jpnn.com - NEW YORK - Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan akan memperbaiki tata kelola lahan dengan menghentikan izin pembukaan hutan alam menjadi hutan industri. Hal itu disampaikan JK saat bertemu dengan sepuluh perwakilan organisasi masyarakat sipil di New York, Amerika Serikat (AS) di sela-sela Sidang Umum PBB di New York, 25-27 September 2015.
Langkah ini, menurut JK, perlu dilakukan melihat dampak kerusakan hutan saat ini. Ia menegaskan pemerintah telah menyiapkan satu kebijakan yaitu menghentikan pembukaan lahan.
BACA JUGA: 90 Jamaah Haji Indonesia Belum Ditemukan, Ini Data asal Kloternya
“Tidak ada lagi lahan baru untuk meningkatkan produksi. Tidak boleh ada lagi eksploitasi terhadap kawasan gambut,” tegas Jusuf Kalla.
Menurut JK, telah menyampaikan rencana tersebut kepada para pengusaha anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Karena itu, JK mendorong pengusaha mengubah paradigma dalam menjalankan bisnisnya. Tak lagi mengedepankan ekstensifikasi lahan untuk meningkatkan produksi. Tapi melakukan intensifikasi.
BACA JUGA: Tambah Lagi 15 Jemaah Haji Indonesia Tewas, Total 34
“Asap adalah bukti masalah tata kelola. Hutan dirusak dan lahan gambut dibongkar,” kata JK.
Selain itu, JK mengatakan akan tegas dan hati-hati dalam mengambil kebijakan pembangunan selanjutnya.
BACA JUGA: Menangis karena saat Kebakaran Ibunya ada di Kamar Hotel
“Kita (Indonesia) sudah pernah 3 kali melakukan kesalahan (kebijakan). Di hutan, batu bara, dan sawit. Jangan sampai terulang lagi,” katanya menegaskan.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI Abetnego Tarigan usai bertemu Wapres Jusuf Kalla, mengatakan gagasan JK meninggalkan ekonomi berbasis lahan dalam skala luas adalah pilihan tepat. Karena dampak kerusakan lingkungan, ke depannya, menurut Abetnego, membuat pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas.
Tidak hanya itu, kata dia, penerimaan negara dari sektor ekonomi berbasis lahan tergerus karena penanganan kerusakan lingkungan yang terjadi. Belum lagi beban pemulihan lingkungan seperti masalah kabut asap yang terjadi sejak 15 tahun terakhir.
Apalagi tujuan pembangunan (SDG) yang disepakati di New York, 25 September lalu, terutama goal ke-15 meminta setiap negara anggota PBB melindungi, memulihkan, dan mempromosikan penggunaan ekosistem darat (terestrial). Pemerintah diminta mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi desertifikasi, menghambat dan memulihkan degradasi lahan. Termasuk menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati.
Data terbaru menunjukkan bahwa laju deforestasi hutan di Indonesia saat ini mencapai 1,1 juta hektar per tahun.
Meski demikian, Nego mengingatkan Jusuf Kalla tentang potensi dampak negatif intensifikasi lahan. Jika tidak dikaji dan dilakukan dengan tepat, intensifikasi juga berdampak pada kerusakan lahan.
Tidak hanya tata kelola hutan, Nego juga meminta wakil presiden itu melindungi ekosistem pesisir dari kerusakan yang lebih parah akibat proyek-proyek reklamasi di pesisir Indonesia, seperti yang terjadi di Bali, Makassar dan Jakarta. Karena proyek-proyek reklamasi itu berpotensi menghambat salah satu tujuan pembangunan yang menjadi komitmen Indonesia dalam SDG terutama goal 14.
Goal ke-14, menurut dia, intinya mendorong negara anggota PBB melakukan dan menjadikan prioritas konservasi dan pemanfaatan laut, samudera serta sumber daya maritim secara berkelanjutan.
“Tanpa kebijakan revolusioner, persoalan lingkungan akan menyebabkan jumlah rakyat miskin terus bertambah,” katanya melalui keterangan tertulis dari New York, AS.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lobi Hotel Terbakar, Ini Cerita Jamaah Haji asal Depok
Redaktur : Tim Redaksi