Kalangan DPR Pertanyakan Putusan Pailit Telkomsel

Kamis, 20 September 2012 – 21:11 WIB
JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Maruarar Sirait mengatakan, PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) sebagai aset negara harus diselamatkan. Putusan pailit Telkomsel oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena dinilai tidak bisa membayar utang yang diperkirakan mencapai Rp5,3 miliar menimbulkan tanda tanya dalam proses hukumnya.

“Telkomsel selama ini telah memberi sumbangsih yang sangat besar dalam bentuk pajak. Karena itu keberadaanya harus diselamatkan. Semua pihak yang terkait soal ini harus memberi dukungan penuh,” kata Maruarar Sirait, Kamis (20/9).

Menurut Maruarar, Telkomsel sendiri tengah menempuh jalur hukum. “Kita meminta Menteri BUMN Dahlan Iskan menyelamatkan Telkomsel yang memiliki pelanggan jutaan,” kata Maruarar.

Desakan yang sama juga disuarakan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Roy Suryo. Dia meminta agar Pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN segera bersikap terhadap putusan pailit PN Jakarta Pusat.

Pada 14 September 2012, majelis hakim Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat yang dipimpin hakim Agus Iskandar memutus pailit Telkomsel karena Telkomsel dinyatakan tidak dapat membayar utang Rp5,3 miliar kepada PT Prima Jaya Informatika.

Telkomsel terbukti memiliki utang jatuh tempo yang dapat ditagih oleh PT Prima Jaya Informatika dan sejumlah kreditur lain seperti PT Extend Media Indonesia sebesar Rp21.031.561.274 dan Rp19.294.652.520. Gugatan yang diajukan oleh CEO PT Prima Jaya Informatika, Tonny Djaya Laksana, itu terbukti memenuhi unsur Pasal 2 Ayat (2) UU Kepailitan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, nama Tonny Djayalaksana diduga tercantum dalam berkas perkara Bachtiar Chamsyah, saat itu menjabat Menteri Sosial. Bachtiar didakwa melakukan korupsi dengan cara memerintahkan atau mengarahkan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pimpinan Bagian Proyek (Pimbagpro) untuk memenangkan pihak tertentu dalam pengadaan mesin jahit, sapi potong, dan kain sarung.

Salah satu pihak yang tercantum dalam dakwaan sebagai penerima keuntungan dari pengadaan mesin jahit, sapi potong, dan kain sarung itu adalah Tonny sebesar Rp1.554.214.400.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui putusan nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN.Jkt.Pst tanggal 22 Maret 2011 menjatuhkan vonis satu tahun delapan bulan penjara bagi Bachtiar.

Selain itu, Tonny juga tercatat di Indramayu pada kurun 2006. Kasusnya adalah dugaan penyimpangan dana Rp2,4 miliar di PD Bumi Wiralodra Indramayu atau kerap disebut BWI-Gate. Tonny waktu itu memakai bendera PT Atmadira Karya (AK) untuk menggarap proyek. Tonny menjadi terdakwa di PN Indramayu pada 18 Desember 2007.

Pada 2010, Tonny pernah menjadi saksi dalam kasus korupsi penggunaan dana APBD di Pemkot Tomohon, Sulawesi Utara, yang kasusnya ditangani oleh KPK. Kapasitas Tonny adalah rekanan Pemkot Tomohon.

Berkaitan dengan perkara kepailitan, berdasarkan berkas putusan Mahkamah Agung Nomor 014 K/N/2002, PT Niki Segar Echo yang berkedudukan di David Building Lantai 2 jalan Kalimalang Km 2 Cibitung, Bekasi, mengajukan permohonan pailit terhadap Tonny Djayalaksana yang waktu itu berposisi sebagai Direktur Utama PT Cipta Artha Mahesa (CAM), selaku pribadi dan Pengambil alih Utang (take over), beralamat di Jalan Pulomas Barat No. 25 Rt. 03/Rw. 010, Kelurahan Kayu putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur.

Namun, majelis hakim yang diketuai Bagir Manan dengan anggota Seoharto dan Paulus Effendi Lotulung menolak permohonan kasasi PT Niki Segar Echo pada 5 Juni 2002. (fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Amien Target Sumbar jadi Lumbung Suara PAN

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler