; Pos Bahsiuk. Kami tak sempat bertandang. Untuk ke sana, dari Lembudud menuju Desa Long Layuk. Bisa dengan kendaraan. Sekitar dua jam perjalanan. Dari Long Layuk, dilanjutkan berjalan kaki. Delapan jam. Naik-turun bukit.

“Delapan jam itu untuk yang sudah terbiasa,” ujar Danki Taufan sembari tertawa. Dari cerita prajurit, personel yang bertugas di Pos Bahsiuk, saat pertama tiba, membawa beban berat, memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai kamp; 10–12 jam. Tapi setelah itu mulai terbiasa.

Selain Bahsiuk, masih ada pos-pos sulit lainnya. Digelari pos udara. Sebab hanya bisa dijangkau dengan helikopter. Di antaranya, Pos Long Bulan, Latang, dan Long Bena. Tiga tim dari pos ini, sudah ditarik ke Tarakan, Kaltara. Kami menemui mereka di mes Kodim 0907 Tarakan pada 6 Juli.

Sebelas bulan mereka “terasing” di pos-pos tersebut. Normalnya sembilan bulan. Lantaran ada hajat besar demokrasi; Pemilu 2019, para prajurit itu mendapat bonus sekitar dua bulan lebih lama di sana. Masing-masing tim berisi 15 personel.

Pemulangan dilakukan melalui jalur udara menuju Malinau. Dilanjutkan dengan perjalanan sungai menggunakan perahu bermesin tempel alias ketinting menuju Tarakan. “Misi utama kami menjaga patok-patok perbatasan dengan Malaysia,” ujar Komandan Pos Long Bulan Letda Inf AB Sitorus. “Selain itu, menjaga hutan kita agar tidak dijarah illegal logging,” sambung pria yang pernah dua kali bertugas di Aceh itu.

Di bawah pengawasan Sitorus dan tim, ada 303 patok yang harus dijaga. Patok terdekat berjarak 500 meter dari pos yang dikelilingi hutan berbukit itu. Sekitar 500 meter lagi di belakang patok itu, ada jalan logging di wilayah Malaysia. Yang dulu, konon, digunakan untuk mengangkut hasil hutan, termasuk kayu Indonesia.

Patroli dilakukan dengan membagi tim menjadi dua. “Perlu dua minggu untuk masing-masing tim menyelesaikan patroli patok,” ujar dia. Patroli berikutnya menyesuaikan kedatangan logistik.

Medan berbukit dan cuaca ekstrem memengaruhi kedatangan helikopter pengantar logistik. Kerap heli tak bisa merapat karena pos tak tampak, terhalang kabut atau rerimbunan hutan. “Kendala yang utama itu logistik,” kata dia. Selain tentu saja sinyal telekomunikasi.

Buruknya akses telekomunikasi ini memaksa hubungan dengan keluarga menjadi sangat jarang. Jika ingin berkomunikasi dengan istri, prajurit mesti menghubungi Pos Kelompok Kompi (Koki), yang berjarak lima hari jalan kaki dari Long Bulan, dengan radi. Pos Koki-lah yang meneruskannya ke tujuan. “Jadi kalau ngomong sama istri itu yang dengar satu kompi,” ujar Sitorus terbahak-bahak. “Jadi tak ada rahasia, paling bicara yang umum-umum saja,” seru di sela tawanya.

“Hape (handphone) saya ini (sembari memperlihatkan smartphone) setahun tidak dipakai, tahu-tahu rusak,” sambung bapak tiga anak itu dengan dialek khas Batak.

Suhu di Long Bulan juga tergolong ekstrem. Bisa turun mencapai 15 derajat Celcius. Tanahnya pun tandus. Tak pas untuk bercocok tanam. Bahkan sekadar menanam sayur- mayur.

Berjarak sehari jalan kaki membelah hutan dari Pos Long Bulan, ada Pos Latang. Komandan pos ini dipegang Sertu Eri Suprastiono. Misi mereka sama dengan pos-pos lain. Pun kendala yang dihadapi.

Patok terjauh yang harus dijaga bisa ditempuh dengan berjalan kaki sehari penuh dari Pos Latang. “Kami mulai yang paling jauh, kemudian sisir mundur,” kata dia.

Kemudian ada Pos Long Bena. Pos ini paling anyar. Dibangun pada 2014, dan baru ditempati empat tahun kemudian. “Pas kami datang, kondisi bangunan banyak yang rusak. Harus diperbaiki,” ujar Komandan Pos Long Bena Letda Inf Jojo Iswantoro.

Pria lulusan Akmil angkatan 2017 itu memimpin tim mengawasi 458 patok. Patroli dilakukan per dua minggu dengan lima personel. “Kendalanya sama dengan teman-teman di pos lain. Hanya, kami beruntung dekat sungai sebagai sumber air. Kami juga bercocok tanam, menanam sayur-mayur,” ujar Jojo.

Di Pos Long Bulan dan Pos Latang, prajurit tak bisa bercocok tanam. Sebab tanah yang tandus. Atau gambut dengan tingkat keasaman tinggi. “Karena enggak ada sinyal telekomunikasi, kami membunuh kebosanan dengan berolahraga,” ujar Jojo.

Tiga pos itu benar-benar terisolasi. Tak terhubung dengan kawasan permukiman. Akses ke mana-mana jauh. Bahkan tidak ada. “Kami berharap pos kami ini bisa dipakai terus menerus. Bangga karena kami tim pertama yang menempatinya,” tuntas Jojo.

Selain tiga pos udara itu, pos terisolasi lainnya yang sering dikelakari sebagai penjara tanpa jeruji, adalah Pos Kahat, Mepun, dan Long Kemuat. Namun, patriotisme yang tertanam dalam diri prajurit tak terkikis oleh segala kesulitan di tapal batas itu.

“Kami happy-happy saja. Karena tugas itu adalah kebanggaan,” tutur Eri Suprastiono. Sitorus dan Jojo membenarkannya dengan teriakan lantang. (***/rom/k16)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pilpres Selesai, MenPAN RB Imbau ASN, TNI dan Polri Kembali ke Rutinitas


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler