Dalam sidang putusan Perkara Nomor 20/PHPU.D-XI/2013 yang dipimpin hakim ketua, Achmad Sodiki, itu dinyatakan bahwa mahkamah menolak seluruh permohonan pasangan cagub PDIP itu karena dalil yang diajukan tidak terbukti.
Dalam konklusinya Achmad yang didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya menyimpulkan bahwa eksepsi termohon dan eksepsi pihak terkait tidak beralasan. Selain itu, dalil permohonan yang diajukan juga dinyatakan tidak terbukti.
"Mengadili, menyatakan; dalam eksepsi menolak eksepsi termohon dan eksepsi pihak terkait. Dalam pokok perkara, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Achmad yang membacakan putusannya.
Mahkamah juga menanggapi dalil pemohon pada sidang sebelumnya dengan menyatakan telah terjadi pelanggaran berupa banyaknya warga masyarakat yang tidak dapat menggunakan hak pilih karena tidak terdaftar dalam DPT, tidak mendapatkan kartu pemilih, dan tidak sampainya kartu pemilih atau undangan.
Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, Arteria Dahlan, mendalilkan tidak ada TPS keliling di rumah sakit atau pabrik-pabrik hampir di seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat, ada penggelembungan DPT karena DPT ganda dan tercatatnya pemilih yang sudah meninggal, ada money politics yang dilakukan pasangan calon pemenang, dan ada fotokopi formulir C-6 tanpa tanda tangan KPPS yang beredar bebas dan dipergunakan untuk memilih.
Atas itu semua, hakim Hamdan Zoelva, membacakan pendapat MK bahwa terdapat perbedaan jumlah pemilih yang tercantum dalam DPT pilgub dan DPT pilbup/pilwakot sebagaimana diakui termohon.
Terhadap dalil tersebut, MK menyatakan bahwa pemohon tidak mengajukan bukti yang meyakinkan MK bahwa perbedaan DPT tersebut dilakukan dengan sengaja oleh KPU Jabar.
"Pemohon tidak mengajukan bukti yang meyakinkan MK bahwa perbedaan DPT tersebut memang sengaja dibuat oleh termohon untuk merugikan pemohon dan menguntungkan pasangan calon lainnya, khususnya pihak terkait," katanya.
Hal tersebut dipertegas hakim konstitusi Akil Mochtar. Menurut dia, MK menemukan fakta bahwa sebagian besar dalil pemohon tidak dibuktikan dengan alat bukti kuat bahkan tidak ada alat bukti sama sekali. "Kecuali daftar alat bukti semata," kata Akil.
Seandainya ada, kata Akil, itu merupakan pelanggaran bersifat sporadis dan tidak memberi pengaruh signifikan terhadap peringkat perolehan suara masing-masing pasangan calon.
Rieke yang setia hadir sepanjang proses persidangan sejak awal sampai kemarin mengaku menerima putusan tersebut. "Dari awal kami katakan, ini bukan soal menang atau kalah dan kita mengetahui yang legal juga belum tentu bermoral. Kalaupun benar apa yang diputuskan MK, tentu menjadi PR (pekerjaan rumah) kita bersama. Di Jabar tercatat 11 juta rakyat tidak memilih," tuturnya.
Hasil putusan MK, kata Rieke, akan membawa pengaruh bagi kehidupan 49,1 juta masyarakat Jabar. "Kami ucapkan kepada hakim, terutama yang telah memutuskan, apa pun hasilnya kami menerima. Sebab, MK adalah putusan terakhir dari sebuah pilkada," ujar anggota DPR dari PDI Perjuangan itu.
Rieke mengaku akan kembali menjadi anggota DPR di komisi IX yang salah satunya mengurusi bidang ketenagakerjaan. Dari perannya itu dia masih bisa berjuang untuk rakyat Jabar. Salah satu misinya menghentikan Jabar sebagai daerah pengirim TKI ke luar negeri.
"Supaya tidak lagi masuk dalam kategori tiga provinsi termiskin di Indonesia karena sumber daya alam luar biasa," sesalnya. (gen/c2/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sistem Parpol Kacau Juga Dianggap Musuh Bangsa
Redaktur : Tim Redaksi