jpnn.com, JAKARTA - Pengamat dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan sesuai aturan Kapolri seorang Personel Polri yang berpangkat tamtama tidak dilengkapi senjata laras pendek.
Dia menyebutkan seorang tamtama hanya dilengkapi senjata laras panjang jika dinas lapangan atau saat jaga kesatrian.
BACA JUGA: Insiden Penembakan Shinzo Abe, Facebook dan Twitter Ambil Langkah Tegas
Hal tersebut disampaikan Khairul Fahmi merespons kasus penembakan Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat yang tewas akibat aksi koboy di kamar rumah dinas Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo, pada Jumat (8/7).
"Bila mencermati pernyataan Karopenmas, Senin malam bahwa pelaku adalah tamtama berpangkat Bhayangkara dua tentunya tidak diperbolehkan membawa senjata laras pendek, makanya perlu disampaikan ke publik apa senjata pelaku, darimana asal senjata dan lain-lain," kata Khairul Fahmi saat dihubungi wartawan, Selasa (11/7).
BACA JUGA: Penembakan Shinzo Abe Bikin Jepang Terguncang, Komentar Netizen Penuh Keputusasaan
Dia mendesak Mabes Polri dapat mengusut secara transparan penggunan senjata api dalam kasus penembakan ajudan Kadiv Propam Ferdy Sambo yakni Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat hingga tewas oleh sesama anggota Polri.
"Pengungkapan kasus ini harus dilakukan dengan transparan. Termasuk juga dengan pemeriksaan senjata api pelaku maupun korban. Mulai jenis maupun izin penggunaan bagi anggota Polri," lanjutnya.
BACA JUGA: Pemerintah Jepang Mengutuk Aksi Penembakan Shinzo Abe
Khairul Fahmi menyebutkan jika permintaan tersebut lantaran merunut penjelasan dari Karopenmas Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan pelaku penembakan hanya menjabat Bhayangkara Dua (Bharada).
Dia menduga bila bukan senjata laras pendek artinya pelaku penembakan Brigpol Nopryansah Yosua Hutabarat bisa jadi menggunakan senjata laras panjang yang merupakan senjata organik pasukan.
"Makanya patut dipertanyakan sebagai apa pelaku di rumah dinas Kadivpropam? Kalau pun sebagai unsur pengamanan, juga layak dipertanyakan bagaimana pelaku bisa menjadi petugas yang berjaga sendirian," jelasnya.
Dia berharap agar kejadian saling tembak antar polisi di rumah dinas Kadiv Propam ini dapat diusut dengan tuntas, termasuk dari TKP, kronologi, hasil otopsi sampai motif pelaku.
"Tak menutup kemungkinan membuka rekaman CCTV di rumdin. Ini harus dijelaskan kepada publik secara terbuka agar tidak memunculkan rumor-rumor yang tak terkendali," pungkasnya.
Sebelumnya, Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengungkap detik-detik penembakan yang dilakukan Bharada E terhadap Brigadir J atau Nopryansah Yosua Hutabarat di kediaman Irjen Ferdy Sambo pada Jumat (8/7).
Dia menyebut penembakan berawal dari tindakan tercela Brigadir J yang memasuki kamar pribadi Irjen Ferdy Sambo selaku Kadiv Propam Polri.
"Ketika itu, istri Irjen Ferdy Sambo sedang istirahat (di kamar)," kata Ramadhan kepada wartawan, Senin (11/7)
Brigadir J kemudian melakukan pelecehan terhadap istri seorang jenderal polisi bintang dua tersebut.
"Lalu, Brigadir J menodongkan pistol ke kepala istri kadiv propam," kata Ramadhan.
Atas insiden itu, istri Irjen Ferdy Sambo langsung berteriak untuk minta tolong.
"Sontak ketika itu istri kadiv propam berteriak dan meminta tolong. Akibat teriakan tersebut, Brigadir J panik dan keluar dari kamar," kata Ramadhan.
Kemudian, Bharada E yang ada di rumah tersebut langsung mendatangi ke kamar dan bertemu dengan Brigadir J.
Saat itu, Bharada E menanyakan ke Brigadir J terkait apa yang sebenarnya terjadi. Bukannya menjawab, Brigadir J malah menembak Bharada E.
"Akibat tembakan itu, terjadilah saling tembak dan menyebabkan Brigadir J meninggal dunia," kata mantan Kapolres Palu tersebut.(mcr8/jpnn)
Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Kenny Kurnia Putra