Kaum Lesbi di Bogor Capai 4000-an Perempuan

Senin, 15 Juli 2013 – 06:21 WIB
Sejatinya mereka minoritas. Tapi karena tak terpantau, jumlah mereka terus memamahbiak. Meski berjari lentik, tak sedikit dari mereka berpenampilan maskulin. Kaum lesbi di Bogor terus berkembang. Bagaimana keberadaan mereka sekarang?

------------------------------

Langit masih terang. Hembusan angin membelai rambut remaja putri berpenampilan maskulin itu yang tengah nongkrong di foodcourt sebuah mall di Bogor. Tangan kanannya menjepit sebatang rokok mild. Sedangkan tangan kiri memegang lembut jemari teman sebayanya yang berpenampilan lebih feminim.

Pemandangan itu mudah dijumpai di balkon sebuah pusat perbelanjaan di Jalan Juanda itu. Tak mau kalah dengan pasangan berbeda jenis, kini eksistensi pasangan wanita sesama jenis atau disebut lesbi semakin eksis di muka umum.

Secara kasat mata, populasi mereka tampak bertambah. Komunitas atau pasangan lesbi mudah dijumpai di sejumlah tempat nongkrong kawula muda, seperti di minimarket 24 jam, beer house, atau tempat hiburan malam di kawasan Sukasari.

Pelbagai penelitian di dunia menyebutkan, 2 – 3 persen dari populasi penduduk bumi ternyata homoseksual atau pernah berhubungan sesama jenis, itu termasuk lesbi dan gay. Artinya, populasi lesbi paling tidak 1 persen atau satu dari seratus wanita diasumsikan penyuka sesama jenis.

Bila merujuk pada perbandingan tersebut, maka 1 persen kaum hawa dari 421.587 penduduk Kota Bogor berjenis kelamin wanita diduga memiliki orientasi seksual menyimpang atau disebut "belok". Artinya, populasi lesbi di Kota Hujan diperkirakan sedikitnya empat ribu wanita.

Yang menarik, meski sama-sama belok, perempuan lesbi punya sebutan sendiri di antara kaumnya. Setidaknya ada tiga sebutan atau kelamin, yakni buci, fem, dan andro. “Yang dilihat lebih maskulin itu, disebut buci. Yang lebih feminim, pasangannya buci, disebut fem. Kalau andro lebih abu-abu, bisa dibilang punya sifat seperti keduanya,” kata salah seorang pelaku lesbi berinisial Y.

Gadis belasan tahun itu masih duduk di bangku kuliah. Ia menjalani studi diploma III (D3) di sebuah perguruan tinggi di Kota Bogor. Dari penampilan maskulinnya, Y tampak sebagai seorang buci tulen. “Aku enggak suka dibilang belok. Ini berjalan apa adanya, enggak dibelok-belokin,” ucapnya.

Ia mengaku memiliki hubungan sesama jenis atas dasar suka sama suka. Tidak dibuat-buat dan tidak dipaksakan. “Aku tidak terbuka di depan teman-teman, sebab aku masih kuliah, punya masa depan, dan menjaga perasaan orangtua,” ujar Y, tersenyum.

Mahasiswi semester akhir itu mungkin satu dari sedikit kaum lesbi yang disebabkan karena genetik. Penelitian Asosiasi Psikiater Amerika menyebutkan, faktor genetik hanya berkontribusi sebesar 3 – 5 persen. Sebagian besar dari lingkungan atau pergaulan.

“Selain genetik tadi, ada karena faktor kejiwaan, ada pula karena faktor ekonomi. Lingkungan memang cukup dominan, sehingga peran keluarga sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi pengaruh itu,” kata pakar seksolog, dr Bona Simaningkalit.

Bagi awam, lesbi memang tampak menular. Pengaruh negatif dari lingkungan di luar rumah bisa menggering seorang remaja putri yang tengah labil untuk memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis.

Yang menarik, kini berkembang faktor ekonomi. Tak jarang buci belia, menumpang hidup pada pasangannya. “Seolah-olah menjaga, ternyata memanfaatkan. Ada juga, fem yang terlibat prostitusi,” ujar seorang mucikari khusus ABG, V.

V mengatakan, sebagian besar pasangan lesbi atas dasar ekonomi tak bertahan lama hubungan percintaan mereka. “Sesama cewek memang terlihat lebih care daripada cowok. Tapi, saat merasa dimanfaatkan, fem bisa berontak, sampai akhirnya putus,” tandasnya.

Fenomena lesbi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan urban. Bogor sebagai daerah penyangga ibukota ikut larut dalam gaya hidup motropolis yang tak melulu positif. (cr17/d)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kulit Berkaitan dengan Psikologis

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler