JAKARTA--Kasus penyerangan Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman, diduga oleh beberapa pihak tidak hanya terkait dengan dendam pribadi semata. Ada dugaan lain yang mengarah kepada jaringan Narkoba di Sleman. Karenanya, aparat diminta lebih serius dalam menanganinya.
Dugaan tersebut terungkap dalam pernyataan sikap sejumlah pengamat dan akademisi yang tergabung dalam Koalisi Tokoh dan Masyarakat Sipil dalam sebuah diskusi publik kemarin. Salah seorang akademisi, Thamrin Amal Tomagola mengungkapkan jika pihaknya mendapat temuan indikasi soal hubungan kasus tersebut dengan peredaran narkoba.
Dia mengatakan, ada indikasi jika motif penyerangan itu salah satunya disebabkan kasus peredaran narkotika di kafe-kafe di Sleman. "Ada petunjuk, satu dari empat orang yang tewas itu tahu banyak soal peredaran narkoba di sana," ungkapnya. Tertangkapnya orang tersebut oleh Polres Sleman menimbulkan kekhawatiran pihak tertentu.
Bisa pihak pengedar narkoba atau pihak yang melindungi jaringan narkoba tersebut. Namun, siapa identitas korban yang tahu banyak itu, Thamrin menolak mengungkapkan. Begitu pula saat ditanya apakah korban yang dimaksud adalah sang desertir polisi. "Itu nanti saja setelah semuanya jelas. (LSM) Kontras dan Imparsial sudah diturunkan untuk mencari fakta," lanjut Sosiolog Universitas Indonesia itu.
Karena itu, dia meminta pemerintah juga mengusut dugaan tersebut. Presiden, lanjut Thamrin, sebaiknya membentuk satu tim investigasi menggunakan Keppres seperti yang pernah diterapkan saat pengusutan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.
Pihaknya juga akan membentuk satu tim pencari fakta. Tujuannya agar tidak terjadi monopoli informasi oleh pemerintah. Thamrin menambahkan, pihaknya akan menunggu langkah Presiden hingga enam bulan ke depan. "Jika tidak ada tindakan, kami akan pergi ke Jenewa, Swiss, untuk melapor ke (Komisi HAM) PBB," tambahnya.
Sementara itu, pengamat politik dan militer Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, hingga saat ini memang belum bisa diduga siapa pelaku penyerbuan lapas tersebut. Dari jenis senjatanya saja, sudah sangat samar. Senjata yang digunakan oleh para penyerang itu merupakan senjata non organik. Artinya, bisa saja para penyerang mendapatkannya di pasar gelap.
"Kalau misalnya teridentifikasi itu senjata organik TNI yang tidak ada di pasaran, akan jauh lebih mudah menduga jika mereka berasal dari salah satu kesatuan di TNI," terangnya. Karena itu, pemerintah tidak bisa bermain-main dengan kasus ini. Jika dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan kelompok ini bisa melakukan hal yang lebih berbahaya.
Jika mereka benar berasal dari bagian TNI atau polri, akan sangat berbahaya karena mereka tidak bisa dikendalikan oleh para komandannya. Indonesia akan berpotensi terjadi perang saudara seperti tahun 1950, di mana komandan di lapangan sudah tidak mau tunduk dengan komando Jakarta.
Bukan tidak mungkin suatu saat mereka mengadakan operasi rahasia di Istana Negara. Masyarakat tentu tidak akan tahu, karena mereka aparat. "Kalau terjadi penembakan terhadap Presiden atau Wapres bagaimana?" lanjutnya. Karena itu, pengendalian anggota Polri dan TNI juga mendesak dilakukan pascakejadian tersebut. (byu)
Dugaan tersebut terungkap dalam pernyataan sikap sejumlah pengamat dan akademisi yang tergabung dalam Koalisi Tokoh dan Masyarakat Sipil dalam sebuah diskusi publik kemarin. Salah seorang akademisi, Thamrin Amal Tomagola mengungkapkan jika pihaknya mendapat temuan indikasi soal hubungan kasus tersebut dengan peredaran narkoba.
Dia mengatakan, ada indikasi jika motif penyerangan itu salah satunya disebabkan kasus peredaran narkotika di kafe-kafe di Sleman. "Ada petunjuk, satu dari empat orang yang tewas itu tahu banyak soal peredaran narkoba di sana," ungkapnya. Tertangkapnya orang tersebut oleh Polres Sleman menimbulkan kekhawatiran pihak tertentu.
Bisa pihak pengedar narkoba atau pihak yang melindungi jaringan narkoba tersebut. Namun, siapa identitas korban yang tahu banyak itu, Thamrin menolak mengungkapkan. Begitu pula saat ditanya apakah korban yang dimaksud adalah sang desertir polisi. "Itu nanti saja setelah semuanya jelas. (LSM) Kontras dan Imparsial sudah diturunkan untuk mencari fakta," lanjut Sosiolog Universitas Indonesia itu.
Karena itu, dia meminta pemerintah juga mengusut dugaan tersebut. Presiden, lanjut Thamrin, sebaiknya membentuk satu tim investigasi menggunakan Keppres seperti yang pernah diterapkan saat pengusutan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.
Pihaknya juga akan membentuk satu tim pencari fakta. Tujuannya agar tidak terjadi monopoli informasi oleh pemerintah. Thamrin menambahkan, pihaknya akan menunggu langkah Presiden hingga enam bulan ke depan. "Jika tidak ada tindakan, kami akan pergi ke Jenewa, Swiss, untuk melapor ke (Komisi HAM) PBB," tambahnya.
Sementara itu, pengamat politik dan militer Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, hingga saat ini memang belum bisa diduga siapa pelaku penyerbuan lapas tersebut. Dari jenis senjatanya saja, sudah sangat samar. Senjata yang digunakan oleh para penyerang itu merupakan senjata non organik. Artinya, bisa saja para penyerang mendapatkannya di pasar gelap.
"Kalau misalnya teridentifikasi itu senjata organik TNI yang tidak ada di pasaran, akan jauh lebih mudah menduga jika mereka berasal dari salah satu kesatuan di TNI," terangnya. Karena itu, pemerintah tidak bisa bermain-main dengan kasus ini. Jika dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan kelompok ini bisa melakukan hal yang lebih berbahaya.
Jika mereka benar berasal dari bagian TNI atau polri, akan sangat berbahaya karena mereka tidak bisa dikendalikan oleh para komandannya. Indonesia akan berpotensi terjadi perang saudara seperti tahun 1950, di mana komandan di lapangan sudah tidak mau tunduk dengan komando Jakarta.
Bukan tidak mungkin suatu saat mereka mengadakan operasi rahasia di Istana Negara. Masyarakat tentu tidak akan tahu, karena mereka aparat. "Kalau terjadi penembakan terhadap Presiden atau Wapres bagaimana?" lanjutnya. Karena itu, pengendalian anggota Polri dan TNI juga mendesak dilakukan pascakejadian tersebut. (byu)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kahar Bantah Terima Suap Anggaran PON
Redaktur : Tim Redaksi