Jokowi Masih 24 Karat Atau Sekarat?

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 06 Maret 2022 – 17:09 WIB
Presiden Jokowi melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh). Ilustrasi/Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Dalam tata bahasa Indonesia dikenal istilah homonim atau polisemi.

Satu kata yang mempunyai dua makna. Kata ‘’bisa’’ bermakna dapat atau mampu, tetapi berarti juga racun. Kata karat berarti kotoran pada besi, tetapi punya arti juga sebagai ukuran kemurnian emas.

BACA JUGA: Demokrat Minta Jokowi Tegas soal Penundaan Pemilu, Setop Basa-Basi

Emas murni berukuran 24 karat. Pada karat tertinggi ini emas disebut sebagai emas asli alias tulen. Makin rendah dari 24 karat berarti kemurnian emas itu makin menurun.

Karena karat adalah satuan, maka hitungannya dimulai dari satu sampai 24. Karat paling rendah bisa disebut sebagai sekarat, dalam arti satu karat.

BACA JUGA: Sekjen Jokpro Bantah Ada Donatur Penyokong Dukungan Jokowi 3 Periode 

Kata sekarat ini pun mengandung polisemi yang bisa menimbulkan multi-tafsir. Sekarat bisa diartikan sebagai satu karat. Namun, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sekarat bisa juga diartikan sebagai detik-detik menjelang seseorang meninggal dunia.

Sekarat diadopsi menjadi bahasa Indonesia dari bahasa Arab ‘’sakarat al-maut’’ atau lebih sering ditulis ‘’sakaratul maut’’. Sebelum merasakan kematian, manusia akan mengalami keadaan saat roh akan berpisah dari jasad secara perlahan-lahan.

BACA JUGA: Gerindra Bakal Deklarasi Capres, Wacana Jokowi-Prabowo Kandas?

Karat dipakai untuk mengukur kadar kemurnian emas. Namun, karat juga punya makna polisemi karena dipakai untuk mengukur kadar perasaan manusia, misalnya cinta. Seseorang yang cintanya murni secara jenaka menyebut cintanya 24 karat.

Kualitas seseorang dalam berbagai hal kemudian diukur dengan karat. Seseorang yang imannya teguh disebut punya iman 24 karat.

Seseorang yang cinta kepada tanah air disebut nasionalis tulen 24 karat. Seseorang yang punya komitmen demokrasi tinggi disebut sebagai demokrat tulen 24 karat.

Demokrat tulen 24 karat adalah seseorang yang benar-benar punya komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan selalu taat kepada konstitusi. Prinsip demokrasi yang paling gampang diingat adalah pemerintahan ‘’dari, oleh, dan untuk rakyat’’. Gampang diingat, tetapi susah diterapkan.

Dalam prinsip demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat. Kedaulatan rakyat itu diwujudkan dalam perwakilan di lembaga eksekutif dan legislatif. Para pejabat di lembaga-lembaga itu adalah wakil rakyat yang dipilih melalui proses pemilihan umum yang harus berjalan ‘’luber’’, langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Dalam KBBI luber artinya melimpah, meluap, melembak. Makna denotasi, atau makna harfiahnya, adalah sesuatu yang berlebih sampai tidak bisa tertampung dalam suatu tempat. Konotasi, atau makna kiasan, dari kata luber bisa positif, misalnya kekayaan yang meluber, yang berarti kekayaan itu melimpah dan dan bisa dirasakan manfaatnya oleh orang banyak.

Luber bisa juga punya konotasi yang negatif ketika dikaitkan dengan debit air. Kalau air meluber, meluap, dan melembak ke mana-mana berarti akan terjadi banjir yang bisa membawa akibat buruk bagi masyarakat.

Pemerintah Orde Baru terkenal jago dalam kemampuannya menciptakan kata-kata eufimisme atau majas. Eufemisme diambil dari Bahasa Yunani ‘’euphemizei’’ yang berarti memiliki kata-kata yang baik. Majas atau eufemisme berguna untuk menggantikan kata-kata yang punya konotasi kasar atau negatif menjadi kata-kata yang lebih pantas, halus, dan positif.

Di tangan rezim Orde Baru istilah luber menjadi identik dengan pemilu, dan selalu mempunyai konotasi positif. Kita semua tahu selama rezim Orde Baru berkuasa pemilu tidak pernah benar-benar dilaksanakan secara luber.

Pemilu selama masa Orde Baru adalah bagian dari demokrasi prosedural yang dilaksanakan sesuai prosedur, tetapi tidak mempunyai esensi demokrasi yang sesungguhnya.

Konsep luber dalam pemilu Orde Baru lebih tepat dilihat sebagai paradoks karena kenyataannya yang benar-benar terbalik. Pemilu Orde Baru tidak langsung, tidak umum, tidak bebas, dan tidak rahasia.

Orang Amerika boleh bangga karena hasil pemilu sudah bisa diketahui dalam lima jam. Orang Inggris boleh bangga karena hasil pemilu sudah diketahui dalam lima hari. Dua negara itu bangga disebut sebagai kampiun demokrasi.

Namun, kehebatan dua negara itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan Indonesia, karena di Indonesia hasil pemilu sudah diketahui lima tahun sebelum pelaksanaannya.

Itu joke politik Orde Baru yang beredar luas di zaman itu. Seorang profesor Singapura tetiba mengutip joke itu tanpa menyebut sumbernya. Kontan sang profesor dikecam oleh banyak orang Indonesia karena pernyataan itu dianggap melecehkan.

Kenyataan yang terjadi memang demikian. Pemilu Indonesia di zaman Orde Baru sudah bisa diketahui pemenangnya, yaitu Golkar. Selama enam kali penyelenggaraan pemilu Golkar sebagai the ruling party Orde Baru selalu menang.

Di setiap pemilu Golkar tinggal memainkan target, mau menang 70 persen, 80 persen, atau 90 persen.

Golkar adalah kendaraan politik utama rezim Orde Baru. Namun, begitu Orde Baru tumbang Golkar paling cepat menyelamatkan diri, melepas kedekatan dengan Orde Baru dan mengubah diri menjadi Partai Golkar.

Sebagian besar masyarakat Indonesia terjangkiti penyakit demensia politik yang akut, yang menyebabkan masyarakat mudah sekali lupa.

Masyarakat menderita penyakit daya ingat pendek, sehingga dosa-dosa politik Golkar di masa lalu terlupakan total. Golkar menjelma menjadi partai baru yang dengan cepat meloncat menjadi penumpang gerbong reformasi.

Partai Golkar punya jargon ‘’Suara Golkar Suara Rakyat’’, jadi suara Golkar identik dengan suara rakyat. Entah sengaja atau tidak, jargon ini mengadopsi ungkapan demokrasi yang kondang ‘’vox populi vox dei’’, yang artinya suara rakyat suara Tuhan.

Demokrasi adalah suara kedaulatan rakyat yang merupakan representasi dari Tuhan di bumi, karena itu suara rakyat adalah suara Tuhan.

Namun, jargon Golkar terbalik-balik. Suara Golkar adalah suara rakyat. Bukan suara rakyat suara Golkar. Rakyat yang harus ikut suara Golkar, bukan sebaliknya.

Karena itu ketika Ketua Partai Golkar Airlangga Hartarto menyuarakan gagasan penundaan pemilu selama dua tahun, dia mengeklaimnya sebagai suara para petani di Sumatra. Pernyataan Golkar ini kontan memicu reaksi negatif dari banyak kalangan.

Golkar, bersama PAN (Partai Amanat Nasional) dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dianggap telah mencoreng amanat reformasi.

Publik akan menilai seberapa kadar demokrasi dari ketiga partai itu, apakah masih 24 karat atau sudah merosot sampai sekarat alias satu karat. Para pundit politik menyerukan supaya rakyat menghukum tiga partai itu dalam pemilu dengan tidak memilih mereka, supaya mereka menjadi sekarat.

Suara orkestrasi itu disebut-sebut bersumber dari lingkaran dalam Joko Widodo di Istana. Lingkaran Istana sudah membantah hal itu, tetapi pernyataan politik Jokowi yang bersayap membuat kecurigaan itu makin kuat.

Ketika ide perpanjangan kekuasaan presiden itu muncul pada 2019, Jokowi bereaksi keras dengan mengatakan bahwa si empunya gagasan itu ingin cari muka dan ingin menjerumuskan Jokowi.

Namun, sekarang tone pernyataan Jokowi sudah berubah. Jokowi mengatakan tidak bisa melarang kemunculan gagasan itu, karena hal itu bagian dari demokrasi. Jokowi menambahkan bahwa sebagai presiden ia akan taat dan patuh kepada konstitusi.

Kalimat ini lembek dan bersayap. Kalau nanti gerakan ini menggelinding menjadi besar dan menjadi suara mayoritas di parlemen, maka amendemen konstitusi akan menjadi kenyataan, dan masa kekuasaan kepresidenan akan diperpanjang.

Jokowi yang taat dan patuh kepada konstitusi pun akhirnya menjalankan amanat konstitusi dan mendapatkan perpanjangan masa jabatan kepresidenan secara gratis.

Kalimat bersayap ini menjadi ujian kadar demokrasi Jokowi. Publik akan melihat berapa karat kadar demokrasi Jokowi. Apakah Jokowi masih 24 karat, atau sudah sekarat? (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler