Jenderal Andika: TNI tak Pernah Hentikan Penyidikan Kasus Korupsi Helikopter AW-101

Senin, 06 Juni 2022 – 20:03 WIB
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa bicara soal kasus pengadaan helikopter AW-101. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengaku pihaknya masih terbuka untuk menyidik dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101.

"Enggak ada yang kemudian keputusan kami untuk menghentikan penyidikan," kata Andika ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/6).

BACA JUGA: Jenderal Andika Tersenyum saat Disinggung Pencapresan, Bakal Maju?

Mantan KSAD itu mengatakan TNI menunggu audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang jumlah kerugian negara, sebelum instansi militer memulai kembali pengusutan dugaan rasuah pengadaan helikopter AW-101.

"Sebetulnya kami juga menunggu, kan, ada salah satu tanggung jawab BPK RI. Jadi, kami masih terbuka, kok," ungkap Andika.

BACA JUGA: Danrem 174/ATW Pimpin Upacara Penerimaan dan Pelepasan Satgas Pamwil Obvitnas PT FI

Mantan Pangkostrad itu mengatakan TNI siap bekerja sama dengan KPK ketika memulai penyidikan dugaan korupsi pengadaan helikopter asal Inggris tersebut.

"Kalau memang ternyata ada yang diduga kemudian sehingga sejalan dengan penyidikan yang dilakukan KPK dan, bahkan proses hukum yang sudah berlangsung, ya, kami pun harus ikut," ungkap Andika.

BACA JUGA: Pesta Pernikahan Berdarah, Oknum TNI AD Tembak Mati Pemuda

Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan ada pertemuan antara tersangka sekaligus Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh (IFK) dengan seorang jenderal, Mohammad Syafei, yang saat itu menjabat sebagai Asisten Perencanaan dan Anggaran KSAU berpangkat Marsekal Muda.

Irfan menemui Syafei untuk membahas pengadaan helikopter AW-101 di daerah Cilangkap, Jakarta Timur pada Mei 2015.

Firli mengatakan Irfan didampingi pegawai Agusta Westland (AW) Lorenzo Pariani.

"Dalam pertemuan tersebut, kemudian membahas di antaranya akan dilaksanakannya pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU," kata Firli dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (24/5).

Dari pertemuan itu, Irfan yang merupakan salah satu agen AW selanjutnya membuat proposal harga pada Syafei dengan mencantumkan harga untuk satu unit helikopter AW-101 senilai USD 56,4 juta.

Sementara itu, harga pembelian yang disepakati Irfan dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 hanya senilai USD 39,3 juta (setara Rp 514,5 miliar).

Sekitar November 2015, panitia pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU, mengundang Irfan untuk hadir dalam tahap prakualifikasi dengan menunjuk langsung PT DJM sebagai pemenang proyek.

Namun, pelaksanaan pengadaan helikopter itu tertunda karena adanya arahan pemerintah mengenai kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung.

"Pada 2016, pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU kembali dilanjut dengan nilai kontrak Rp 738,9 miliar dan metode lelang melalui pemilihan khusus yang hanya diikuti oleh dua perusahaan," jelas Firli.

Dalam tahapan ini, lanjut Firli, panitia lelang diduga tetap melibatkan dan mempercayakan Irfan dalam menghitung nilai harga perkiraan sendiri (HPS) kontrak pekerjaan.

"Harga penawaran yang diajukan IKS (Irfan) masih sama dengan harga penawaran pada 2015 senilai USD 56,4 juta dan disetujui oleh PPK," jelas dia.

Eks Kabaharkam Polri itu melanjutkan Irfan disinyalir sangat aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan Marsekal Muda Fachri Adamy selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Singkatnya, lelang yang hanya diikuti dua perusahaan yang ternyata milik Irfan dan hal itu disetujui oleh PPK.

Sejauh ini, Irfan sudah menerima seratus persen pembayaran pengadaan helikopter tersebut.

Namun, KPK melihat beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak, antara lain tidak terpasangnya pintu kargo dan kurangnya jumlah kursi.

Perbuatan Irfan dimaksud diduga bertentangan dengan Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.

Perbuatan Irfan diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar dari nilai kontrak Rp 738,9 miliar.

Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. (ast/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perintah Jenderal Andika Tegas, Semua Harus Sampai ke Tangan Penerima


Redaktur : M. Rasyid Ridha
Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler