jpnn.com, JAKARTA - Kontestasi Pemilihan Presiden harus bisa menjaga kebinekaan. Jangan sampai persatuan dan kebinekaan hilang hanya gara-gara Pilpres. Karena itu, kampanye Pilpres harus dilakukan positif, tidak memprovokasi, tidak memfitnah, tidak menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian.
“Pilpres ini harus kita jaga. Jangan sampai persatuan dan kebinnekaan hilang hanya gara-gara Pilpres. Jangan hanya gara-gara pilihan politik yang diekspresikan berlebihan dan kontra produktif bisa mengganggu kebinnekaan, persatuan, persaudaraan sesama anak bangsa,” kata anggota MPR dari Fraksi PKB, Abdul Kadir Karding, dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema “Menjaga Kebinnekaan dalam Kampanye Capres,” di Media Center MPR/DPR, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (28/9/2018). Turut berbicara anggota MPR Fraksi PKS Jazuli Juwaini, dan pengamat dari UIN Jakarta, Ady Prayitno.
BACA JUGA: Cak Imin Ajak Generasi Milenial Aktif jadi Relawan Persatuan
Abdul Kadir Karding, menyebutkan pada saat Pilkada lalu, 40 sampai 50 persen konten yang beredar di media sosial adalah hoaks. Selain hoaks, juga fitnah. Bahkan ruang keagamaan kadang dipakai untuk fitnah.
BACA JUGA: SD Kemala Bhayangkari Cipinang Rebut Piala Ketua MPR
“Hoaks dan fitnah itu tidak boleh terjadi kalau persatuan dan kebinnekaan ini kita mau jaga,” katanya.
Dalam konteks Pilpres, kata Abdul Kadir Kading, kampanye dengan cara memfitnah, menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, provokasi, tidak sesuai dengan kebinnekaan. Karena itu berkampenya harus diletakkan pada posisi menjaga dasar Bhinneka Tunggal Ika.
BACA JUGA: Komunitas Penggemar Sepeda Onthel Ikut Sosialisasi 4 Pilar
Dalam kaitan itu, Abdul Kadir Karding menyatakan media baik media mainstream dan media sosial berperan penting. Sebab, media yang menyebarkan informasi. “Pilpres ini harus menjadi ajang edukasi politik,” ujarnya.
Anggota MPR dari Fraksi PKS Jazuli Juwaini sependapat dengan Abdul Kadir Karding. Menurut Jazuli, hoaks dan persekusi orang yang berbeda pilihan bisa merusak Bhinneka Tunggal Ika.
Selain itu, eksploitasi SARA juga bisa menimbulkan kegaduhan yang mengganggu kebhinekaan. “Kuncinya adalah kita harus mengembangkan toleransi, yaitu menghormati perbedaan-perbedaan yang ada,” katanya.
“Ketika toleransi dilaksanakan secara benar dan jujur dalam kehidupan bernegara dalam Pilpres dan Pemilu, maka kekhawatiran perpecahan tidak akan terjadi di Indonesia,” imbuhnya.
Sementara itu, Ady Prayitno mengatakan bahwa UU Pemilu sudah mengatur larangan-larangan dalam kampanye. Dalam pasal 63 terdapat 11 larangan kampanye termasuk sanksi hukumnya. Misalnya, tidak boleh menghina suku dan agama tertentu, tidak boleh berkampanye di tempat-tempat ibadah, atau tempat pendidikan.
“Bagaimana menjaga kebinnekaan dalam kampanye maka harus patuh dan taat dengan UU. Kalau aturan ini dijalankan dengan baik dan bertanggungjawab maka tidak muncul masalah dalam kampanye,” katanya.
Sedangkan untuk menciptakan kampanye yang tidak merusak kebhinnekaan, lanjut Adi Prayitno, maka diperlukan pendekatan terhadap elite-elite politik. “Elite politik ini harus dipantau. Sebab elite politik yang mengendalikan tim sukses. Elite ini bisa meredam isu-isu yang mengganggu kebinnekaan dan mengurangi resistensi dan konflik,” ujarnya.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ideologi Negara Terbukti Menyelamatkan Bangsa Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi