jpnn.com, JAKARTA - Juru bicara Kementerian Kesehatan (Kemenekes) dr Siti Nadia Tarmizi menyampaikan penyakit hepatitis akut tidak berpeluang menjadi pandemi.
Sebab, sebaran kasus hepatitis akut secara global bergerak lambat.
BACA JUGA: Wagub Riza Sebut Jumlah Kasus Hepatitis Akut di Jakarta
"Sampai saat ini hanya enam negara yang melaporkan hepatitis akut dengan jumlah kasus lebih dari enam pasien," kata Siti Nadia, Rabu (11/5).
Dia mengatakan seluruh kasus tersebut bersifat "probable" hepatitis akut misterius.
BACA JUGA: Waspada Hepatitis Akut, Ini Pesan Penting Mbak Puan untuk Para Ortu
"Sementara total kasus probable hepatitis akut secara global berjumlah 348 dengan 70 kasus tambahan yang masih dalam penyelidikan," sebutnya.
Dikonfirmasi terpisah, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan kemungkinan hepatitis akut menjadi pandemi perlu melalui kajian pendahuluan WHO
BACA JUGA: Fakta tentang Pasien Diduga Terkena Hepatitis Akut di Bekasi, Ternyata
"Tentang kemungkinan penyakit apapun jadi pandemi, maka akan melalui proses ditentukan dulu sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)," jelasnya.
Dia mengatakan PHEIC akan mengukur sejumlah barometer status pandemi, di antaranya sebaran penyakit lintas benua, menimbulkan masalah kesehatan yang berarti serta merupakan jenis penyakit yang baru.
"Lalu sesudah itu dilihat lagi perkembangannya, kalau terus meluas maka baru akan disebut pandemi," kata Prof Tjandra.
Jika melihat pengalaman Covid-19, kata dia, pertama kali dilaporkan WHO pada 5 Januari 2020, dinyatakan PHEIC 31 Januari 2020 dan pandemi pada 11 Maret 2020.
Terkait 15 kasus dugaan hepatitis akut di Indonesia, ia mengatakan perlu dijelaskan apakah kasus itu termasuk klasifikasi WHO "probable", "epi-linked" atau masih "pending" yang memerlukan investigasi lebih lanjut.
"Setidaknya akan baik kalau disebutkan bagaimana hasil pemeriksaan virus hepatitis A sampai E pada 15 kasus itu," jelasnya.
Dia juga mendorong hasil tes laboratorium terkait kemungkinan adanya virus lain, seperti SARS-COV-2, Adenovirus, Epstein Barr dan lainnya, atau mungkin juga toksin dan ada tidaknya autoimun.
"Kalau memang sudah ada 15 kasus, tentu sudah dilakukan penyelidikan epidemiologis mendalam sehingga pola penularan dapat mulai diidentifikasi, baik antarkasus maupun juga dengan lingkungan dan lainnya," pungkasnya. (jpnn/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi