Jokowi Disarankan Serius Seperti Soeharto

Senin, 10 November 2014 – 20:30 WIB
Pengamat dari LIPI, Siti Zuhro. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Profesor Siti Zuhro meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan PDI Perjuangan jujur mengemukakan alasan untuk mendukung atau menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Siti mengaitkan hal ini dengan revolusi mental yang selalu mereka dengungkan. Sebab kata Siti, revolusi mental itu bertujuan untuk merevolusi mind set agar tidak ada dusta.

BACA JUGA: SBY-Boediono Laporkan Harta Kekayaan ke KPK

“Katanya revolusi mental. Kalau revolusi mental, yah harus jujur. Berikan masyarakat pelajaran yang betul. Kalau tidak ada pembelajaran mengenai alasan penolakan atau alasan mendukung kenaikan BBM, maka negara ini akan mengalami stagnasi yang panjang. Akan ada stagnasi politik, ekonomi dan sosial,” kata Siti, ketika dihubungi wartawan, Senin (10/11).

Dalam memberikan alasan mendukung kenaikan BBM lanjutnya, Jokowi paham bahwa ada 60 juta atau 32 persen rakyat miskin yang akan merasakan dampak langsung kenaikan BBM. Kalau subsidi BBM dianggap tidak tepat sasaran, berikan data yang transparan kepada rakyat dan jelaskan hal itu.

BACA JUGA: Eksekusi Eksekusi Terdakwa Korupsi Bioremediasi ke Sukamiskin

“Saya paham PDIP menolak kenaikan BBM karena PDIP sebagai sebuah institusi politik harus bisa menjaga imagenya. PDIP masih harus bertarung dalam pilkada sehingga secara institusi harus menolak kenaikan BBM. PDIP kan mengikuti semua perhelatan pilkada, dia tidak mau terstigma sebagai partai yang tidak pro wong cilik dengan mendukung kenaikan BBM. Makanya dengan memelihara isu penolakan kenaikan BBM, PDIP memelihara konstituen wong ciliknya,” ujarnya.

Selain itu, mereka harus konsisten kepada diri sendiri. PDIP menurutnya juga harus jujur mengkritik Jokowi, termasuk berani mengkritik Jokowi yang akan membagikan uang kepada rakyat sebagai kompensasi kenaikan BBM atau yang di rezim SBY dikenal BLT.

BACA JUGA: Menkes Belum Siap Jelaskan Road Map Kesehatan di DPR

"Dulu mengkritik gaya SBY, kini melakukan cara-cara SBY. Mengkritik tapi mengulang gaya orang yang dikritik, ini kan lucu. Ini sama seperti mengganti BPJS dengan KIS, misi bea siswa pendidikan untuk siswa miskin diganti KIP, program untuk rakyat miskin diganti KKS. Revolusi mental harus diwujudkan dengan program yang nyata bukan mengganti kemasan program tersebut saja,” tegasnya.

Jokowi menurutnya, harus mampu membuat program baru kalau ingin melaksanakan revolusi mental. Kalau hanya sekedar mengganti kemasan, bukan revolusi. ”Harusnya Jokowi mencari jalan bagaimana mengentaskan kemiskinan dan pengangguran misalnya bekerja sama dengan Pemda. Kemiskinan bukan hanya di Jakarta. Ada 187 daerah tertinggal dan yang miskin. Daerah miskin artinya daerah gagal dan masyarakatnya pasti terbelakang,” imbuhnya.

Dengan revolusi mental artinya Jokowi harus bisa mengkombinasikan gaya kepemimpinan Mantan Presiden Soekarno dan Soeharto. ”Semua harus dikelola secara serius, turun ke bawah dan membumi bukan sekadar blusukan saja. Untuk ini Jokowi harus meniru Pak Harto. Jokowi jangan hanya melihat Soekarno sebagai orang yang hebat di dunia internasional, tapi juga harus melihat Soekarno yang keteteran di dalam negeri karena ekonomi berantakan. Makanya kalau bisa kombinasi keduanya,” paparnya.

Terakhir dia mengingatkan, untuk urusan pembenahan, Jokowi tidak lagi bisa berlindung di balik media besar yang dalam pilpres ikut mendukung dan menjaganya. ”Media tidak akan sanggup menutupi kalau memang program Jokowi pada intinya tidak pro rakyat. Ketika harga naik dan beban masyarakat bertambah berat, maka siapapun termasuk media tidak bisa melindunginya,” pungkas Siti Zuhro. (fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rizal: Kenaikan BBM Rp 3 Ribu Langgar UU, Jokowi Bisa Diimpeach


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler