Pemerintah Indonesia akan menjatuhkan "sanksi berat" bagi sejumlah karyawan di Kimia Farma Diagnostika yang dituduh menggunakan alat tes usap COVID-19 bekas untuk mengetes penumpang di bandara Kualanamu, Medan.
Lima karyawan di unit bisnis laboratorium klinik tersebut dituduh telah mencuci dan memakai kembali alat usap hidung untuk mengetes penumpang sejak Desember 2020.
BACA JUGA: Ogah Hadapi Gelombang Baru COVID-19, Perdana Menteri Australia Dukung Larangan Kedatangan dari India
Ribuan tes telah dilakukan sejak itu.
Minggu lalu, pihak Kimia Farma Diagnostika menyangkal tuduhan terhadap karyawannya dan mendukung penuh proses penyelidikan polisi.
BACA JUGA: Bill dan Melinda Gates Berpisah, tetapi Tetap Bersama dalam Proyek Kemanusiaan
"Saya mengutuk keras tindakan oknum petugas Kimia Farma," kata Menteri Badan Usaha Milik Negara Indonesia Erick Thohir dalam akun Twitternya.
"Aksi tersebut harus diganjar hukuman yang sangat tegas."
BACA JUGA: Visa Sementara Tak Diperpanjang, Pencari Suaka Terkatung-katung di Australia
Direktur Kimia Farma Diagnostika, Adil Fadhilah Bulqini mengecam perilaku kelima karyawan tersebut dan menekankan bahwa pemakaian alat tes usap bekas telah melanggar standar prosedur operasional unit bisnis tersebut.
Juru bicara polisi di Sumatera Utara mengatakan kelompok ini diduga telah meraih Rp1,8 milyar dari uang pembayaran tes yang mereka lakukan.
Menurutnya, jika dituntut, tersangka dapat dijatuhkan sanksi 10 tahun di penjara.
Tonang Dwi Ardyanto, ahli patologi dari Universitas Sebelas Maret mengatakan penggunaan alat tes usap bekas berpotensi menimbulkan sejumlah masalah kesehatan bagi penumpang.
"Setelah dibuka dan digunakan, alat tes usap sudah tidak layak digunakan," katanya.
"Jadi [risikonya berasal] bukan hanya dari COVID, tapi juga bakteri, virus, dan patogen lainnya."
Irma Hidayana, konsultan kesehatan publik mengatakan kepada ABC bahwa skandal ini tidak mengejutkan melihat sedikitnya pengawasan sistem pengetesan dari pemerintah pusat dan daerah Indonesia.
Sebelumnya, pemerintah pernah menemukan penjualan surat palsu hasil tes COVID-19 negatif sebagai syarat untuk bepergian.
"Tidak ada pengawasan ketat terhadap tes antigen di lapangan," ujar Dr Irma.
Ia juga menyoroti rendahnya keinginan politik untuk menerapkan protokol ketat demi menghentikan penyebaran virus di Indonesia. Masalah yang sama dalam penanganan COVID di Indonesia
Elina Ciptadi, salah satu pemrakarsa situs COVID-19, yang secara independen mengumpulkan data pandemi mengatakan masalah di Indonesia adalah penerapan aturan terkait virus corona yang tidak dijalankan dengan baik.
"Kita melihatnya tidak hanya kasus Kimia Farma, tapi bagaimana orang-orang tidak karantina saat tiba," katanya.
Ia menambahkan, terkadang ada juga warga yang sudah menerima hasil tes positif virus corona namun sengaja mencari tes lain yang akan membuahkan hasil negatif.
"Jadi bukannya langsung isolasi ... mereka masih bisa naik pesawat sebelum ke dokter."
Indonesia merupakan salah satu negara yang mencatat jumlah kasus virus corona tertinggi di Asia Tenggara, yaitu 1,7 juta kasus dan lebih dari 46.000 jumlah kematian.
Pakar mengatakan jumlah kasus COVID dan kematian di Indonesia kemungkinan besar lebih banyak dari itu.
Elina mengatakan di Indonesia hanya ada 40.000 hingga 50.000 jumlah tes per hari, dibandingkan India, yang mengetes satu juta orang per hari.
Tes juga hanya digratiskan bila warga adalah kontak erat dari warga yang terkonfirmasi positif.
"Tidak harus separah India, dalam hal jumlah kasus, bagi sistem di Indonesia untuk kewalahan," ujar Elina.
Ia mengatakan, ketika ada jumlah kasus mencapai puncaknya di bulan Januari, warga ditolak masuk oleh belasan rumah sakit di Jakarta.
"Tidak perlu mencapai ratusan atau ribuan kasus per harinya [di Indonesia] untuk menyaksikan kejadian yang sudah terjadi di beberapa daerah India sekarang." Kekhawatiran kasus akan melonjak di bulan Idul Fitri
Menteri Kesehatan Indonesia Budi Gunadi Sadikin minggu ini telah melaporkan . Varian Afrika Selatan sudah ditemukan di Bali.
Lonjakan kasus di Indonesia dikhawatirkan akan terjadi dalam beberapa minggu ketika banyak warga mulai melakukan mudik.
"Kita harus belajar banyak tidak hanya dari India, tapi juga dari momen [Idul Fitri] tahun lalu. Karena trennya menunjukkan peningkatan jumlah kasus," kata Dr Irma.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 Doni Monardo mengimbau warga untuk tinggal di rumah pada Idul Fitri tahun ini.
"Memiliki dokumen berupa surat hasil tes COVID-19 negatif bukan berarti Anda akan selamanya negatif [COVID-19]. Bisa saja Anda tertular dalam perjalanan," katanya dalam jumpa pers.
Menteri Kesehatan Indonesia mengatakan kelompok Iftar dan tarawih telah membentuk klaster virus corona selama bulan Ramadan.
ABC telah menghubungi Menteri Kesehatan untuk meminta komentar.
"Menurut saya negara kita belum belajar dari tahun lalu," kata Dr Irma.
"Tidak ada kebijakan tegas yang melarang perpindahan orang dari satu tempat ke yang lain. Tidak ada sanksi sama sekali."
Diproduksi oleh Natasya Salim dari artikel
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sungguh Songong, Partai Komunis Tiongkok Ejek Kremasi Massal Korban COVID-19 di India