Rangkuman dari seluruh arti kata itulah yang sepertinya menjadi warna dari perjalanan hidup Anda. Anda seorang pekerja keras. Sejak SMA Anda sudah menjadi pengusaha dan aktif di berbagai organisasi. Kedua aktivitas itu terus Anda jalani hingga kini. Keduanya Anda besarkan dan keduanya membesarkan Anda. Tentu kehidupan Anda juga diwarnai oleh dinamika jatuh dan bangun. Kalah dan menang.
Saat ini, Anda mungkin sedang berada di kondisi terbaik kehidupan Anda. Partai yang Anda bangun sejak empat tahun lalu kini berada dalam koalisi partai berkuasa. Dengan kekuatan di parlemen, media yang Anda punya, Anda punya kekusaan untuk mempengaruhi jalannya pemerintahan saat ini.
Saya mengagumi Anda sebagai tokoh pers yang lengkap. Anda punya visi jurnalistik yang kuat, juga naluri sebagai pebisnis pers yang mumpuni. Meski pembredelan bukan ukuran, itu adalah kelaliman, tapi ketika Prioritas, koran Anda dibungkam oleh penguasa Orde Baru, satu hal terkatakan: Anda dengan koran Anda itu, adalah jurnalis dengan jurnalisme yang benar dan berani.
Lalu, ketika kini stasiun televisi Anda, kanal berita pertama di negeri ini, tumbuh menjadi entitas yang berpengaruh, Anda harus dicatat sebagai penguasaha media yang hebat. Saya sesungguhnya tak pantas untuk menuliskan puja-puji ini. Tak akan menambah kebesaran Anda. Bak kata orang Melayu, "awak ini apalah...."
Saya bersurat kepada Anda karena sebuah kecemasan kecil. Ketika dua kekuatan tergabung di satu tangan banyak kemungkinan bisa dimainkan: bisa konstruktif, juga destruktif.
Ketika berita di stasiun televisi Anda mulai tidak objektif, makin tercium menjadi corong kepentingan pandangan politik Anda, maka kami mulai menutup hidung. Yang kami harapkan adalah dua kekuatan itu Anda gunakan untuk mengingatkan pemerintah - jika dia lalai - yang di perahu itu Anda juga berada. Kerja mengingatkan itu menjadi lebih mudah Anda lakukan karena itu.
Saya terlalu kecil di hadapan Anda untuk bicara soal kebebasan pers. Tapi saya ingin sekadar bercerita kembali tentang sebuah peristiwa yang terjadi 20 September 1956. Ini terjadi kira-kira tiga bulan sebelum Mochtar Lubis ditangkap.
Saat itu, Mochtar Lubis (Indonesia Raya) bersama tujuh tokoh pers lainnya yakni Adam Malik (Antara), B.M. Diah (Merdeka), Rosihan Anwar (Pedoman), Suardi Tasrif (Abadi), Wonohito (Kedaulatan Rakyat), Moh. Supardi (Nasional), dalam pesawat yang sedang membawa mereka terbang ke Zurich, Swiss, menghadiri kongres International Press Institute (IPI), ketika melintasi garis khatulistiwa mereka meneken satu ikrar bersama:
Kami tujuh wartawan Indonesia, dalam melewati garis khatulistiwa bersama ini dengan tekad yang bulat menantang bersama-sama setiap percobaan dari pihak mana pun untuk mengekang kemerdekaan pers Indonesia, karena kemerdekaan pers itu adalah satu hak asasi manusia merdeka yang telah ditebus dengan darah dan jiwa patriot Indonesia.
Ini ikrar yang tidak mudah. Kita - ya, saya bangga menyebut Anda dan saya sebagai 'kita' karena kita sama-sama orang pers - kerap melupakannya. Setiap jali saya membaca ikrar ini, bulu kuduk saya merinding. Betapa tidak mudahnya ikrar ini. Mochtar Lubis bertahun-tahun menjadi tahanan rumah. Sesama mereka juga kerap berselisih.
Kini pers kita hidup dalam atmosfer kebebasan yang jauh lebih baik. Karena itu, saya kira Anda menentang ikrar itu jika Anda menggunakan media Anda untuk kepentingan sempit misi politik
Anda.
Ada suatu periode, ketika pers kita diracuni oleh 'kabut dan hawa busuk' - seperti kata Chairil Anwar - karena rela berdusta untuk kepentingan suatu partai politik, karena memang koran itu diterbitkan oleh partai tersebut. Masa-masa itu sudah lewat. Pers yang partisan tak akan pernah bisa hidup dengan baik, dan sehat. Anda pasti sangat tahu soal ini.
Jakarta, 24 Januari 2015.
BACA JUGA: Ayo, Bertarunglah, Petarung!
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inovasi Fountain Tak Berisik Pertama di Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi