jpnn.com - Mantan Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yasin ditangkap MACC (Malaysian Anti Corruption Committee) atau KPK-nya Malaysia karena diduga terlibat dalam korupsi anggaran Covid-19.
Muhyiddin menjadi mantan perdana menteri kedua yang ditahan di Malaysia.
BACA JUGA: Menteri Andalan Jokowi Ini Sedang Sakit, Dirawat Kini di RSPAD, Mohon Doanya
Sebelumnya, pada 2020 mantan Perdana Menteri Najib Razak dan istrinya ditangkap atas tuduhan korupsi dan dihukum 12 tahun penjara.
Penangkapan Muhyiddin ini disebut-sebut mempunyai motif politik, karena ada persaingan dengan rezim yang berkuasa sekarang di bawah Anwar Ibrahim.
BACA JUGA: China Menyebarkan Pemikiran Xi Jinping soal Sosialisme ke Berbagai Negara
Dia ditangkap hanya beberapa bulan setelah kalah pemilu dari Anwar Ibrahim untuk memperebutkan kursi perdana menteri, November lalu.
Muhyiddin dituduh melakukan kejahatan penyuapan dan pencucian uang lewat anggaran Covid-19 saat dia berkuasa.
BACA JUGA: Pakar China Beberkan Arti Penting Indonesia Bagi Megaproyek Xi Jinping
Muhyiddin menjadi mantan PM Malaysia kedua yang terjerat kasus korupsi.
Sebelumnya, mantan PM Najib Razak dipenjara 12 tahun atas tuduhan korupsi yang melibatkan perusahaan investasi milik negara.
Muhyiddin yang memimpin Aliansi Muslim-Melayu, berkuasa atau duduk sebagai PM dari 2020 sampai 2021 selama 17 bulan.
Dia punya sejarah perselisihan yang panjang dengan Anwar Ibrahim yang sama-sama pernah menjadi kader Partai UMNO (semacam Golkarnya Indonesia).
Keduanya kemudian membentuk partai baru masing-masing dan terlibat persaingan politik yang keras.
Muhyiddin dituduh menerima suap sebesar USD 51 juta atau sekitar Rp 788 miliar dari perusahaan yang mengikuti tender.
Muhyiddin juga dituduh melakukan pencucian uang.
Jika terbukti bersalah, dia bisa dihukum 20 tahun penjara.
Muhyiddin dibebaskan dengan uang jaminan, tetapi paspornya ditahan untuk mencegahnya lari ke luar negeri.
Sementara itu di China terjadi perubahan politik besar pekan lalu, ketika Xi Jinping dilantik sebagai presiden untuk periode ketiga.
Pengangkatan ini menandai era baru di China di bawah Xi Jinping yang sudah mengubah konstitusi yang memungkinkannya untuk menjabat 3 periode, dan bahkan lebih.
Para pemimpin China rata-rata menjabat 2 periode sesuai konstitusi.
Pendiri Republik China Mao Zedong--yang memimpin revolusi China--hanya memimpin 10 tahun secara formal sejak 1949 sampai 1959.
Deng Xiaoping—yang dianggap sebagai pemimpin China terbesar setelah Mao—juga memimpin secara formal tidak lebih dari 10 tahun sampai dengan kematiannya pada 1997.
Xi Jinping terlihat berambisi menjadi pemimpin terbesar era global mengalahkan Mao dan Deng.
Xi Jinping memulai era ekspansionis China di dunia internasional dengan proyek Road and Belt Initiative, proyek infratruktur internasional yang menyabungkan China dengan Afrika dan Eropa.
Dengan memperpanjang jabatannya menjadi 3 periode Xi Jinping mempunyai waktu lebih panjang untuk mewujudkan ambisinya menjadi kekuatan superpower baru menantang Amerika Serikat.
Dua peristiwa di luar negeri itu membawa resonansi ke Indonesia.
Penahanan Muhyiddin Yassin digambarkan sebagai warning kepada Presiden Joko Widodo untuk berhati-hati dalam melaksanakan proyek infrastruktur.
Kebetulan, bersamaan dengan kasus Muhyiddin, KPK mengeluarkan pernyataan bahwa proyek-proyek infratruktur di era Jokowi rawan korupsi.
KPK menemukan sejumlah kerawanan pada tata kelola penyelenggaraan proyek-proyek jalan tol yang bisa membawa potensi kerugian negara yang akan menyebabkan munculnya pidana korupsi.
KPK melihat kerawanan yang bisa menjadi permasalahan serius itu terjadi sejak proses persiapan, pelelangan, pendanaan, konstruksi, operasi pemeliharaan hingga, pengambilalihan konsesi.
Pola pembangunan infrastruktur Jokowi selalu sama, yaitu mencari utang luar negeri melalui BUMN, membangun infrastruktur, dan kemudian menyerahkan operasionalnya kepada swasta.
KPK mengamati ratusan proyek infrastruktur di masa Jokowi.
Dari 201 Proyek Strategis Nasional (PSN), 54 (27 persen) di antaranya merupakan proyek tol yang dikelola oleh Kementerian PUPR.
KPK meminta supaya tata kelola penyelenggaraan tol diperbaiki.
Kajian KPK menemukan titik-titik yang masih rendah efektivitas dan efisiensinya.
Jika hal ini tidak dibenahi maka akan berpotensi menimbulkan kerugian negara yang membuka pintu bagi dugaan korupsi.
KPK mencatat, selama era Jokowi pembangunan tol di Indonesia meningkat drastis.
Total panjang tol tersebut mencapai 2.923 km, yang mencakup 33 ruas tol, dengan rencana investasi hampir mencapai Rp 600 triliun.
KPK menyoroti beberapa kelemahan, yaitu keterlambatan penyelesaian dan pengoperasian proyek.
Tercatat 43 persen proyek tol yang dibangun sebelum 2015 sampai sekarang belum beroperasi penuh, dan 64 persen tol yang seharusnya selesai pada 2022 masih belum beroperasi penuh.
Selain itu juga terjadi peningkatan biaya konstruksi sebesar Rp 55 triliun atau 33 persen dari rencana awal.
Juga terjadi pengalihan saham pengendali Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) sebelum waktu pembangunan selesai.
Hal itu terjadi pada pengelolaan ruas tol Kayu Agung Kapal Betung, Ciawi-Sukabumi, Cimanggis-Cibitung, Pejagan-Pemalang, dan Pemalang-Batang.
KPK menyoroti tidak akuntabelnya perencanaan pembangunan dan lemahnya akuntabilitas lelang pengusahaan jalan.
Juga adanya dominasi investor tol yang merangkap sebagai kontraktor, serta lemahnya pengawasan pengusahaan tol.
Selama ini, penyelewengan dalam proyek infrastruktur di berbagai daerah menjadi sasaran empuk KPK.
Selalu banyak kerawanan dalam proses tender infrastruktur dan pelaksanaan pembangunannya.
Dalam kasus proyek infrastruktur era Jokowi ini, ada kerawanan pada proses penyerahan pengelolaannya kepada swasta.
Kasus Najib Razak dan Muhyiddin Yassin di Malaysia serta perpanjangan masa jabatan Xi Jinping di China membawa resonansi di Indonesia.
Wacana perpanjangan 3 periode Jokowi masih terus menggelinding.
Kedekatan hubungan Jokowi dengan ‘’Kakak Besar’’ Xi Jinping bisa saja menginspirasi orang-orang di lingkar kekuasaan untuk melakukan hal yang sama.
Di sisi lain, kalangan yang berada di luar lingkar kekuasan menjadikan kasus Muhyiddin Yassin dan Najib Razak sebagai bahan untuk melakukan perundungan politik kepada Jokowi.
Mereka berasumsi bahwa hal yang sama akan terjadi kepada Jokowi setelah lengser. (**)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror