Pihak berwenang di bidang kesehatan di seluruh dunia terus melakukan penyelidikan mengenai kematian anak-anak karena hepatitis, dengan korban sekarang mencapai 450 orang.

Hepatitis adalah gejala pembengkakan hati yang disebabkan oleh infeksi virus dan jarang menyerang anak-anak yang sehat.

BACA JUGA: Australia Tidak Akan Mengirim Duta Besar ke Myanmar Karena Menolak Legitimasi Pemerintahan Junta Militer

Kasus kematian anak-anak karena hepatitis ini mulai menarik perhatian dunia ketika pihak kesehatan di Inggris melaporkan adanya tambahan kasus berkenaan pembengkakan hati di mana sebab yang biasanya yaitu virus hepatitis A, B, C, D dan E tidak ditemukan.

Menurut pakar masalah penyakit dalam di Melbourne Winita Hardikar, walau bukan hal yang aneh, kasus seperti ini jarang ditemukan sebelumnya.

BACA JUGA: Banyak yang Menolak Lupa, Presiden Filipina Disambut Demo di Australia

"Kita mungkin akan menemukan sekitar lima sampai enam kasus hepatitis non A-E virus pada anak-anak setiap tahunnya dengan satu atau dua di antara mereka memerlukan cangkok hati," kata Professor Hardikar yang bekerja di Royal Children's Hospital di Melbourne.

Biasanya anak-anak akan sembuh dari hepatitis, namun parahnya kasus-kasus terbaru yang terjadi pada anak-anak di bawah lima tahun mengkhawatirkan pakar.

BACA JUGA: Puan Soroti Soal Hepatitis Akut dan Pembahasan Kebijakan Ekonomi

Kebanyakan anak-anak melaporkan gejala seperti sakit perut, diare dan muntah-muntah, sebelum timbul gejala jaundis, di mana kulit dan bagian mata yang berwarna putih menjadi kuning.

Dalam sekitar 10 persen kasus, anak-anak tersebut memerlukan cangkok hati, dan menurut Pusat Pencegahan dan Pengawasan Penyakit Eropa, 11 anak-anak sudah meninggal.

Kasus-kasus ini dilaporkan sudah muncul di lebih dari 20 negara termasuk Amerika Serikat, Israel, Indonesia dan Jepang.

"Kita belum menemukan adanya kasus di Australia, tentu saja kami mengetahui hal ini dan sudah bersiap-siap," kata Profesor Hardikar. Apa yang menyebabkan hepatitis misterius ini?

Setelah pihak berwenang gagal menemukan bukti bahwa virus hepatitis yang biasanya yang menyebabkan pembengkakan hati, mereka mulai mencari sebab dari lingkungan atau hal lain yang menyebabkan wabah tersebut.

Sejauh ini menurut pakar masalah virus Ian Mackay, sebabnya belum ditemukan, terutama karena penelitian masih berada di tahap awal.

"Saat ini dugaan utama adalah sesuatu yang bisa menularkan," kata Dr Mackay dari University of Queensland. 

"Hal yang paling sulit adalah tidak adanya hubungan epidemiologi antar kasus ini, karena yang terkena tidak berada di tempat yang sama, misalnya dari satu keluarga atau di sekolah yang sama.

"Mereka menemukan virus atau bakteri tertentu, yang ada di setiap anak-anak yang terkena itu."

Namun pihak berwenang di Inggris sudah berhasil mengidentifikasi dan mulai memfokuskan diri pada beberapa hal.

"Dugaan utama ini ada hubungannya dengan adenovirus," tulis mereka dalam penjelasan kesehatan terbaru.

"Namun kami masih terus menyelidiki kemungkinan peranan virus COVID dan mencoba melihat apakah adanya komponen racun di dalamnya." Apa itu adenovirus dan mengapa jadi penyebab?

Adenovirus merujuk pada keluarga besar virus umum yang biasanya menyebabkan gejala seperti flu, demam, sakit perut dan gangguan pada mata.

Virus ini sekarang dianggap sebagai penyebab utama, paling tidak di Inggris, karena 72 persen dari anak-anak yang terkena wabah hepatitis tersebut positif mengidap adenovirus.

Para peneliti Inggris menduga bahwa sebagian anak-anak menjadi rentan terkena infeksi adenovirus selama pandemi COVID, karena dengan adanya 'lockdown', anak-anak itu tidak banyak terekspos pada virus.

Mereka mengatakan "adanya gelombang besar adenovirus yang jarang terjadi" telah menimbulkan "komplikasi yang jarang terjadi sebelumnya".

Tetapi beberapa pakar termasuk Dr Mackay mengatakan menetapkan adenovirus sebagai sebab mungkin sama sekali tidak benar.

"Kebanyakan menduga ini karena adenovirus hanya karena banyaknya sampel positif adenovirus, namun mungkin itu tidak tepat karena adenovirus adalah virus yang memang banyak beredar," kata Dr Mackay.

"Harus diingat bahwa banyak virus yang beredar bahkan selama 'lockdown'."

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penetapan adenovirus sebagai sebab tidak bisa menjelaskan "parahnya gejala klinis pada kasus yang ada".

Analisa lebih lanjut dari setiap kasus menemukan bahwa mereka semua mengidap adenovirus subtipe 41, yang sering menimbulkan gejala seperti diare, muntah-muntah, dan sakit perut, namun tidak menimbulkan kerusakan hati yang parah.

Menurut Professor Hardikar, adenovirus bisa menyebabkan gejala parah pada pasien yang mengalami masalah kekebalan tubuh, namun tidak banyak dikaitkan dengan anak-anak yang sehat.

"Adenovirus tidak pernah dikaitkan sebagai penyebab gagalnya fungsi hati yang parah sehingga susah mencari kaitannya," katanya.

"Kecuali adanya virus yang betul-betul mematikan, besar kemungkinan adanya faktor tambahan seperti respon tubuh yang buruk atau hal lain." Peneliti mencoba melihat kemungkinan lain termasuk COVID-19

Teori lain yang juga sedang dibahas menurut Professor Hardikar adalah adanya faktor tambahan seperti apakah anak-anak tersebut infeksi virus lain termasuk COVID-19, sehingga membuat mereka mengalami gejala lebih parah.

Sejauh ini hanya ada sedikit kasus di mana anak-anak yang terkena hepatitis tersebut juga positif COVID-19. 

Namun pengetesan lebih lanjut dilakukan untuk melihat seberapa besar antibodi yang dimiliki anak-anak karena COVID dan apakah mereka pernah positif di masa lalu.

Kemungkinan lainnya adalah wabah ini disebabkan oleh virus yang sama sekali baru, atau versi adenovirus yang bermutasi yang belum pernah diketahui sebelumnya.

Tetapi Dr Mackay mengatakan rendahnya kandungan virus dari sampel yang sudah ada membuat para peneliti belum berhasil melakukan pemetaan keseluruhan virus tersebut.

"Sejauh ini dan mungkin karena analisisnya belum selesai, tidak ada pertanda bahwa ini adalah virus adenovirus yang baru," katanya.

"Namun karena kita belum mendapat data lengkap, kita belum sepenuhnya yakin juga."

Yang sudah jelas adalah tidak ada bukti yang menghubungkan kasus hepatitis ini dengan vaksin COVID-19.

"Mayoritas kasus adalah balita, dan mereka terlalu muda untuk mendapatkan vaksin," kata para peneliti. Akankah wabah ini terjadi di Australia?

Melihat kasus ini sudah terjadi di berbagai negara, Dr Mackay memperkirakan kasus ini nanti akan juga ditemukan di Australia.

"Ini sudah terjadi di lebih dari 20 negara, jadi saya akan heran kalau nanti tidak terjadi di sini."

Namun Professor Hardikar menekankan bahwa kasus ini masih termasuk jarang, bahkan di negeri seperti Inggris, dan dokter spesialis sudah berpengalaman menangani kasus hepatitis aneh yang terjadi pada anak-anak.

"Kita sudah mengetahui, namun belum menemukan kasus ini dan sejak tahun lalu, kita belum pernah melakukan pencangkokan hati pada anak-anak," katanya.

Menurut para pakar penting sekali bagi para orang tua untuk mengetahui tanda-tanda hepatitis - terutama jaundis (kulit menjadi kuning), warna air kencing yang hitam, muntah-muntah dan rasa pusing.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pekerja Asing Dipersulit Mendapatkan Upah Mereka yang tak Dibayarkan di Australia

Berita Terkait