Jokowi-Kiai Ma'ruf dan Daya Saing Indonesia

Rabu, 23 Oktober 2019 – 21:41 WIB
Founder IndoSterling Capital William Henley. Foto: Dok Pri

jpnn.com, JAKARTA - Oleh: William Henley (founder IndoSterling Group)

 

BACA JUGA: Menteri yang Bertahan dan Bergeser di Kabinet Jokowi

“Pura babbara’ sompekku, Pura tangkisi’ golikku”. Pepatah Bugis nan mahsyur itu dilontarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai penutup pidato usai pelantikannya sebagai kepala negara periode 2019-2024 di ruang rapat paripurna I, Gedung MPR RI/DPR RI/DPD RI, Jakarta, Minggu (20/10).

Arti pepatah itu sederhana, tetapi mendalam: Layarku sudah terkembang, kemudiku sudah terpasang. 

Yes, pemilihan pepatah itu seolah menjadi penegasan kesiapan Jokowi untuk memulai periode kedua pemerintahan. Kali ini, presiden periode 2014-2019 itu bersiap mengarungi samudera lima tahun kepemimpinan ke depan bersama Ma'ruf Amin. 

Berbagai fokus dan prioritas pemerintahan Jokowi-Ma'ruf pun telah dipaparkan dalam pidato kenegaraan pertama Jokowi. Mulai dari peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) hingga transformasi eonomi. 

Kesemua langkah Jokowi seolah menjawab tantangan dari berbagai lembaga kenamaan dunia, salah satunya adalah World Economic Forum.

Beberapa hari sebelum pelantikan Jokowi-Ma'ruf, WEF merilis Global Competitiveness Report 2019 yang berisi peringkat daya saing 141 negara di dunia. 

Dalam laporan itu, peringkat daya saing Indonesia turun lima tingkat ke level 50 dibandingkan tahun lalu. Nilai indeks daya saing Indonesia tahun ini turun 0,3 poin dari 64,9 menjadi 64,6. 

Ketika laporan WEF dipublikasikan, sejumlah menteri Jokowi-JK pun memberikan tanggapan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai ada kendala dari sisi SDM.

Oleh karena itu, dia menyatakan pemerintah berkomitmen memperbaiki hal itu dengan meningkatkan nominal dan efektivitas anggaran di sektor pendidikan.

Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memiliki pandangan berbeda. Dia menilai negara lain terus melakukan perbaikan sehingga mampu melompat lebih tinggi. Misalnya Vietnam yang naik dari peringkat 77 menjadi 67 atau melesat 10 tingkat. 

Lantas, apa yang dapat dilakukan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf untuk memperbaiki daya saing RI ke depan? 

Maksimalkan infrastruktur dan teknologi informasi

Global Competitiveness Report yang dirilis WEF mengevaluasi 12 pilar penting, mulai dari institusi hingga stabilitas makroekonomi. 

 

Khusus untuk Indonesia, tahun ini peningkatan tampak pada tujuh pilar, yaitu dinamika bisnis, infrastruktur, institusi, kemampuan inovasi, sistem keuangan, stabilitas makroekonomi, dan ukuran pasar.

Lima pilar lain mengalami penurunan, yaitu adopsi ICT (information and communication technologies/teknologi informasi dan komunikasi), kesehatan, keterampilan, pasar tenaga kerja, dan produk.

Dari pilar infrastruktur, WEF melaporkan ada kenaikan skor dari 66,8 menjadi 67,7 pada tahun ini. Peningkatan itu lumrah mengingat pemerintahan Jokowi-JK begitu gencar membangun infrastruktur pada periode kepemimpinan 2014-2019. 

Khusus untuk tahun ini, anggaran infrastruktur mencapai Rp 415 triliun atau naik tajam 62 persen dibandingkan tahun 2015 yang tercatat Rp 256,1 triliun.

Hasilnya sebagaimana dijelaskan tampak dalam laporan WEF. Misalnya kualitas jalan meningkat dari skor 48,1 (2018) menjadi 52,6 pada tahun ini. Pun konektivitas jalan yang melesat dari 34,6 menjadi 59,8. 

Namun, patut dicatat bahwa gencarnya pembangunan infrastruktur belum membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat. Rata-rata ekonomi di era Jokowi-JK tumbuh pada kisaran 5 persenan. 

Kendati demikian, masifnya pembangunan infrastruktur itu tentu merupakan modal yang baik memasuki periode kedua Jokowi. Diharapkan infrastruktur-infrastruktur yang ada tidak hanya menjadi alat pemerataan pembangunan saja, melainkan juga lahirnya kawasan-kawasan industri berbasis manufaktur. 

Mengapa itu penting? Ini karena industri dengan klasifikasi itu teramat dibutuhkan oleh pemerintah di saat ketidakpastian global seperti sekarang telah berdampak negatif kepada perekonomian.

Apalagi Badan Pusat Statistik pun mencatat pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang kuartal II-2019 mengalami perlambatan menjadi hanya 3,62 persen. 

Faktor berikutnya adalah adaptasi teknologi informasi dan komunikasi. Untuk hal ini, Indonesia patut belajar kepada negara tetangga, Vietnam. Menurut WEF, Vietnam mengalami kenaikan skor sebanyak 26 poin terkait pilar ini, sedangkan Indonesia turun enam poin. 

Salah satu faktor di balik hal itu adalah infrastruktur penunjang internet di Vietnam jauh lebih baik. Misalnya dari sisi infrastruktur 4G yang sudah menjangkau 95 persen wilayah. 

Namun, skor Indonesia berpotensi meningkat tahun depan seiring keberadaan Tol Langit. Tol Langit merupakan sebutan untuk Palapa Ring yang baru saja diresmikan Jokowi jelang periode pertama berakhir.

Tol Langit tidak hanya akan memperluas jangkauan internet, melainkan juga menekan tarif sehingga daya saing pun jauh lebih baik.

 

Reformasi birokrasi

 

Dalam setiap pemerintahan, reformasi birokrasi selalu menjadi tema utama. Tidak terkecuali pada periode kedua Jokowi. Ia pun telah berjanji akan memangkas prosedur yang panjang. Utamanya untuk investasi demi penciptaan lapangan kerja. 

Namun, hal itu tidak bisa sebatas omongan semata. Perlu langkah konkret hingga ke level pemerintah daerah. Seperti diketahui, rumitnya birokrasi masih menjadi keluhan investor baik dari dalam maupun luar negeri. 

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa dalam berinvestasi selalu ada uang pelicin di hampir semua sektor, termasuk infrastruktur. Salah satu bukti adalah rangkaian operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK.

Modusnya selalu serupa, yaitu pihak swasta memberikan sejumlah uang kepada pihak pemerintah. Ke depan, praktik-praktik semacam itu harus diberantas. 

Selain menggunakan pendekatan hukum, pemerintahan Jokowi juga dapat memakai pendekatan dari sisi fiskal.

Caranya adalah dengan memberikan bonus berupa peningkatan dana alokasi umum maupun dana alokasi khusus kepada daerah-daerah yang terbukti mampu mendatangkan investasi dalam jumlah tertentu.

Insentif juga dapat diberikan kepada pejabat terkait, misalnya lewat kenaikan pangkat atau jabatan. Insentif-insentif itu didukung dengan penegakan hukum yang solid, diharapkan dapat memangkas rantai birokrasi yang panjang. 

Pada akhirnya, semua pihak berharap perekonomian indonesia di era kedua Jokowi, jauh lebih baik dibandingkan periode yang pertama. Peningkatan daya saing hanyalah salah satu jalan demi mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi.

Hal tersebut tidak akan terbatas pada angka-angka saja, tetapi juga kualitas yang tecermin pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. 

Selamat bertugas dan bekerja kepada Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin. (*)


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler