Jumlah Anggota Koalisi Parpol di Pilpres Perlu Diatur Mencegah Dominasi

Selasa, 07 Januari 2025 – 07:34 WIB
Arsip foto- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati ANTARA/Nadia Putri Rahmani

jpnn.com - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengusulkan DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang, perlu merumuskan aturan dominasi koalisi pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) secara proporsional.

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menilai aturan dominasi yang rasional tersebut dinilai penting, mengingat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold), juga mengamanatkan bahwa partai politik dapat berkoalisi, sepanjang koalisi tersebut tidak menyebabkan dominasi.

BACA JUGA: Alvin Lim Meninggal Dunia, Istri Ungkap Momen Terakhir

"Ini bisa kita katakan bahwa sebetulnya MK menyarankan perlu ada ambang batas maksimal koalisinya, supaya tidak menjadi koalisi yang dominan," ujar Ninis, sapaan Khoirunnisa, dalam webinar yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.

"Dalam merumuskan angka, misalnya dalam bentuk persentase, itu juga kita perlu dorong agar pembentuk undang-undang ini juga berdasarkan hitung-hitungan yang rasional," lajutnya.

BACA JUGA: MK Hapus Presidential Threshold, Gibran Berpeluang Melawan Prabowo di 2029

Senada, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan pembentuk undang-undang perlu merumuskan aturan agar tidak terjadi koalisi dominan, sebagaimana amanat putusan MK.

"MK concern (perhatian) betul bahwa batasan koalisi itu harus diatur sehingga tidak terjadi adanya koalisi yang dominan karena menurut MK, kalau terjadi dominasi koalisi itu akan membatasi pilihan masyarakat dalam pemilu," ucapnya pada kesempatan yang sama.

BACA JUGA: Jokowi Absen Pertemuan Eks Gubernur Jakarta, PDIP: Malu Namanya Masuk Daftar OCCRP

Menurut Arya, pengaturan agar tidak terjadi koalisi dominan terbilang rumit dan kompleks. Sebab, pembentuk undang-undang perlu merumuskan definisi dari dominasi suatu koalisi partai politik.

“Kerumitan yang pertama adalah apa yang disebut dengan dominasi itu? Berapa ukurannya? Apakah dominasi itu ukurannya lebih dari 50 persen? Ataukah dominasi itu ukurannya lebih dari 2/3 atau 1/3 atau apa? Bagaimana, apa yang dimaksud dengan dominasi itu?” tuturnya.

Diketahui bahwa MK, Kamis (2/1), memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

MK menyatakan presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Pada pertimbangan hukumnya, MK juga memberi lima pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering).

Pedoman pertama, yakni semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan capres-cawapres.

Pada pedoman ketiga, MK mengatakan partai politik peserta pemilu dapat bergabung dalam mengusulkan pasangan capres-cawapres, sepanjang gabungan tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik yang menyebabkan terbatasnya pasangan calon dan pilihan bagi pemilih.

Adapun, dalam pedoman kelima, MK mengamanatkan agar rekayasa konstitusional itu dilakukan dengan melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu, dengan menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna.(ant/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler