jpnn.com - Salah satu budaya arek Suroboyo yang khas adalah solidaritas sosial yang tinggi di antara mereka.
Budaya arek mengedepankan semangat keterbukaan, cenderung ekstrovert dan agak kasar, egaliter, dan bondo nekat, alias berbekal tekad.
BACA JUGA: Wapres Bicara Tantangan Indonesia ke Depan, lalu Singgung Jihad EkonomiÂ
Manifestasi dari sifat-sifat arek itu sering muncul dalam bentuk tawuran, perkelahian ramai-ramai, untuk menunjukkan solidaritas terhadap teman.
Ada sisi negatif dari kebiasaan tawuran ini.
BACA JUGA: Tiga Pelajar Nyaris Mati Dibacok Saat Tawuran
Akan tetapi, juga ada sisi positifnya, karena arek-arek bisa memelihara dan menunjukkan solidaritas sosial dan kolektif yang kental untuk bersama-sama menghadapi lawan.
Salah satu sisi positif tawuran masal arek-arek Suroboyo ditunjukkan saat pertempuran 10 November 1945.
BACA JUGA: Israel dan Jihad Islam Hentikan Pertempuran, Mesir Panen Pujian
Itulah momen tawuran masal yang diwarnai dengan semangat tidak kenal takut dan tidak kenal menyerah yang ditunjukkan oleh arek-arek Suroboyo.
Semangat tawuran itu didasari pada sikap bondo nekat alias bonek, dan dilandasi oleh semangat untuk merdeka dan tidak mau lagi menyerah kepada ancaman siapa pun.
Dengan semangat seperti ini, arek-arek Suroboyo tidak takut menghadapi 30 ribu tentara Inggris yang terlatih dan profesional serta dilengkapi dengan senjata tercanggih pada zamannya.
Moralitas pasukan Inggris ketika itu sangat tinggi, karena baru saja menang perang setelah tentara Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, setelah Nagasaki dan Hiroshima hancur oleh bom atom Amerika Serikat.
Tentara Jepang menyerah dan dilucuti di mana-mana, termasuk di Indonesia.
Inggris mendarat di Surabaya dengan mengultimatum pemimpin Republik Indonesia untuk menyerahkan semua senjata dan menerima tentara Sekutu sebagai penguasa baru menggantikan Jepang.
Para pemimin republik menyarankan warga Surabaya untuk tidak melawan.
Akan tetapi, arek-arek Suroboyo menolak.
Mereka siap mempertahankan kemerdekaan dengan risiko apa pun.
Ancaman bumi hangus oleh tentara Inggris dianggap sebagai angin lalu.
Seorang pemuda bernama Sutomo, asli arek Suroboyo kelahiran Blauran. Dia arek Suroboyo asli, lahir pada 1920 di Surabaya dan meninggal pada 1981 di Padang Arafah, Arab Saudi, tatkala sedang menunaikan ibadah haji.
Sutomo kemudian lebih dikenal sebagai Bung Tomo, menjadi pengobar semangat melalui pidatonya yang berapi-api.
Sutomo seharusnya dipanggil ‘’Cak Tomo’’ oleh teman-temannya, tetapi dia lebih memilih sebutan ‘’Bung’’ untuk menanggalkan identitas parokialisme dan memakai identitas perjuangan nasional.
War cry atau teriakan perang yang paling terkenal dari Bung Tomo adalah takbir ‘’Allahu Akbar’’ yang diteriakkannya di akhir pidato.
Di awal pidato dia membaca basmalah dan menyampaikan ‘’Assalamualaikum’’. Bung Tomo tahu bahwa Surabaya adalah kota metropolitan yang berisikan orang-orang dengan berbagai macam latar belakang etnis dan agama.
Akan tetapi, siapa pun dengan latar belakang etnis apa pun, akan disebut sebagai arek Suroboyo karena mereka sudah menetap di Suroboyo. Dan mereka pun dengan bangga menyebut dirinya sebagai arek Suroboyo.
Selain pekik takbir ‘’Alahu Akbar’’ Bung Tomo juga memekikkan semboyan ‘’Merdeka atau Mati’’.
Semboyan ini kemudian menjadi populer sebagai semboyan perjuangan nasional yang diteriakkan di setiap front pertempuran.
Karakter arek Suroboyo yang egaliter dan demokratis itu membawa semangat nasionalisme yang tinggi.
Nasionalisme yang tinggi itu kemudian dipadu dengan karakter religius yang membawa semangat ‘’Jihad fi Sabilillah’’.
Tidak bisa dimungkiri bahwa ‘’Resolusi Jihad’’ yang difatwakan oleh pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) K.H Hasyim Asyari membawa para santri dari berbagai daerah di Jawa Timur untuk terjun langsung ke palagan Surabaya.
Dalam resolusi itu disebutkan bahwa kaum muslimin yang berada di radius 100 kilometer dari Surabaya hukumnya ‘’fardu ain’’ untuk berjihad terjun ke pertempuran. Sementara yang bermukim di luar radius itu hukumnya ‘’fardu kifayah’’.
Semangat jihad membara. Hal tersebut terlihat dari orasi Bung Tomo yang selalu memekikkan “Allahu Akbar” pada setiap pembuka dan penutup pidatonya di depan para arek-arek Suroboyo.
Bung Tomo mengatakan bahwa "andai tak ada takbir, saya tidak tahu dengan cara apa membakar semangat para pemuda untuk melawan penjajah."
Pekikan “Allahu Akbar” dalam setiap pembuka dan penutup Bung Tomo memiliki peran besar dalam pertermpuran William H. Frederick dalam buku ’’Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia’’ mengungkapkan bahwa pekikan “Allahu Akbar” dalam setiap pidato Bung Tomo memiliki peran besar untuk menarik perhatian umat Islam di Surabaya.
Pada peristiwa 10 November 1945, pasukan rakyat, baik dari Hizbullah atau Sabilillah menyambut seruan jihad fisabilillah dengan teriakan pekik takbir Allahu akbar.
Bung Tomo juga memenuhi seruan jihad dari para alim ulama dengan pekik Allahu Akbar. Laskar rakyat perjuangan, laskar-laskar yang dibentuk oleh kaum Muslim di Surabaya, Hizbullah dan Sabilillah berhasil mengusir kaum penjajah.
Laskar rakyat berhasil mempertahankan Kota Surabaya dari ancaman ataupun upaya penguasaan penjajah yang dianggap sebagai kafir.
Semangat Resolusi Jihad menjadi landasan historis-filosofis yang menjadi bahan bakar energi perlawanan arek-arek Suroboyo sehingga mereka bertindak tanpa ragu sama sekali.
Apalagi, kondisi sosiologis masyarakat Surabaya yang memang "terbiasa" dengan budaya tawuran. Maka atas dasar fatwa pemuka agama, semangat tawuran dan jihad itu menyatu menjadi kekuatan yang dahsyat.
Peperangan berlangsung sampai sebelas bulan. Tentara sekutu telah kehabisan amunisi dan kalah oleh kekuatan jihad kaum muslim dan semangat bonek arek-arek Suroboyo.
Maka pada September 1946 pasukan Sekutu ditarik mundur dengan tertunduk malu.
Terbunuhnya Jenderal Mallaby dalam sebuah ‘’ambush’’ atau pengadangan di Surabaya juga menjadi aib bagi tentara Sekutu.
Belum ada dalam sejarah sepanjang Perang Dunia ada jenderal yang mati dalam perang kota. Inggris dibuat malu oleh peristiwa ini.
Jumlah korban yang jatuh dari pihak Indonesia tidak terhitung banyaknya. Belasan ribu dan sangat mungkin puluhan ribu.
Mayat bergelatakan di mana-mana, tetapi hal itu tidak menyiutkan semangat jihad dan semangat tawuran arek-arek Suroboyo.
Tidak ada pilihan lain bagi Sekutu kecuali meninggalkan medan perang, ‘’tinggal gelanggang colong playu’’ meninggalkan medan perang dan melarikan diri. Rakyat Surabaya merayakan kemenangan itu dengan pekik takbir.
Pasukan Sekutu dan tentara Belanda yang membonceng, harus mundur teratur.
Kebanggaan tentara Inggris sebagai pemenang Perang Dunia II pudar.
Mereka kalah--bukan oleh pasukan profesional--tetapi oleh pasukan bonek, laskar perjuangan rakyat, dengan semangat tawuran dan jihad yang dahsyat. (**)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror