Kasus Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia yang meninggal dunia di atas kapal berbendera Tiongkok kemudian dilarung ke laut tanpa seizin keluarga kembali terulang. Dua jenazah ABK asal Jawa Tengah dilarungkan di laut setelah bekerja di kapal nelayan Tiongkok Orang tua tidak mengetahui keberadaan anak mereka dan meminta jenazah dipulangkan Kemlu RI menyesalkan tindakan yang dilakukan kapal nelayan Tiongkok tersebut

 

BACA JUGA: Lockdown Ketat dan Pengerahan Tentara, Sudah Separah Apa Penularan COVID-19 di Melbourne?

Dua ABK Indonesia, yaitu Daroni dan Riswan asal Jawa Tengah yang bekerja dan meninggal di atas kapal berbendera Tiongkok, Han Rong 363 dan Han Rong 368, dilaporkan telah dilarungkan ke laut 29 Juli yang lalu.

Demikian keterangan yang diperoleh ABC Indonesia dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, yang mendampingi keluarga Daroni.

BACA JUGA: Cerita Kehidupan Warga Indonesia Menjalani Lockdown Lebih Ketat di Melbourne

Pihak keluarga masih berharap jenazah Daroni dikembalikan kepada mereka.

Berdasarkan data pengaduan kasus yang diterima SBMI Tegal, Daroni yang diberangkatkan oleh PT Puncak Jaya Samudera meninggal dunia di atas kapal Han Rong 363 pada 19 Mei 2020 karena sakit, tanpa ada kejelasan apa penyakit yang dideritanya.

BACA JUGA: Wabah Corona Ditemukan di Dua Kapal Pesiar Norwegia

Sementara Riswan, yang diberangkatkan PT Mega Pratama Samudera, meninggal dunia di atas kapal Han Rong 368 pada 22 Juni 2020 dengan kondisi badan membengkak dan bintik-bintik disertai cairan warna putih keabuan keluar dari mulutnya. Photo: Keluarga Daroni dengan foto anak mereka yang menigngal di atas kapal nelayan Tiongkok dan dilarungkan di laut. (Koleksi pribadi)

 

Kepada Sastra Wijaya dari ABC Indonesia, Zainudin dari SBMI Tegal mengatakan pihak keluarga mendapat informasi soal kedua ABK yang dilarung ke laut dari Kementerian Luar Negeri RI, pihak perusahaan, serta perwakilan Kementrian Perhubungan melalui video call pada tanggal 29 Juli 2020 malam.

Keesokan harinya, pihak keluarga menginformasikan ke SBMI Tegal, yang sejak awal telah mendapat kuasa dari pihak keluarga untuk mengurus pemulangan jenazah keduanya.

SBMI Tegal juga mendapat informasi jika sebelum pelarungan pihak Kemenlu RI pernah mendatangi keluarga Riswan di Sulawesi dan menyodorkan empat surat yang terdiri dari surat persetujuan keluarga untuk pelarungan, kremasi, autopsi, dan surat pemulangan jenazah.

Dari empat surat tersebut, tidak ada satu pun yang ditandatangani keluarga Riswan.

Pihak keluarga tetap bersikukuh agar jenazah dipulangkan berikut hak-hak almarhum. Photo: Dari pengakuan buruh kapal mereka harus berdiri 30 jam dengan jam makan setiap enam jam. (YouTube, MBC News)

  'Makannya memang tidak layak'

Menurut Zainudin sampai sekarang pihak keluarga Daroni tetap tidak menerima pelarungan jenazah anaknya.

"Saya tidak terima dengan PT yang memberangkatkan anak saya. Saya tidak terima anak saya diperlakukan seperti itu," kata ibu dari Daroni di kantor Sekretariat SBM Tegal, Selasa kemarin (4/08).

Sejak Daroni berangkat bekerja sebagai ABK, pihak keluarga tidak pernah mendapat informasi apapun dari perusahaan yang memperkerjakan Daroni.

Bahkan, keluarga tidak tahu nama kapal tempat Daroni bekerja.

"Tidak ada kabar atau informasi apa pun dari pihak PT tentang kondisi Daroni di atas kapal. Tahu-tahu dapat kabar bahwa anak saya sudah meninggal pada 19 Mei lalu," kata ibu Daroni.

Pihak keluarga, kata ibu Daroni, justru mengetahui kondisi Daroni di atas kapal dari teman kerjanya yang bernama Joni yang berhasil kabur dari kapal tempat Daroni bekerja.

"Menurut teman anak saya yang bernama Joni itu, di atas kapal Daroni hanya dikasih makan bubur dan bawang bombay saja," jelas ibu Daroni.

"Perkiraan saya, Daroni jadi sakit-sakitan dan meninggal karena makannya memang tidak layak," jelas ibu Daroni seperti yang dituturkan oleh Zainudin kepada ABC Indonesia. Baca juga: Laporan eksploitasi pekerja Indonesia di kapal penangkapan ikan milik Tiongkok Tanggapan dari Kementerian Luar Negeri Indonesia

Dalam tanggapannya kepada ABC Indonesia, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI, Judha Nugraha mengatakan mereka sudah mengetahui kasus ini dan mengambil beberapa langkah.

Kemenlu mengaku sejak awal Kemlu menerima informasi kasus yang menimpa ABK WNI atas nama D, R dan AW, mereka sudah melakukan sejumlah upaya.

"Kemlu dan Perwakilan RI di Colombo, Singapura, Beijing dn Guangzhou segera melakukan langkah langkah untuk memulangkan jenazah dan mendorong penyelidikan lebih lanjut," kata Judha.

"Namun ternyata pemilik kapal tetap melarungkan jenazah. Kemlu sangat prihatin dengan tindakan tersebut," lanjutnya.

Judha juga mengatakan Kemlu sudah melakukan beberapa langkah diplomatik.

"Yang dilakukan antara lain memanggil Dubes Tiongkok di Jakarta tgl 28 Juli 2020 dan mengangkat isu ini dalam Pertemuan Bilateral RI-Tiongkok antara Menlu RI dan Menlu Tiongkok pada tangal 30 Juli 2020."

Kemlu juga menurut Judha, telah memanggil perusahaan yang memberangkatkan para ABK untuk memastikan seluruh hak-hak mereka yang meninggal terpenuhi. Diungkapkan pertama kali oleh media Korea Selatan

Berita pertama kali soal kondisi ABC asal Indonesia yang bekerja di kapal penangkapan milik Tiongkok dilaporkan pertama kali oleh media Korea Selatan, MBC News.

MBC News melaporkan tayangan dengan judul "Bekerja 18 Jam Sehari… Dibuang ke Laut Jika Meninggal" dengan menyoroti adanya pelanggaran hak asasi manusia yang dialami pekerja di atas sebuah kapal penangkapan ikan milik Tiongkok.

Tayangan video milik MBC News ini memperlihatkan peti mati yang dibungkus kain oranye di geladak kapal sebelum dibuang ke laut. External Link: YouTube: Penangkapan Ikan Tiongkok

 

Padahal dalam surat kontrak awak kapal, seperti yang ditayangkan oleh MBC News, disebutkan awal kapal yang meninggal akan dikremasi dan abunya dikirim ke pihak keluarga.

Dalam tanggapan sebelumnya, Migrant Care, lembaga swadaya masyarakat yang mengadvokasi buruh migran Indonesia mengatakan, yang dialami oleh awak kapal Indonesia di kapal pencari ikan milik Tiongkok adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

"Mereka terenggut kebebasannya, bekerja dalam kondisi tidak layak, tidak mendapatkan hak atas informasi, hingga hak yang paling dasar yaitu hak atas hidup pun terenggut," kata Wahyu Susilo dari Migrant Care melalui pernyataan tertulis yang diterima ABC.

Migrant Care merujuk pada indeks perbudakan global yang dikeluarkan tahun 2014-2016 dan menempatkan buruh di sektor kelautan dan perikanan, terutama mereka yang bekerja di kapal penangkapan ikan, sebagai perbudakan modern yang terburuk.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dua Negara Bagian Australia Ini Sudah Lama Tak Mencatat Penularan Corona

Berita Terkait