Koalisi masyarakat sipil di Papua mendirikan posko pengaduan untuk menampung laporan warga terkait korban kekerasan dalam peristiwa kerusuhan di sejumlah kawasan di Papua dan Papua Barat pada akhir Agustus lalu. Pemerintah menutup rapat data dan informasi tersebut. Posko pengaduan warga Papua:Posko pengaduan dibuat oleh koalisi masyarakat sipil di Papua untuk mengimbangi klaim pemerintahWarga takut membuat laporanKeluarga korban mengaku sulit menemui dan mengetahui kondisi korban
BACA JUGA: Ratusan Keluarga di Queensland Terpaksa Mengungsi Hindari Kebakaran yang Kian Memburuk
Posko pengaduan ini diinisiasi oleh 18 organisasi sosial masyarakat di Papua setelah mendapat laporan terkait maraknya intimidasi dan kekerasan dalam peristiwa kerusuhan beberapa waktu lalu.
Keluarga korban juga banyak mengeluh sulit mendapat akses untuk menjumpai maupun mengetahui kabar anggota keluarga mereka yang menjadi korban.
BACA JUGA: Apakah Pekerja Masih Dibutuhkan Pertambangan Australia Saat Otomatisasi Makin Marak?
Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Papua, Sam Awom mengatakan kabar mengenai korban ini semakin simpang siur akibat pembatasan dan akses intenet oleh pemerintah.
Sehingga menurut Sam, laporan langsung dari warga yang akan terkumpul di posko ini menjadi penting untuk mengimbangi klaim dan monopoli informasi yang dilakukan pemerintah.
BACA JUGA: Terdakwa Terorisme Brenton Tarrant Penasaran Berapa Orang Dia Bunuh
"Kita lihat selama ini pemerintah hanya mengungkap data kerugian material akibat kerusuhan rumah, bangunan rusak berapa dan hanya mengungkap peristiwanya saja seperti rusuh di Jayapura, deyiai dan paniai, tapi untuk korban yang terkena konflik baik warga asli papua maupun non Papua pemerintah justru lalai, tidak mengungkapkan," kata ketua Kontras Papua ini.
"Padahal kami banyak mendapat laporan, warga menelpon kami langsung ada korban jiwa, korban luka-luka atau salah tangkap dari warga. Tapi selama ini mereka takut mau melapor, dengan dropping pasukan yang banyak mereka takut disalahkan." Ungkap Sam. Photo: Prajurit Korps Marinir TNI AL berjaga di Pelabuhan Jayapura, Papua pasca kerusuhan yang dipicu tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya (1/9/2019). (Antara)
Sejauh ini pemerintah melalui Menko Polhukam Wiranto mengklaim korban meninggal dalam aksi kerusuhan di Papua hanya lima orang yang terdiri atas empat warga sipil dan satu anggota TNI. Dan 15 warga mengalami luka-luka.
Pasca kerusuhan diketahui pemerintah mengerahkan sedikitnya 6500 personil gabungan TNI/polri untuk memulihkan kondisi keamanan di Papua.
Polisi juga melakukan penangkapan terhadap pihak-pihak yang diduga sebagai provokator aksi perusakan atau dalang dari aksi kekerasan beberapa waktu lalu.
Total, Polda Papua telah menetapkan 55 tersangka dalam aksi unjuk rasa berujung kerusuhan. Yakni, 31 tersangka di Jayapura, 10 orang di Timika, dan 14 tersangka di Kabupaten Deiyai. Sementara, Polda Papua Barat telah menetapkan 34 tersangka. Tersangka di Manokwari berjumlah 15 orang, Sorong 15 tersangka, Fakfak tiga tersangka, dan di Teluk Bintuni satu tersangka.
Posko pengaduan ini direncanakan akan dibuka hingga satu bulan mendatang. Selain dua lokasi posko fisik, Koalisi juga menyediakan saluran hotline bagi warga Papua lain yang tidak bermukim di Papua. Koalisi masyarakat sipil berjanji akan memberikan pendampingan dan advokasi bagi mereka yang melapor.Asrama mahasiswa Papua dilempari ular Photo: Asrama mahasiswa Papua di Surabaya yang menjadi lokasi aksi rasisme pemicu kerusuhan di sejumlah titik di Papua awal september lalu. (Antara)
Pasca kerusuhan di Papua, mahasiswa dan pelajar asal Papua yang tengah menjalani studi di berbagai daerah juga tidak luput dari aksi terror dan intimidasi.
Merasa tidak nyaman karena provokasi dan gerak-geriknya diawasi ketat oleh aparat keamanan, ratusan mahasiswa Papua di beberapa daerah memutuskan berhenti kuliah dan ramai-ramai pulang ke kampung halaman.
Insiden teror dan intimidasi terhadap mahasiswa Papua yang terakhir berlangsung adalah pelemparan karung berisi ular ke asrama mahasiwa Papua di Surabaya.
Dikutip dari sejumlah media, Yoab Orlando, salah seorang penghuni asrama yang berlokasi di Jalan Kalasan, Tambaksari, Surabaya menuturkan insiden itu.
"Kejadiannya tadi Subuh, sekitar pukul 04.19 WIB. Empat orang berpakaian biasa menggunakan motor matik. Waktu di depan pintu, motor dimatikan, langsung melempar karung isi ular," katanya.
Yoab mengatakan ular tersebut ditaruh di dalam karung beras berwarna putih. Tak hanya satu ular, ada tiga ular yang diduga dilemparkan. Salah satunya berjenis piton.
Setelah melempar karung ular, para pelaku tidak melarikan diri dan masih memantau asrama mahasiswa dan sempat dikejar rekan-rekannya, namun pelaku berhasil melarikan diri.
Yoap mengaku aksi teror terhadap mahasiswa Papua di Surabaya tidak terjadi kali ini saja. Beberapa waktu lalu, asrama mahasiswa juga dilempar cat.
"Kondisi sekarang kita masih was-was karena tidak kali ini saja diteror. Ada teror bentuk lain. Misalkan setelah penolakan mahasiswa Papua ada beberapa orang yang melempar cat," kata Yoap.Aksi provokasi masih berlangsung
Kasus ini telah dilaporkan ke kepolisian dan sedang diselidiki oleh aparat hukum di Surabaya.
Namun di Jakarta, Menkopolhukam Wiranto menyebut itu sebagai bentuk provokasi oleh pihak-pihak yang tidak menghendaki Papua damai.
"Gini ya, inikan usaha untuk memprovokasi antara kita dengan kita akan terus berlangsung. Mereka tidak senang kalau keadaan ini aman. Nggak senang kalau keadaan itu kondusif, Ada isu bahwa di asrama Papua dilempar ular," kata Wiranto kepada wartawan di Media Center Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (9/9/2019)
Wiranto meminta warga untuk tidak terpancing provokasi tersebut.
"Udah dengar? Kalau belum dengar nggak usah dengar. Yang ada malah ada aparat keamanan dipentungi dipukuli oleh adik-adik kita Papua. Sementara kita usut kita tuntaskan," ujar Wiranto.
Dalam jumpa pers itu, Wiranto juga menjelaskan meski situasi keamanan sudah kondusif dan damai, namun masih ada pihak-pihak yang mendorong warga melakukan aksi unjuk rasa. Photo: Menkopolhukam Wiranto menyampaikan update perkembangan kondisi keamanan di Papua pasca kerusuhan. (Istimewa)
Oleh karena itu mantan Panglima TNI ini mengatakan kehadiran pasukan gabungan TNI/Polri masih diperlukan untuk menjaga kondisi kondusif dan damai di Papua dan Papua Barat bukan untuk menakut-nakuti warga.
"Jangan kemudian disebut bahwa wah di sana TNI, polisi menggeruduk di sana, mengadakan aksi-aksi menakut-nakuti rakyat. Ini berita enggak benar," ujar Wiranto .
Kehadiran TNI/Polri menurutnya masih diperlukan untuk menjaga kondisi kondusif dan damai di Papua, selain misi tambahan untuk membersihkan puing sisa kerusuhan kemarin.
"Tugasnya pun bukan represif tapi melindungi masyarakat, melindungi objek vital, instansi penting, fasilitas umum agar gak dirusak atau dibakar. Kehadiran mereka juga persuasif edukatif, kompromis, mengajak masyarakat agar tidak usah demo, tidak merusak hidup berdampingan masyarakat asli Papua dan pendatang.
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ratusan Mahasiswa Papua Tinggalkan Kuliah Karena Mengaku Diintimidasi