Kamar sempit, Rombongan Jatim di Sel Penjahat Zaman Belanda

Senin, 04 Februari 2013 – 10:01 WIB
SUASANA blok hunian Lapas Kelas I Sukamiskin begitu sepi pada malam hari. Jawa Pos yang pada suatu malam mengunjungi lapas yang kini menjadi rumah baru para koruptor itu langsung disambut kesunyian.
 
Padahal, malam belum terlalu larut. Baru sekitar pukul 21.15. Pada jam seperti itu, di penjara-penjara lain biasanya masih terdengar suara orang berbincang dan sesekali tertawa.
 
Di lapas Sukamiskin, suasana sunyi terjadi sejak hari beranjak petang. Ketika matahari tenggelam, para tahanan yang sebagian besar para koruptor itu sudah harus beranjak ke kamar masing-masing. Satu orang, satu kamar.
 
Mereka yang tidak masuk daftar harus mengikuti salat Isya berjamaah, seusai apel petang pukul 18.00 harus masuk kamar. Bagi yang mengikuti kegiatan ibadah, setelah salat, sekitar pukul 19.00 mereka baru masuk kamar. "Salat berjamaahnya di sini," ungkap Teguh Wibowo, kepala Kesatuan Pengamanan Lapas Sukamiskin, seraya menunjukkan tempat untuk salat berjamaah para napi.
 
Tempat salat tersebut berbentuk lingkaran dengan diameter 8 meter. Tempat itu mampu menampung jamaah lebih dari seratus orang.
 
Tapi, tidak semua penghuni bisa beribadah malam sesuka hati di tempat tersebut. Hanya penghuni yang telah memiliki izin melalui sidang TPP (tim pengamat pemasyarakatan) yang bisa melakukannya. Sebagian besar adalah napi yang berusia lanjut. "Tempat (ibadah) ini biasa kami sebut Palang," lanjut Teguh.
 
Sesudah dari Palang, saat malam, para napi masuk ke kamar dan dikunci. Mereka tidak bisa ngobrol lagi dengan rekan sesama penghuni. Meski kamar berdekatan, mereka tidak bisa berbicara karena akses untuk itu tidak ada.
 
Pintu tiap kamar tertutup rapat. Hanya ada lubang intip setinggi kepala orang dewasa berukuran 25 x 15 cm. Lubang tersebut digunakan petugas untuk mengecek kondisi para napi. Apakah di dalam kamar mereka baik-baik saja atau melakukan tindakan berbahaya seperti upaya bunuh diri.
 
Letak pintu satu dengan pintu lain juga agak berjauhan. Misalnya, kamar pertama memiliki pintu di kanan. Pintu kamar kedua di sebelah kiri. Tiap dua kamar disekat dengan tiang yang didesain agak menonjol ke depan. Supaya penghuni yang pintu kamarnya berdekatan tetap tidak bisa berbincang karena terhalang tiang.
 
Untuk berbincang dengan penghuni di depan kamar yang berhadap-hadapan juga sulit. Sebab, jaraknya juga lebar. Lorong yang memisahkannya berukuran 7 meter. "Tidak mungkin penghuni berbicara dengan berteriak-teriak," sambung Kepala Seksi Bimbingan Kemasyarakatan Pius Harjadi. 
 
Meski demikian, pengamanan tetap dilakukan secara maksimal. Setidaknya, dengan sistem seperti itu, kongkalikong antarnapi untuk lari juga terbatas. Itu pula yang menjadi salah satu pertimbangan Lapas Sukamiskin dijadikan lapas khusus untuk koruptor. Pasalnya, pengamanan dan pengawasannya cukup bagus.
 
Hal tersebut ditunjang dengan desain bangunan model art deco. Bila dilihat dari udara atau tempat yang tinggi, bangunan penjara bergaya arsitektur Eropa itu berbentuk trapesium. Semua sayap dapat diawasi. Sebab, tidak ada kamar yang tersembunyi. Masing-masing terlihat dari luar.  Desain tersebut juga membuat sirkulasi udara di setiap kamar lancar dan kamar tidak pengap.
 
Meski kamar tidak pengap, para koruptor harus terbiasa tidur di kamar minimalis. Ukurannya sempit. Hanya 1,6 x 2,5 meter. Di kamar itulah, 30 koruptor asal Jawa Timur yang diboyong pertengahan Januari lalu ditempatkan. Tepatnya di blok utara bawah.
 
Menurut sejarah, kamar kecil itu pada zaman Belanda diperuntukkan penjahat yang dipekerjakan. Bukan kamar para tahanan intelektual.
 
Di kamar seperti itulah para koruptor menghabiskan malam. Termasuk, koruptor dari daerah lain yang kamarnya di lantai bawah. Tidak hanya sempit, fasilitas juga terbatas. Hanya ada satu matras tipis warna hitam berlapis karet berukuran 1,2 x 1 meter. Bila tidak digunakan, matras disandarkan di tembok.
 
Saat dipakai dan dibentangkan, matras menempel pada bak air. Bak air yang ada juga mungil. Ukurannya sekitar 40 x 50 cm dengan kedalaman sekitar 30 cm. Di samping bak ada kloset jongkok. Colokan listrik tidak ada. Yang ada hanya saklar untuk menyalakan lampu. Itu pun letaknya di luar. "Tidak ada fasilitas lain," ungkap Pius.
 
Salah seorang yang menghuni tempat itu adalah Khudlori, bekas kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya. Dia menempati kamar 44. Ketika disapa Jawa Pos dari lubang pengintip, dia sedang menata matras yang akan dipakai tidur. Tas yang berisi pakaian diletakkan di samping bak air. Ketika disapa, Khudlori tetap berusaha tersenyum dan menerima keadaan. Saat ditanya apakah masih memiliki semangat, dia menjawab "ya". (may/c10/nw)

BACA ARTIKEL LAINNYA... BKN Sembunyikan Data Honorer K2

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler