jpnn.com, JAKARTA - Menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) ke-73, Perpustakaan MPR lewat acara ‘Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat’ membedah buku karya Mohammad Hatta yang berjudul ‘Sekitar Proklamasi’.
Dalam acara yang digelar di Ruang Presentasi Perpustakaan MPR, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, 15 Agustus 2018, hadir sebagai narasumber anggota MPR Fraksi Partai Golkar Hetifah Sjaifudian, sejarah dari UI M Sodikin, dan pengamat buku Arif Pradono.
BACA JUGA: Siap Gelar Sidang Tahunan MPR 16 Agustus 2018
Menanggapi buku karya Wakil Presiden I Indonesia itu, Sodikin mengatakan buku yang ditulis oleh Hatta itu sebagai upaya untuk meluruskan sejarah menjelang Indonesia merdeka. Diakui banyak penulis buku sejarah, termasuk dari orang luar negeri, yang membumbui fakta dengan dongeng sehingga membuat kejadian yang ada menjadi dramatis.
Menurut Sodikin, sebagai pelaku sejarah, Hatta menulis kejadian yang ada secara objektif sehingga kejadian itu tak sedramatis yang dibayangkan orang.
BACA JUGA: OSO: Waspada Upaya Perusak Moral Generasi Muda Bangsa
“Dari buku ini Hatta meluruskan sejarah yang tak sesuai dengan kenyataan,” ungkapnya.
BACA JUGA: Zulhasan: Tantangan Kita Kesenjangan dan Keadilan Hukum
Menjelang Indonesia merdeka, menurut Sodikin, Hatta merupakan 1 dari 5 orang tokoh yang disebutnya sebagai aktor intelektual. Di BPUPKI dan PPKI, Hatta merupakan sosok yang terlibat langsung dalam sebuah proses perjalanan bangsa.
“Ia mempunyai pandangan dan gagasan ke depan tentang sebuah bangsa,” ujarnya.
Dari sinilah ia menyebut Hatta sebagai Bapak Bangsa. Sodikin di hadapan peserta mengajak kepada semua untuk merefleksikan isi buku itu. “Apakah kita masih sesuai di jalur harapan bangsa?” tanyanya.
Arif Pradono dalam kesempatan itu menyebut buku karya Hatta tak mengedepankan anak muda sebagai penggerak terlaksananya Proklamasi. Ia membandingkan dengan buku karya Adam Malik yang menyebut anak muda sebagai penggerak kemerdekaan Indonesia.
Pradono sendiri mengakui kalau dalam setiap perubahan yang terjadi di muka bumi, anak mudalah sebagai agent perubahan. Ia menyebut Gajah Mada, Sudirman, aktivis 66, aktivis 98, adalah tokoh-tokoh perubahan di mana kala itu mereka masih tergolong muda. Perbedaan Hatta dan Adam Malik bisa jadi mereka dalam posisi yang berbeda, Adam Malik sebagai bagian dari anak muda, sedang Hatta dari kelompok yang disebut kaum tua.
Dalam kesempatan itu, Hetifah mengakui bahwa siapa saja bisa menjadi pelaku sejarah. Setiap generasi disebut memiliki sejarah tersendiri. “Kita menjadi pelaku sejarah di keluarga atau kampus,” ujarnya.
Sebagai anggota DPR dan MPR, dirinya mengakui merupakan bagian dari sejarah politik di Parlemen. Diharapkan dari sejarah yang ada, kita bisa memaknai peristiwa. “Yang bagus kita lanjutkan”, paparnya.
Dalam soal sejarah yang ada bumbunya, dongeng dan legenda misalnya, diakui memang ada unsur seperti itu agar yang tampak di publik menguntungkan. “Sejarah yang tak terlepas dari dunia politik memang ada unsur kepentingan yang ada,” tuturnya.
Dirinya pun menyebut banyak cerita-cerita lokal yang hidup di masyarakat penuh dengan dongeng dan legenda.
“Hal demikian juga perlu digali,” harapnya.
Meski demikian dirinya menyarankan agar peristiwa sejarah yang ada di Indonesia diproteksi agar tidak ditulis oleh orang asing.
Kabiro Humas Setjen MPR Siti Fauziah yang hadir dalam kesempatan tersebut, dalam sambutan mengatakan acara yang digelar oleh Perpustakaan MPR dengan membedah buku karya Mohammad Hatta dinilai sangat tepat sebab bertepatan dengan moment menyambut HUT RI ke-73.
“Apalagi buku yang dibedah adalah karya Mohammad Hatta, jadi sumbernya otentik”, paparnya. “Jadi kita tahu sumber peristiwa langsung dari pelaku sejarah,” tambahnya.
Acara itu disebut Siti Fauziah juga salah satu bentuk Sosialisasi Empat Pilar. Untuk itu ke depan acara ‘Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat’ akan diintensifkan.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sidang Tahunan MPR Laporkan Kinerja Lembaga Negara ke Publik
Redaktur & Reporter : Friederich