jpnn.com, JAKARTA - Komisi VII DPR meminta Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN) tetap menjaga kinerjanya di tengah lesunya industri migas (minyak dan gas) dunia.
Apalagi beberapa kebijakan pemerintah telah mendorong BUMN Migas memangkas margin bisnisnya.
BACA JUGA: Situasi Buruk ini Baru Pertama Kali Dialami Pertamina
Salah satunya adalah kebijakan harga gas industri tertentu sebesar USD6 per mmbtu di plant gate sebagaimana Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 tahun 2020.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Falah Amru khawatir kebijakan yang memangkas bisnis PGN akan mengurangi kemampuan BUMN ini untuk mengembangkan infrastruktur gas bumi.
BACA JUGA: Benarkah Penurunan Harga BBM Saat ini Justru Berbahaya Bagi Perekonomian?
"Kami minta dijelaskan dampak kebijakan itu (Permen ESDM No. 8 tahun 2020) terhadap kemampuan PGN membangun infrastruktur. Kami tidak ingin PGN rugi, karena yang rugi juga rakyat," jelas Falah dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) komisi VII dengan Pertamina dan PGN secara online, Selasa (21/4).
Dalam kesempatan ini Tifatul Sembiring dari Fraksi PKS mendorong adanya evaluasi terhadap Permen No. 8 tahun 2020, yang baru dirilis pekan lalu.
BACA JUGA: PGN Ikuti Kebijakan Pemerintah Terkait Harga Gas Industri
Tifatul mensinyalir regulasi baru tersebut bisa memangkas peran PGN dalam perluasan pemanfaatam gas bumi.
"Jangan sampai ada main mata, jadi harus ada konsultasi dengan kementerian (ESDM) soal regulasi itu," tegasnya.
Kepada Komisi VII DPR, Direktur Utama PGN Gigih Prakoso menyatakan adanya permen ESDM No 08 tersebut membuat harga jual gas PGN ke industri akan turun. Dampaknya pendapatan perusahaan juga akan mengalami penurunan.
Menurut Gigih, saat ini harga gas PGN ke industri rata-rata USD8,4 per mmbtu. Sehingga dengan harga gas industri tertentu ditetapkan USD6 per mmbtu maka PGN akan kehilangan pendapatan sebesar USD2,4 per mmbtu.
Dan sesuai ketentuan dari permen 08, harga gas di hulu juga akan diturunkan menjadi sekitar USD4 - USD4,5 per mmbtu. Sementara PGN selama ini membeli harga gas di hulu rata-rata sekitar USD5,4 per mmbtu.
"Jadi masih ada selisih antara penurunan harga gas di hulu dengan harga jual gas PGN ke industri. Kami akan laporkan kepada Menteri BUMN untuk bisa mendapatkan insentif," ungkapnya.
Gigih menjelaskan, PGN akan mengusulkan beberapa opsi insentif kepada kementerian ESDM terkait pelaksanaan kebijakan harga gas industri tertentu ini.
Beberapa opsi yang bisa dilakukan yakni melalui penerapan harga khusus yang dibeli PGN dari pemasok.
Volume gas dengan harga khusus ini akan dijual kepada pelanggan-pelanggan PGN, baik pelanggan industri yang masuk dalam Keppres Nomor 40, ataupun yang diluar Keppres Nomor 40.
Namun, bila kondisi demand masih menurun dan PGN tidak bisa menjual, maka alternatif lain perusahaa bisa mengusulkan semacam penggantian biaya secara cash dari pemerintah.
"Ini semua akan kami sampaikan kepada pemerintah untuk dimintakan persetujuannya," lanjutnya.
Sementara, Direktur Keuangan PGN Arie Nobelta Kaban menambahkan apabila tidak ada insentif, maka kemampuan PGN memenuhi kewajiban jangka panjang kemungkinan akan terganggu.
Menurut Arie penerapan Permen ESDM Nomor 08 tahun 2020 akan berdampak pendapatan perusahaan yang diperkirakan turun sebesar 21 persen, jika tidak ada insentif dari pemerintah.
"Saat ini PGN memiliki kewajiban utang jangka panjang sebesar USD1,95 miliar yang jatuh tempo pada 2024. Jika pendapatan terganggu akan membuat PGN tidak mampu memenuhi kewajibannya," tambahnya.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy