Menurut data dari Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Jambi, per September 2012 lalu tercatat sebanyak 279 orang pasien gangguan jiwa berat dirawat di sana. Jumlah ini meningkat dibandingkan September 2011, yang jumlahnya 222 pasien. Lalu, pada Oktober 2011, terjadi peningkatan menjadi 275 orang.
Direktur Utama RSJ Jambi Hernayawati mengatakan, jumlah pasien yang dirawat inap itu fluktuatif, ada yang masuk dan ada yang pulang. "Setiap harinya sekitar 5-12 orang dirawatinapkan karena dianggap mengalami gangguan jiwa berat," ujarnya.
Menurut Hernaya begitu dia biasa disapa-, pasien sakit jiwa yang dirawat tersebut silih berganti karena kapasitas rumah sakit tidak bisa menampung seluruh pasien sakit jiwa berat. Bahkan, terkadang pasien baru bisa masuk (rawat inap) jika ada pasien rawat inap yang dipulangkan. "Terkadang pasien terpaksa dibawa pulang karena tidak ada lagi ruangan untuk rawat inap," katanya.
Selain yang menderita gangguan jiwa berat, tiap bulannya tercatat 600 orang pasien gangguan jiwa ringan menjalani perawatan jalan di RSJD Jambi. "Angka ini meningkat tiap bulan," kata Herna. "Mereka yang rawat jalan adalah pasien yang mengalami gangguan jiwa ringan. Mereka tidak di rawat inap, karena masih bisa dilakukan perawatan di rumah," lanjutnya.
dr Victor Eliezer Sp.Kj, Pskiater RSJ Jambi menambahkan, secara medis, umumnya pasien gangguan jiwa berat yang dirawat menderita penyakit skizopernia, gangguan skizonpal, psikotik akut dan sementara. "Sampai saat ini tidak ada kepastian penyebab skizopernia. Biasanya selalu karena multi faktor. Ada karena bawaan atau kepribadian. Ada yang tiba-tiba. Ada pula karena tekanan lain yang membuatnya menjadi stresor," jelasnya.
Menurut Victor, beberapa kejadian yang ditemuinya, secara umum sebagai pemicu seseorang terkena gangguan jiwa adalah faktor interpersonal, pendidikan, ekonomi dan masalah asmara. Dia mencontohkan bidang pendidikan, ada yang tidak lulus STPDN, tidak lulus TNI/Polri atau stres mengerjakan skripsi berkunjung dan konsultasi kepadanya. Soal putus cinta, diselingkuhi dan perceraian, juga ada. Apalagi masalah ekonomi, cukup banyak menyebabkan seseorang stres.
Perasaan tertekan, terbeban dan memvonis diri kerdil juga banyak ditemuinya. Hanya saja dia tidak bisa mempresentasekan berapa jumlah pasien dengan penyebab seperti itu. "Bermacam-macam faktornya (orang mengalami gangguang jiwa, red). Tapi, kalau dari segi gender memang laki-laki mendominasi, sekitar 80:20 presentasenya dibandingkan perempuan," katanya.
Banyaknya laki-laki menderita gangguan jiwa karena memang laki-laki lebih rentan mengalami stres, terutama jika sudah berkeluarga. Menurut Victor, tuntutan pekerjaan dan rumah tanggalah yang mendominasi kaum pria mengalami gangguan jiwa.
Sementara itu, dari segi usia, usia produktif mulai dari 20 tahun mendominasi terkena gangguan jiwa. Dengan beragam penyebab, pasien gangguan jiwa di usia produktif ini akan terus berobat di rumah sakit jiwa hingga usia senja.
"Kalau yang tua itu karena pasien ulangan. Jadi, kalau dari usia muda dia berobat ke sini tidak akan berhenti sampai tua. Karena meskipun sembuh, bisa kambuh lagi jika mendapat goncangan lagi. Kesembuhan pasien sakit jiwa ini hanya 30 persen," jelasnya.
Selain karena memang tingkat kesembuhan yang kecil, faktor presepsi masyarakat juga sangat mempengaruhi kesembuhan pasien sakit jiwa. Victor mengatakan, hampir semua pasien yang dia tangani telah memalui pengobatan non medis sebelum dibawa kepadanya. Seperti pengobatan dengan dukun, paranormal atau orang pintar hingga rukyah.
"Ada sih ada yang memang langsung dibawa ke sini, tapi banyaknya ya itu, sudah lebih dulu dibawa ke orang pintar. Padahal faktor kesembuhan pasien-pasien ini sangat ditentukan dengan kecepatan dalam menanganinya," kata Victor. (rey)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bandara Polonia Medan Dipindahkan ke Kuala Namu
Redaktur : Tim Redaksi