JAKARTA - Kementerian Agama (Kemenag) tidak mau sendirian disalahkan terkait munculnya pungutan liar (pungli) nikah. Mereka juga menyebut pungli serupa muncul di kantor desa/kelurahan hingga kecamatan. Kemenag siap menggandeng Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menertibaknnya.
Temuan pungli di kantor desa, kelurahan, dan kecamatan ini hasil dari pemantauan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenag di 227 kantor urusan agama (KUA). Irjen Kemenag Muhammad Jasin mengatakan jika pungutan di kantor desa, kelurahan, hingga kecamatan ini berkisar mulai dari Rp 10 ribu hingga Rp 500 ribu.
Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu mengatakan, pungli itu adalah fakta yang mereka temukan di lapangan. "Lantas apakah biaya itu akan dibebankan ke APBN atau dana Kemenag" Saya kira tidak bisa," ujarnya di Jakarta kemarin (4/1).
Sebagai gantinya, Jasin sedang mengusulkan supaya Menag Suryadharma Ali menjajaki kerjasama dengan Mendagri. Ujung dari penjajakan ini adalah adanya semacam MoU antara Menag dan Mendagri khusus untuk menertibkan pungutan di kantor desa, kelurahan, hingga kecamatan.
"Misalnya pungutan yang sekarang ditarik dari calon mempelai itu dibebankan kepada pemerintah daerah (APBD, red)," jelas Jasin. Dengan sistem ini, masyarakat tidak lagi menjadi korban pungli setiap kali mengajukan pendaftaran pencatatan pernikahan. Entah itu oleh oknum penghulu di KUA atau aparat di kantor desa, kelurahan, dan kecamatan.
Sementara itu terkait dengan penanganan pungli oleh penghulu di KUA, hingga sekarang belum ada keputusan jelas. Itjen Kemenag masih mengusulkan delapan opsi perbaikan kepada menteri. Dari delapan usulan tersebut, Jasin mengatakan yang paling mustahil dilakukan adalah usulan ke tujuh dan delapan.
"Usulan pertama adalah mewajibkan setiap pencatatan nikah harus dilakukan di KUA dan pada hari kerja," tandas Jasin. Namun dia mengatakan usulan ini sangat sulit dilakukan. Pertimbangannya adalah, rata-rata masyarakat memilih hari libur dan tempat khusus untuk melakukan pencatatan nikah.
Sedangkan usulan ketujuh adalah, tidak perlu menghapus biaya nikah sebesar Rp 30 ribu setiap kali pencatatan. Biaya itu tetap masuk dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004.
Tetapi jika ada pencatatan nikah di luar kantor, maka APBN menanggung biaya transportasi penghulu sebesar Rp 110 ribu untuk transportasi lokal. Lalu ditampah jatah atau tunjangan profesi sebesar Rp 200 ribu hingga Rp 250 ribu. "Biaya nikah tetap masuk ke kas negara. Tetapi penghulu dapat tunjangan sehingga tidak boleh menarik atau menerima pungli," beber dia.
Untuk usulan opsi ke delapan adalah, membebaskan masyarakat dari biaya nikah yang sebesar Rp 30 ribu itu. Dengan cara ini, menunjukkan jika pemerintah berpihak terhadap hajat masyarakat dalam bentuk pernikahan.
Selanjutnya besaran tunjangan transportasi lokal pencatatan nikah di pulau Jawa tetap Rp 110 ribu. Sedangkan di luar pulau Jawa diberikan tunjangan transportasi real cost. "Misalnya yang haru menembus gunung atau melintasi pulau-pulau itu kan tunjangan transportasinya harus beda," kata Jasin.
Jasin menegaskan jika urusan KUA ini harus diperbaiki terus. Karena sering dipelototi KPK dalam survei integritas aparatur negara. Celakanya sejak 2007 hingga 2012 skor survei integritasi di lingkungan KUA ternyata masih memprihatinkan. "Kalau tidak dibenahi, gara-gara pungutan lebih dari Rp 30 ribu Kemenag terus dicap sebagai kementerian terkorup," pungkasnya. (wan)
Temuan pungli di kantor desa, kelurahan, dan kecamatan ini hasil dari pemantauan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenag di 227 kantor urusan agama (KUA). Irjen Kemenag Muhammad Jasin mengatakan jika pungutan di kantor desa, kelurahan, hingga kecamatan ini berkisar mulai dari Rp 10 ribu hingga Rp 500 ribu.
Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu mengatakan, pungli itu adalah fakta yang mereka temukan di lapangan. "Lantas apakah biaya itu akan dibebankan ke APBN atau dana Kemenag" Saya kira tidak bisa," ujarnya di Jakarta kemarin (4/1).
Sebagai gantinya, Jasin sedang mengusulkan supaya Menag Suryadharma Ali menjajaki kerjasama dengan Mendagri. Ujung dari penjajakan ini adalah adanya semacam MoU antara Menag dan Mendagri khusus untuk menertibkan pungutan di kantor desa, kelurahan, hingga kecamatan.
"Misalnya pungutan yang sekarang ditarik dari calon mempelai itu dibebankan kepada pemerintah daerah (APBD, red)," jelas Jasin. Dengan sistem ini, masyarakat tidak lagi menjadi korban pungli setiap kali mengajukan pendaftaran pencatatan pernikahan. Entah itu oleh oknum penghulu di KUA atau aparat di kantor desa, kelurahan, dan kecamatan.
Sementara itu terkait dengan penanganan pungli oleh penghulu di KUA, hingga sekarang belum ada keputusan jelas. Itjen Kemenag masih mengusulkan delapan opsi perbaikan kepada menteri. Dari delapan usulan tersebut, Jasin mengatakan yang paling mustahil dilakukan adalah usulan ke tujuh dan delapan.
"Usulan pertama adalah mewajibkan setiap pencatatan nikah harus dilakukan di KUA dan pada hari kerja," tandas Jasin. Namun dia mengatakan usulan ini sangat sulit dilakukan. Pertimbangannya adalah, rata-rata masyarakat memilih hari libur dan tempat khusus untuk melakukan pencatatan nikah.
Sedangkan usulan ketujuh adalah, tidak perlu menghapus biaya nikah sebesar Rp 30 ribu setiap kali pencatatan. Biaya itu tetap masuk dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004.
Tetapi jika ada pencatatan nikah di luar kantor, maka APBN menanggung biaya transportasi penghulu sebesar Rp 110 ribu untuk transportasi lokal. Lalu ditampah jatah atau tunjangan profesi sebesar Rp 200 ribu hingga Rp 250 ribu. "Biaya nikah tetap masuk ke kas negara. Tetapi penghulu dapat tunjangan sehingga tidak boleh menarik atau menerima pungli," beber dia.
Untuk usulan opsi ke delapan adalah, membebaskan masyarakat dari biaya nikah yang sebesar Rp 30 ribu itu. Dengan cara ini, menunjukkan jika pemerintah berpihak terhadap hajat masyarakat dalam bentuk pernikahan.
Selanjutnya besaran tunjangan transportasi lokal pencatatan nikah di pulau Jawa tetap Rp 110 ribu. Sedangkan di luar pulau Jawa diberikan tunjangan transportasi real cost. "Misalnya yang haru menembus gunung atau melintasi pulau-pulau itu kan tunjangan transportasinya harus beda," kata Jasin.
Jasin menegaskan jika urusan KUA ini harus diperbaiki terus. Karena sering dipelototi KPK dalam survei integritas aparatur negara. Celakanya sejak 2007 hingga 2012 skor survei integritasi di lingkungan KUA ternyata masih memprihatinkan. "Kalau tidak dibenahi, gara-gara pungutan lebih dari Rp 30 ribu Kemenag terus dicap sebagai kementerian terkorup," pungkasnya. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cium Kaos Oblong Ayah
Redaktur : Tim Redaksi