jpnn.com, SAMARINDA - MEMAKNAI Hari Kartini, seharusnya tidak ada lagi pikiran bahwa perempuan itu mahluk lemah, yang hanya bisa berlindung di balik pria. Buktinya, dalam pesakitan perempuan-perempuan ini masih sanggup bertahan dan tertawa ceria.
-----------------
ULVA APRILIA, Samarinda
-----------------
Adzan subuh telah berkumandang, namun Saida bangun lebih awal. Ia membaca lembaran surah dalam Alquran lalu melanjutkan salat. Di tengah kekhusyukan salatnya, suara gaduh mulai terdengar. Hingga rakaat kedua, sebuah botol minuman melayang ke kepalanya.
Dengan riwayat penyakit jantung, perempuan kepala lima itu langsung dilarikan ke klinik kesehatan di Rutan Kelas IIA Sempaja, Samarinda. Hingga kembali fajar, Saida berangsur siuman.
Kejadian itu baru beberapa minggu berselang. Saida adalah salah satu tahanan di Rutan Kelas II Samarinda. Dia divonis hakim setahun penjara karena melakukan tindak pidana korupsi.
Saida memang salah satu tahanan tertua di blok perempuan di Rutan. Namun, tidak ada perlakuan khusus. Semua sama, tidur di atas beton beralas karpet dan menggunakan satu kamar mandi bersama 26 tahanan lainnya.
Rutan yang terletak di Jalan Wahid Hasyim itu hanya memiliki dua blok tahanan perempuan. Blok A luasnya 4X3 meter persegi dihuni 36 perempuan, sedang blok B lebih kecil dengan penghuni 26 orang. Tidak ada televisi atau alat elektronik lainnya seperti ponsel, laptop, dan kipas angin.
Pada dinding, menumpuk pakaian dan beberapa perlengkapan salat. Selain membantu petugas bekerja, mereka hanya bercengkerama dan merawat muka. Jelas saja para tahanan di sini terlihat cantik dan bersih. Sama halnya dengan Saida, perempuan bercucu tiga ini lebih sibuk membaca novel yang kerap dibawakan anaknya kala membesuk. “Daripada bosan di sini, ya begini saja kerjaan setiap hari,” tuturnya.
Kondisi blok-blok para “Kartini” ini tidak seseram yang orang luar bayangkan. Jika penjara identik dengan kejahatan, justru penghuninya akur dan saling berbagi. “Jika ada yang bebas, kami kadang sedih, nangis merasa kehilangan. Atau ada yang mau sidang,” ceritanya.
Memaknai Hari Kartini ini, Saida menyimpan harapan besar bahwa perempuan dapat bersaing dengan lelaki dalam intelegensinya.
“Hanya, perempuan kadang lebih sensitif dan tidak mau kalah,” terangnya. Saat ini, lanjut dia, memang Saida belum bisa berbuat apa-apa. Tapi, pelajaran hidupnya bisa jadi pelajaran bagi anak cucunya kelak.
Mengajari Merajut
Perempuan yang tidak kurus itu menyimpan kekhawatiran di balik senyumnya. Malam itu, Sinta dipindahkan dari penjara di Sangata menuju Rutan Kelas IIA Sempaja, Samarinda. Sempat muncul ketakutan mendengar kata Rutan dari dalam dirinyal; takut akan kekerasan dan penindasan, seperti dalam film-film.
Sesampainya di blok perempuan dan berkenalan dengan penghuni bilik itu, Sinta disuruh menyanyi oleh kepala blok, yang juga tahanan senior. Merasa takut dan baru, Sinta tidak kuasa menahan tangis.
Bukan dihukum atau dimarahi, Sinta justru ditertawakan para tahanan. “Sejak saat itu saya mulai terbiasa. Ternyata mereka hanya melatih mental saya saja,” ucapnya. Kini, Sinta sudah menjalani 10 bulan dari setahun masa hukumannya.
Sama halnya dengan Saida, Sinta juga tersandung kasus korupsi di Sangatta. Menghabisi waktu luang di balik bui selama itu bukan hal mudah baginya. Terlebih, sebelumnya Sinta adalah pejabat pemerintahan.
Namun, semua harus dia jalankan. “Tidak buruk-buruk amat. Mereka semua yang di dalam sini juga manusia kok,” ucapnya. Sinta sendiri punya keterampilan merajut. Dalam Rutan dia juga mengajarkan tahanan lain merajut. Bahkan, baju bayi hasil rajutannya dipakai bayi kawan setahanan. “Ada beberapa yang sudah jadi, seperti kerudung dan taplak,” tuturnya.
Memaknai Hari Kartini ini, Sinta berharap ada perlakuan yang lebih adil untuk perempuan. Tidak hanya di Rutan, kata dia, di luar pun harus sama. “Jangan melihat dengan sebelah mata. Perempuan juga perlu menuntut haknya, asalkan kewajibannya terpenuhi,” tutur perempuan 30 tahun ini.
Memimpin Blok Tahanan
Perempuan yang satu ini lebih pendiam ketimbang Sinta dan Saida. Dia adalah Fitri, yang telah menghabiskan tiga dari enam tahun masa hukumannya di Rutan. Dia merupakan ketua blok perempuan yang terjerat lembah hitam narkotika. Sekilas, Fitri memang terlihat judes, namun, sesekali matanya sembab menceritakan pengalaman hidupnya.
Sebelumnya, Fitri adalah ibu rumah tangga biasa, yang memasak dan mengurus tiga anak ketika suami bekerja sembari menjual baju-baju via online di rumahnya. Namun godaan datang hingga akhirnya Fitri masuk jebakan teman dan ikut mengonsumsi narkotika.
Dalam Rutan ia cukup merasakan sengsara karena tidak ada televisi. Untuk mengisi waktu, Fitri melakukan kegiatan positif agar tidak bosan, seperti belajar menyulam, menjahit, atau membantu petugas mengurus administrasi. “Dulu ada televisi tapi karena sering bertengkar saat menonton jadi dipindah,” tuturnya.
Menjadi ketua blok tentunya Fitri bertanggung jawab memobilisasi teman tahanannya. Namun, Fitri tipikal perempuan yang cuek. Pernah sesekali antar tahanan saling berkelahi, tapi karena saat itu malam hari, Fitri membiarkan saja. “Kalau hanya cekcok mulut saya biarkan saja. Tapi kalau sudah saling pukul, baru saya tindak,” terangnya.
Fitri bercerita, pernah sesekali seorang tahanan sedang makan, sedangkan yang satunya menyapu lantai. Karena tersinggung mereka saling kelahi hingga bercakaran. Keesokan harinya, setelah didamaikan, mereka kembali seperti semula.
“Kondisi di sini memang susah ditebak. Namanya juga kami tidur bertindihan, makan sama-sama. Ada yang keluar sedih, ya karena rasa kekeluargaannya sudah erat. Walaupun kadang kelahi,” akunya.
Bahkan, lanjut Firi, tidak sedikit tahanan yang masuk Islam. “Entah karena kebiasaan di sini atau bagaimana. Tapi, sebelum masuk Islam kami tes mental juga, apa benar-benar atau bagaimana,” ceritanya. Sama halnya dengan tahanan lain yang mengharap kebebasan, ketika bebas nanti, Fitri berencana membuka usaha di rumahnya. Tentunya sembari mengurus tiga buah hatinya.(tom/k1)
ULVA APRILIA, Samarinda
-----------------
Adzan subuh telah berkumandang, namun Saida bangun lebih awal. Ia membaca lembaran surah dalam Alquran lalu melanjutkan salat. Di tengah kekhusyukan salatnya, suara gaduh mulai terdengar. Hingga rakaat kedua, sebuah botol minuman melayang ke kepalanya.
Dengan riwayat penyakit jantung, perempuan kepala lima itu langsung dilarikan ke klinik kesehatan di Rutan Kelas IIA Sempaja, Samarinda. Hingga kembali fajar, Saida berangsur siuman.
Kejadian itu baru beberapa minggu berselang. Saida adalah salah satu tahanan di Rutan Kelas II Samarinda. Dia divonis hakim setahun penjara karena melakukan tindak pidana korupsi.
Saida memang salah satu tahanan tertua di blok perempuan di Rutan. Namun, tidak ada perlakuan khusus. Semua sama, tidur di atas beton beralas karpet dan menggunakan satu kamar mandi bersama 26 tahanan lainnya.
Rutan yang terletak di Jalan Wahid Hasyim itu hanya memiliki dua blok tahanan perempuan. Blok A luasnya 4X3 meter persegi dihuni 36 perempuan, sedang blok B lebih kecil dengan penghuni 26 orang. Tidak ada televisi atau alat elektronik lainnya seperti ponsel, laptop, dan kipas angin.
Pada dinding, menumpuk pakaian dan beberapa perlengkapan salat. Selain membantu petugas bekerja, mereka hanya bercengkerama dan merawat muka. Jelas saja para tahanan di sini terlihat cantik dan bersih. Sama halnya dengan Saida, perempuan bercucu tiga ini lebih sibuk membaca novel yang kerap dibawakan anaknya kala membesuk. “Daripada bosan di sini, ya begini saja kerjaan setiap hari,” tuturnya.
Kondisi blok-blok para “Kartini” ini tidak seseram yang orang luar bayangkan. Jika penjara identik dengan kejahatan, justru penghuninya akur dan saling berbagi. “Jika ada yang bebas, kami kadang sedih, nangis merasa kehilangan. Atau ada yang mau sidang,” ceritanya.
Memaknai Hari Kartini ini, Saida menyimpan harapan besar bahwa perempuan dapat bersaing dengan lelaki dalam intelegensinya.
“Hanya, perempuan kadang lebih sensitif dan tidak mau kalah,” terangnya. Saat ini, lanjut dia, memang Saida belum bisa berbuat apa-apa. Tapi, pelajaran hidupnya bisa jadi pelajaran bagi anak cucunya kelak.
Mengajari Merajut
Perempuan yang tidak kurus itu menyimpan kekhawatiran di balik senyumnya. Malam itu, Sinta dipindahkan dari penjara di Sangata menuju Rutan Kelas IIA Sempaja, Samarinda. Sempat muncul ketakutan mendengar kata Rutan dari dalam dirinyal; takut akan kekerasan dan penindasan, seperti dalam film-film.
Sesampainya di blok perempuan dan berkenalan dengan penghuni bilik itu, Sinta disuruh menyanyi oleh kepala blok, yang juga tahanan senior. Merasa takut dan baru, Sinta tidak kuasa menahan tangis.
Bukan dihukum atau dimarahi, Sinta justru ditertawakan para tahanan. “Sejak saat itu saya mulai terbiasa. Ternyata mereka hanya melatih mental saya saja,” ucapnya. Kini, Sinta sudah menjalani 10 bulan dari setahun masa hukumannya.
Sama halnya dengan Saida, Sinta juga tersandung kasus korupsi di Sangatta. Menghabisi waktu luang di balik bui selama itu bukan hal mudah baginya. Terlebih, sebelumnya Sinta adalah pejabat pemerintahan.
Namun, semua harus dia jalankan. “Tidak buruk-buruk amat. Mereka semua yang di dalam sini juga manusia kok,” ucapnya. Sinta sendiri punya keterampilan merajut. Dalam Rutan dia juga mengajarkan tahanan lain merajut. Bahkan, baju bayi hasil rajutannya dipakai bayi kawan setahanan. “Ada beberapa yang sudah jadi, seperti kerudung dan taplak,” tuturnya.
Memaknai Hari Kartini ini, Sinta berharap ada perlakuan yang lebih adil untuk perempuan. Tidak hanya di Rutan, kata dia, di luar pun harus sama. “Jangan melihat dengan sebelah mata. Perempuan juga perlu menuntut haknya, asalkan kewajibannya terpenuhi,” tutur perempuan 30 tahun ini.
Memimpin Blok Tahanan
Perempuan yang satu ini lebih pendiam ketimbang Sinta dan Saida. Dia adalah Fitri, yang telah menghabiskan tiga dari enam tahun masa hukumannya di Rutan. Dia merupakan ketua blok perempuan yang terjerat lembah hitam narkotika. Sekilas, Fitri memang terlihat judes, namun, sesekali matanya sembab menceritakan pengalaman hidupnya.
Sebelumnya, Fitri adalah ibu rumah tangga biasa, yang memasak dan mengurus tiga anak ketika suami bekerja sembari menjual baju-baju via online di rumahnya. Namun godaan datang hingga akhirnya Fitri masuk jebakan teman dan ikut mengonsumsi narkotika.
Dalam Rutan ia cukup merasakan sengsara karena tidak ada televisi. Untuk mengisi waktu, Fitri melakukan kegiatan positif agar tidak bosan, seperti belajar menyulam, menjahit, atau membantu petugas mengurus administrasi. “Dulu ada televisi tapi karena sering bertengkar saat menonton jadi dipindah,” tuturnya.
Menjadi ketua blok tentunya Fitri bertanggung jawab memobilisasi teman tahanannya. Namun, Fitri tipikal perempuan yang cuek. Pernah sesekali antar tahanan saling berkelahi, tapi karena saat itu malam hari, Fitri membiarkan saja. “Kalau hanya cekcok mulut saya biarkan saja. Tapi kalau sudah saling pukul, baru saya tindak,” terangnya.
Fitri bercerita, pernah sesekali seorang tahanan sedang makan, sedangkan yang satunya menyapu lantai. Karena tersinggung mereka saling kelahi hingga bercakaran. Keesokan harinya, setelah didamaikan, mereka kembali seperti semula.
“Kondisi di sini memang susah ditebak. Namanya juga kami tidur bertindihan, makan sama-sama. Ada yang keluar sedih, ya karena rasa kekeluargaannya sudah erat. Walaupun kadang kelahi,” akunya.
Bahkan, lanjut Firi, tidak sedikit tahanan yang masuk Islam. “Entah karena kebiasaan di sini atau bagaimana. Tapi, sebelum masuk Islam kami tes mental juga, apa benar-benar atau bagaimana,” ceritanya. Sama halnya dengan tahanan lain yang mengharap kebebasan, ketika bebas nanti, Fitri berencana membuka usaha di rumahnya. Tentunya sembari mengurus tiga buah hatinya.(tom/k1)
BACA JUGA: Kisah Bona dan Lagu Andai Aku Gayus Tambunan yang Makin Terkenal
Redaktur : Tim Redaksi