Kal Muller, Pria Hungaria yang 17 Tahun Hidup Bersama Suku Kamoro di Papua

Puluhan Kali Terjangkit Malaria, Kini Jadi Kebal

Selasa, 07 Agustus 2012 – 05:35 WIB
Kal Muller bersama dua penari dari suku Komoro, Papua, di galeri seni di kawasan Palmerah, Jakarta, Sabtu (4/8). Foto : Hilmi Setiawan/Jawa Pos

Keindahan budaya suku Kamoro di pedalaman Timika, Papua, membuat Kal Muller jatuh hati. Saking cintanya pada Kamoro, pria kelahiran Hungaria itu rela belasan tahun tinggal bersama mereka. Bahkan, ketika mati kelak, dia ingin dikubur di makam suku Kamoro.
 
 M. HILMI SETIAWAN, Jakarta

SUASANA galeri seni di kawasan Palmerah pada Sabtu siang itu (4/8) cukup ramai. Di sejumlah ruang yang berpendingin udara dipampang puluhan perkakas ukiran hasil kerajinan tangan suku Kamoro dari pedalaman Papua.

Kerajinan kayu tersebut cukup beragam. Mulai perisai, tombak, patung keramat setinggi hampir 2 meter, tempat makanan, sampai aksesori meja dan dinding. Di antara barang-barang ukiran tersebut beberapa orang penduduk asli suku Kamoro ikut menjaganya. Mereka diterbangkan langsung dari Papua.

Di antara mereka ada yang memperagakan cara mengukir dengan media kayu putih dan kayu besi. Ada juga yang menari untuk menyambut setiap tamu yang ingin melihat kreasi penduduk yang tinggal di kawasan paling timur Indonesia itu. Mereka menari dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan busana adat, sebatas menutup perut bagian bawah hingga paha.

Di tengah kemeriahan pameran ada seorang yang terlihat sibuk. Dia mondar-mandir. Sesekali dia naik ke lantai 2 galeri pameran untuk menjelaskan pemutaran film dokumenter tentang suku Kamoro. Setelah itu, dia bergegas turun lagi untuk mengecek personel dan karya-karya ukiran yang dipamerkan.

Sosok berbadan tegap tersebut adalah Kal Muller. Pria yang bernama asli Kalmann Muller itu adalah warga Hungaria kelahiran 3 Mei 1939. Kal, begitu dia akrab disapa, terlihat lengket sekali dengan penduduk suku Kamoro.

"Mungkin, karena 17 tahun tinggal bersama mereka, saya jadi terlihat sangat lengket. Mereka itu saudara saya. Kami bersaudara," urai pria yang cukup fasih berbahasa Indonesia tersebut. Saking lamanya tinggal bersama suku Kamoro, dia bahkan disebut sebagai ahli sejarah dan antropolog spesialis suku yang tinggal di pesisir Timika, Papua, itu.

Sebutan tersebut muncul setelah Kal menerbitkan sejumlah buku tentang suku Kamoro dan suku-suku lainnya di Papua. Di antaranya berjudul Mengenal Papua, Pesisir Selatan Papua, dan Daratan Tinggi Papua. Buku lain yang akan segera terbit berjudul Pesisir Utara Papua. Buku yang berisi sejarah dan potret suku-suku di Papua tersebut didedikasikan kepada siswa Papua tingkat SMP hingga perguruan tinggi yang akses informasinya masih terbatas.
 
Setelah kesibukannya mereda, dengan ramah, Kal mulai bertutur tentang kisah hidupnya hingga sampai di bumi Papua. Perjalanannya sebagai pemerhati budaya dan seni dimulai ketika dia lulus dari Universitas Arizona, AS, pada 1973. setelah menyandang gelar doktor sastra Prancis, dia menjelajah Indonesia untuk mengamalkan ilmunya pada 1976. Dia pernah mengajar sebagai dosen sastra Prancis di sejumlah kampus di Indonesia.
 
"Saya juga berkeliling ke pulau-pulau di Indonesia untuk menelusuri kebudayaan suku-suku setempat," ujar pria yang juga hobi memotret dan menulis artikel di koran tersebut. Petualangannya menyusuri pulau-pulau di Indonesia terhenti di daratan Papua. Tepatnya di tempat tinggal suku Kamoro di pedalaman Timika. Dia masih ingat betul saat kali pertama menginjakkan kaki di Timika pada 1985.
 
Kal menuturkan, dirinya tidak mengalami pertentangan pada awal masuk komunitas suku Kamoro. "Urusan ketemu bule, mereka sudah tidak asing. Sebab, sejak zaman penjajahan Belanda, ada misionaris dari Belanda yang datang ke sana," katanya.
 
Awalnya, Kal belum terlalu intensif bercengkerama dengan penduduk suku Kamoro. Setelah direkrut menjadi konsultan PT Freeport Indonesia pada pertengahan 1994, hubungannya dengan suku Kamoro mulai erat.
 
Kal diberi mandat untuk menggali budaya-budaya dan kehidupan sosial suku Kamoro. Saat itu, kehidupan adat suku Kamoro hampir punah. Kehidupan adat mereka hampir kehilangan jejak karena tergerus kegiatan keagamaan yang dijalankan para misionaris peninggalan penjajah Belanda.
 
Secara resmi, rumah Kal berada di jantung Kota Timika. Tetapi, dia jarang tinggal di rumah. "Saya lebih banyak tinggal bersama suku Kamoro," ujar pria yang pernah tinggal di Meksiko itu. Dalam sebulan dia bisa tinggal bersama suku Kamoro sampai lebih dari tiga minggu.
 
Perjalanan Kal dari rumah menuju pusat kehidupan suku Kamoro tidak mudah. Dia harus menyusuri sungai dan laut hingga 12 jam. Catatan waktu itu dicapai jika perahu yang ditumpangi Kal digerakkan dua mesin tempel. Tetapi, jika perahu yang ditumpangi hanya berpenggerak satu mesin tempel, waktu tempuh bisa molor hingga berjam-jam.
 
"Apalagi jika air laut tiba-tiba pasang. Saya harus tinggal dulu di suku tetangga," kata suami Jina Muller tersebut. Dia menikah dengan Jina sekitar sepuluh tahun lalu. Kini Jina lebih sering tinggal di Timika. Dia mendapatkan tugas untuk membantu setiap proses persiapan pameran budaya suku Komoro.
 
Kal menuturkan bahwa tugasnya saat kali pertama tinggal bersama suku Kamoro adalah memetakan kondisi sosial budaya mereka. Menurut dia, kehidupan suku Kamoro sangat bergantung pada alam. Rata-rata mendapat penghasilan dari melaut.
 
Di antara hasil laut yang bisa diandalkan orang-orang Kamoro adalah ikan kapan dan aneka jenis udang. "Ada beberapa kelompok suku Kamoro yang hanya menangkap udang. Jika ada ikan yang tersangkut di jaring, mereka kembalikan lagi ke laut," terang pria yang juga mengantongi paspor Amerika tersebut.
 
Setelah lama tinggal atau tepatnya tidur bersama penduduk Kamoro, Kal mulai merasa bahwa persaudaraan suku Kamoro cukup kuat. Suku Kamoro tidak suka perang adat seperti suku lain, sebagaimana yang sering diberitakan banyak media.
 
Menurut analisis Kal, suku-suku di Papua yang tinggal di area pesisir lebih kalem daripada suku-suku yang menetap di pegunungan. "Yang sering bentrok itu ya suku-suku pegunungan. Mereka masih menganut perang adat," jelasnya.
 
Kal menjelaskan pengalamannya waktu kali pertama tinggal bersama warga Kamoro. Dia mengungkapkan awalnya tidak suka makan makanan dari olahan sagu. Tetapi, karena bahan utama makanan warga Kamoro adalah sagu, lambat laun dia terbiasa.
 
Setiap kali dihidangkan makanan yang berbahan dasar sagu, Kal menyantapnya dengan lahap. Terlebih jika hidangan tersebut diselingi ikan bakar. "Mereka jago masak," katanya, lantas tertawa.
 
Seperti kebanyakan orang lain, Kal pernah takut ketika akan tinggal dan menetap bersama suku Kamoro. Penyebabnya adalah serangan malaria. Dia puluhan kali terserang malaria. Untung, dia memiliki obat mujarab sehingga malaria yang menyerang tubuhnya tidak sampai parah. "Setelah lama di sana, sekarang saya terbiasa," ujarnya.
 
Sebelum blusukan ke hutan untuk tinggal bersama suku Kamoro, Kal tidak lupa meminum obat penangkal malaria. Dengan cara tersebut, malaria bisa dicegah. Setelah lama tinggal bersama suku Kamoro, dia merasa bahwa masih banyak hal yang harus dibenahi dari mereka. Yang paling utama adalah masalah kesehatan dan pendidikan.

Menurut dia, di lokasi tempat tinggal suku Kamoro kini ada banyak klinik kesehatan. "Tetapi, mantrinya jarang berada di klinik," terangnya. Dia berharap, pemerintah lebih memperhatikan suku Kamoro.
 
Soal pendidikan, kata Kal, secara fisik, banyak bangunan sekolah tersebar di tempat tinggal suku Kamoro. Terutama SD dan SMP. Tetapi, kualitas pendidikannya masih rendah.
 
Bagaimana tidak rendah jika gurunya jarang berada di kelas. Para guru, menurut pengamatan Kal, lebih sering pergi ke Timika untuk urusan administrasi kepegawaian. Jika hal tersebut terjadi, para siswa yang awalnya bersemangat masuk sekolah menjadi bubar. Mereka kembali ke perkampungan dan bermain dengan teman sebaya.
 
Dengan pengalamannya 17 tahun tinggal bersama penduduk suku Kamoro, Kal berkesimpulan, pembenahan kualitas kesehatan dan layanan pendidikan perlu digarap lebih serius. Dia kini fokus pada pembenahan pembangunan perekonomian mereka.
 
Menurut Kal, sebenarnya, suku Kamoro memiliki potensi yang luar biasa di bidang kerajinan ukiran. Ukiran orang Kamoro punya ciri khas dan berkualitas. Kini dia berhasil menggandeng 200 orang Kamoro yang ahli mengukir. Sistem pemberdayaan ekonomi yang dijalankan Kal adalah membeli karya-karya hasil ukiran dari 200 orang tadi. "Awalnya, saya diprotes. Ada yang bilang, mengapa miliknya tidak dibeli," paparnya.
 
Dengan sabar, Kal menerangkan jika dirinya tidak pilih kasih dalam membeli karya atau kerajinan ukir mereka. Tetapi, dia hanya membeli yang benar-benar berkualitas. Akhirnya, para pengukir itu mulai paham. Mereka lantas berlomba untuk meningkatkan kualitas.

"Sekarang lihat saja kualitas ukiran mereka. Bagus-bagus, kan?" tuturnya sambil menunjukkan karya ukiran yang menggambarkan orang berkepala burung.
 
Berapa Kal menghargai karya ukiran mereka? Dia menyebut rata-rata Rp 100 ribu. Setelah itu, barang yang sudah dibeli tersebut dipajang atau dipamerkan di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Bali.

Ketika dijual di pameran, harga karya ukiran yang awalnya Rp 100 ribuan dinaikkan menjadi Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta. Dari hasil penjualan itu, dia memberikan uang tambahan kepada para perajin. "Jadi, jika karyanya laku di pameran, perajin ya dapat uang tambahan," katanya.
 
Kal mengungkapkan, dalam setahun dirinya bisa mengadakan puluhan kali pameran. Namun, pameran tersebut tidak selalu ramai dikunjungi orang. Meski demikian, dia tidak kecewa. Sebab, pemeran itu tidak semata-mata menjadi ajang berjualan atau komersialisasi budaya.

Dari pameran tersebut, dia mencoba untuk mengenalkan kebudayaan suku Kamoro kepada masyarakat Indonesia dan mancanegara. "Jika tidak begini, kebudayaan suku Kamoro bisa punah," tegasnya.
 
Analisis kepunahan kebudayaan suku Kamoro tersebut cukup masuk akal. Misalnya, jika pemasaran karya ukir mereka tidak dibantu, mereka akan malas memproduksi karya ukir.

Lama-lama, suku Kamoro bisa bermigrasi ke kota untuk bekerja di bidang lain. Langkah Kal melestarikan kebudayaan suku Kamoro cukup kuat. Pernyataan tersebut keluar dari tokoh perajin Kamoro, Timotius Samin, 62.
 
Menurut Timotius, saking cintanya pada suku Kamoro, Kal pernah berujar ingin dimakamkan di tempat tinggal suku Kamoro saat tutup usia nanti meskipun tidak berstatus warga negara Indonesia. "Beliau ini sangat luar biasa," katanya. Menurut dia, jika orang asing saja begitu cinta pada suku Kamoro, semestinya orang Indonesia tidak boleh kalah. (*/c12/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Evan Dimas, Arek Suroboyo yang Wakili Indonesia Berguru ke Barcelona


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler