jpnn.com, JAYAPURA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membantah kabar meninggalnya 40 anak di Kabupaten Deiyai, Papua, akibat wabah sarampa atau campak.
Sejak Maret hingga Juli, hanya 27 balita yang meninggal. Itu pun yang terserang campak cuma dua anak.
BACA JUGA: Polda Tetapkan Gubernur Papua Jadi Tersangka
Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan Elizabeth Jane Soepardi menyebutkan bahwa 25 balita lainnya meninggal karena diare, radang paru-paru, disentri, gizi buruk, gigitan serangga, dan alergi.
Paling banyak justru radang paru-paru yang mencapai sembilan balita. Terbanyak lainnya adalah diare yang diderita enam anak.
BACA JUGA: Polda Tetapkan Gubernur Papua Jadi Tersangka
Namun, Jane mengakui bahwa cakupan imunisasi di Kabupaten Deiyai tiga tahun terakhir sangat rendah.
"Tahun 2016 hanya 5,5 persen," ucapnya. Malah, pada 2014 tidak ada laporan sama sekali.
BACA JUGA: Peserta Lomba Membludak, Festival BMW 2017 Biak Cari Jawara Foto
Jane mengungkapkan, masalah akses memang menjadi kendala utama di Papua.
Akibatnya, beberapa program seperti imunisasi tidak bisa berjalan dengan baik.
"Jalan trans-Papua yang baru sedang dibangun dan melintasi Kabupaten Deiyai. Ini membantu untuk membawa infrastruktur kesehatan," bebernya.
Ahli tropik-infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr Erni Juwita Nelwan SpPD menyatakan, pihak terkait harus mengupayakan pencegahan penularan sarampa lebih lanjut.
Meski, hanya ditemukan dua anak untuk kasus sarampa.
"Caranya dengan merawat anak yang sakit secara terpisah di ruang isolasi. Selain itu, pastikan vaksinasi sudah diberikan kepada orang sekitar anak yang sakit," sarannya.
Erni memang menyoroti pentingnya vaksinasi. Sebab, virus sarampa atau dikenal juga sebagai rubeola bisa dicegah dengan vaksin.
"Penyakit tersebut bisa terlihat ringan, tetapi juga bisa menjadi serius," ucapnya.
Orang sekitar pun butuh divaksin lantaran mudahnya penularan penyakit tersebut.
Hanya dari batuk, bersin, bahkan berbicara pun bisa menularkan virus itu.
Penularan bisa terjadi bahkan sejak masa inkubasi atau belum bergejala sama sekali hingga empat hari setelah gejala muncul.
Masa inkubasi virus sarampa memang panjang, bisa mencapai dua minggu sebelum gejala muncul.
Bahkan, orang sering mengabaikan karena gejala yang timbul begitu sepele.
"Demam, batuk kering, sakit saat menelan, mata dan kulit memerah," ujar Erni.
Sementara itu, Bupati Deiyai Dance Takimai akhirnya angkat suara terkait kondisi kesehatan di daerahnya yang mengakibatkan sejumlah balita meninggal.
Dia tak menampik ada kejadian tersebut. Namun, Dance membantah kejadian itu disebabkan wabah, apalagi disebut kejadian luar biasa (KLB).
''Tak ada wabah, yang ada hanya penyakit biasa. Itu pun terhitung sejak Januari 2017. Kalau wabah, artinya diidentikkan dengan KLB dan pastinya ada kuburan baru yang ditemukan,'' kata Dance kemarin (14/7).
Kenyataannya, di Deiyai tak ada kuburan baru sehingga dia berani menegaskan bahwa anak bayi atau balita yang meninggal tak bersamaan.
Dia mengakui pola hidup sehat memang belum jadi kebiasaan masyarakatnya. Ditambah tenaga medis masih sangat minim.
''Deiyai memiliki dua puskesmas dan kami juga memiliki dua dokter putra daerah, yakni dr Selvianus Ukago dan dr Yan Mote. Keduanya dibantu tiga dokter dari luar sehingga saat ini ada lima dokter. Tapi, beban kerjanya tentu tak sebanding karena harus melayani satu kabupaten,'' imbuhnya. (lyn/yan/ade/tri/c17/ami/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jika Selingkuh, Pasti Kaki akan Terbakar dan Melepuh
Redaktur & Reporter : Natalia