Jurnalisme Tuyul

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 09 Februari 2022 – 14:45 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Revolusi teknologi informasi membawa tantangan dan peluang bagi media jurnalisme.

Di satu sisi, revolusi digital membawa berkah dengan ketersediaan informasi yang melimpah. Namun, keberlimpahan informasi itu membawa bencana bagi media konvensional yang secara mendadak kehilangan basis pembaca tradisionalnya. Revolusi memakan anak kandungnya sendiri.

BACA JUGA: Puncak HPN 2022: Menpora Amali Satu-satunya Menteri yang Datang Langsung

Reformasi teknologi informasi membawa korban media konvensional yang sekaligus juga kehilangan basis pendapatan dari iklan. Revolusi teknologi informasi telah merevolusi dunia media secara keseluruhan.

Pola manajemen media konvensional menjadi obsolete dan nilai-nilai jurnalisme konvensional harus beradaptasi dengan nilai-nilai jurnalisme baru yang berbasis pada budaya digital.

BACA JUGA: Ketua PWI Sebut HPN 2022 Ingatkan Wartawan Soal Disrupsi Digital

Dunia media menghadapi perubahan yang brutal. Hanya dalam tempo sepuluh tahun sejak teknologi digital menemukan Android, pola baca dan pola konsumsi berita berubah drastis.

Dalam menghadapi setiap fase perubahan teknologi sepanjang sejarah, media bisa menyesuaikan diri dan beradaptasi. Namun, kali ini era baru telah lahir dan era lama telah berakhir.

BACA JUGA: Ketua HPN 2022 Auri Jaya Mengapresiasi Dukungan Besar dari Masyarakat Sultra

Di Indonesia fenomena perubahan zaman dihadapi dengan lentur. Dunia media bisa mengadopsi teknologi dan memanfaatkannya untuk memperbaiki diri.

Sejarah pers di Indonesia dalam dua puluh tahun terakhir menunjukkan dialektika dengan teknologi yang melahirkan perubahan-perubahan baru.

Masuknya modal besar ke industri media pada era 1980-an menandai munculnya era industrialisasi media. Hal itu ditandai dengan ekspansi koran besar yang agresif ke berbagai daerah melalui teknologi cetak jarak jauh (remote printing).

Dengan teknologi ini proses spasialisasi terjadi karena kendala jarak dan waktu bisa diatasi. Perusahaan media di Jakarta atau Surabaya bisa menginstal teknologi cetak jarak jauh dan pada saat bersamaan bisa mencetak edisi yang sama di ujung Aceh sampai ke pucuk Papua.

Muncullah era baru konglomerasi pers. Perusahaan-perusahaan media di daerah, yang semula menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri, pelan-pelan tergusur oleh kehadiran media besar dari kota.

Media lokal tidak mampu menyaingi media besar dalam hal manajemen media, permodalan, teknologi, dan kualitas sumber daya manusia. Media daerah menghadapi dilema simalakama.

Pilihannya adalah menyerah dengan melakukan merger dengan media besar, atau mati tergusur karena tidak bisa bertahan melawan media besar. Media daerah umumnya memilih pilihan kedua, bergabung menjadi bagian dari konglomerasi media besar.

Reformasi 1998 membawa perubahan dramatis dalam lanskap media di Indonesia. Sistem media berubah total dari sistem otoritarian menuju sistem libertarian yang ditandai dengan munculnya fundamentalisme pasar dengan kecenderungan komodifikasi yang sangat kuat.

Era reformasi yang seharusnya menjadi era kebebasan pers daerah justru menjadi era tumbuh suburnya konglomerasi media nasional. Kediktatoran politik Orde Baru yang mengekang kebebasan media seharusnya hilang dengan lahirnya reformasi.

Media seharusnya lebih bebas dan lebih independen karena ancaman kekuasaan (political dictatorism) sudah hilang. Namun, ibarat lepas dari mulut harimau lalu masuk mulut buaya. Alih-alih memperoleh kebebasan, ternyata media jatuh ke penguasaan diktator baru, yaitu market dictatorism, dan diktator pasar.

Logika pasar--yang selalu mengejar akumulasi dan penumpukan modal--mengalahkan idealisme jurnalistik. Perusahaan media berlomba-lomba untuk terus-menerus memperluas konglomerasinya jauh melampaui bisnis media.

Perusahaan konglomerasi media terus berpacu dan berlomba dalam (mengutip Deddy N. Hidayat) ‘’never ending circuit of capital accumulation’’ penimbunan modal yang tidak ada ujungnya.

Dengan terhapusnya persyaratan perizinan pendirian media, kelompok media besar makin leluasa melakukan ekspansi konglomerasi ke berbagai daerah. Lahirlah dua kelompok konglomerasi media terbesar yaitu Kompas-Gramedia dan Jawa Pos Group, yang masing-masing mempunyai ratusan media di berbagai wilayah kabupaten-kota di seantero Indonesia.

Revolusi teknologi digital meluas di Indonesia pada awal 2010 ditandai dengan diperkenalkannya smartphone. Pola baca dan konsumsi informasi masyarakat mengalami revolusi total, dari awalnya mengonsumsi koran setiap pagi berubah menjadi gajet setiap saat.

Media cetak mengalami kejatuhan yang dramatis ditandai dengan hancurnya oplah karena pelanggan berhenti berlangganan koran. Pada saat bersamaan pemasukan dari iklan yang menjadi napas utama perusahaan media juga mengalami penurunan yang sangat dramatis.

Perolehan iklan media cetak mengalami kemerosotan sampai 90 persen dan bahkan lebih.

Era digital yang lebih demokratis seharusnya memberi peluang kepada non-konglomerasi untuk lebih bisa bersaing dengan media konglomerasi karena dunia digital memberikan lapangan yang rata dan datar (level playing field) yang memungkinkan persaingan yang lebih terbuka.

Namun, hukum besi media tetap terjadi, dan era digital yang seharusnya memberi kesempatan kepada media-media non-mainstream untuk lebih berkembang ternyata tidak terjadi.

Konglomerasi cetak yang praktis sudah mati, ternyata dengan cepat bisa merevitalisasi dirinya dan langsung bertransformasi menjadi konglomerasi media digital.

Kelompok konglomerasi media lama masih tetap menguasai persaingan media digital. Di dunia broadcast muncul pemain-pemain baru yang langsung menjadi raksasa konglomerat yang menguasai jaringan televisi nasional dan lokal.

Mereka berasal dari kelompok konglomerasi non-media yang kemudian melakukan ekspansi masuk ke bisnis media. Di masa Orde Baru, pola konglomerasi media berkembang dari bisnis media ke bisnis nonmedia seperti yang dilakukan Jawa Pos Group dan Kompas Gramedia. Di era digital pola konglomerasi berbalik dari nonmedia masuk ke bisnis media.

Secara teoritis demokrasi media akan terwujud dengan lahirnya era digital. Media juga seharusnya lebih independen dan kritis karena tidak lagi harus menggantungkan perolehan iklan dari sumber-sumber pemerintahan.

Di era digital sumber pendapatan (revenue stream) seharusnya lebih terbuka. Pendapatan dari iklan-iklan digital seperti programmatic ads, adsense, dan Google ads, bisa menjadi alternatif pemasukan iklan yang bisa membuat media lebih independen.

Kenyataannya, sumber pendapatan digital masih banyak menghadapi masalah karena munculnya news aggregator yang menyedot berbagai berita dari media tanpa memberikan kompensasi pembayaran. Namun, lepas dari itu, iklan programatik yang dikelola secara profesional akan bisa menjadi alternative revenue yang menarik untuk perusahaan media.

Dunia media di Indonesia sedang mengalami ‘’cultural shock’’ atau gegar budaya hebat akibat revolusi digital. Nilai-nilai utama jurnalisme ‘’journalism grand values’’ terkikis oleh arus ‘’jurnalisme SEO’’ yang tunduk pada mekanisme search engine optimation.

Kini muncul mazhab jurnalisme baru yang disebut sebagai ‘’SEO journalism’’, jurnalisme yang berbasis pada mesin pencari.

Tarik menarik tradisional antara kepentingan bisnis dan kepentingan redaksi sekarang terjadi dalam skala yang lebih masif. Dahulu masih ada mekanisme tembok api atau ‘’fire wall theory’’ yang memisahkan redaksi dari kepentingan bisnis. Di era digital tembok api itu hilang.

Dahulu jurnalisme tunduk kepada oplah dan rating, sekarang jurnalisme menyembah traffic yang dihasilkan dari SEO.

Mesin algoritma mendiktekan apa yang harus diberitakan dan apa yang tidak. Mesin algoritma akan memberi tahu mana konten yang bisa menaikkan traffic dan mana yang tidak. News value tergusur oleh news traffic.

Di dalam traffic itulah pundi-pundi penghasilan tersimpan. Makin tinggi traffic makin terbuka peluang meraup revenue sebesar-besaranya. Bermunculannya media-media tuyul dengan jurnalisme tuyul yang tugasnya hanya mencari uang sebanyak-banyaknya dengan mengakumulasi traffic setinggi mungkin.

Sebagaimana praktik pertuyulan di masyarakat, media-media tuyul itu punya juragan yang memeliharanya. Juragan media tuyul itu adalah para pemilik modal dan juga para pemilik media konvensional besar yang sengaja mengoperasikannya sebagai mesin pencari uang.

Kebutuhan pragmatis mengalahkan tuntutan idealis. Media-media tuyul itu pun melahirkan jurnalisme tuyul, yang tidak peduli terhadap kualitas dan nilai-nilai agung jurnalisme. (*)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler