Keadilan dalam Kepastian Hukum dan Kepastian Hukum dalam Keadilan

*Oleh : Yusril Ihza Mahendra

Sabtu, 08 Maret 2014 – 19:39 WIB

jpnn.com - SAYA ingin meluruskan berbagai kesalahapahaman atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Peninjauan Kembali (PK) lebih sekali yang dimohon oleh Antasari Azhar. Yang dimohon oleh Antasari untuk diuji terhadap UUD 1945 adalah norma pasal 268 ayat 3 KUHAP yang mengatur bahwa PK hanya boleh dilakukan sekali saja.

Namun, Antasari tidak menguji pasal-pasal yang substansinya sama yang juga diatur dalam UU lain seperti UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung. Jadi, ruang lingkup permohonan Antasari adalah spesifik hukum acara pidana saja sebagai hukum formil untuk menegakkan hukum pidana materil.

Keterangan sebagai ahli yang saya sampaikan dalam sidang MK pun tegas mengatakan demikian, bahwa permohonan uji terhadap PK itu spesifik hanya untuk pidana. Jadi, ketika permohonan Antasari dikabulkan maka yang boleh PK lebih sekali hanya dalam perkara pidana saja. Untuk perkara lain seperti perkara perdata, tata usaha negara dan lain-lain, PK tetap hanya boleh dilakukan satu kali saja.

Dan yang patut dicatat, yang berhak mengajukan PK hanyalah terpidana, keluarga dan penasehat hukumnya. PK dapat diajukan jika ada novum atau bukti baru yang ditemukan kemudian setelah perkara diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Asumsinya, jika sekiranya alat bukti tersebut diungkapkan di persidangan sebelumnya, maka kemungkinan terdakwa akan dibebaskan dari dakwaan.

Selain novum, alasan PK juga didasarkan atas adanya kekhilafan hakim yang nyata dalam memutus perkara pidana tersebut. Atau adanya pertentangan putusan terhadap perkara tersebut dengan perkara yang sama, yang sebelumnya telah diputus inkracht oleh pengadilan.

Jaksa penuntut umum (JPU) juga tidak berhak mengajukan PK. Sebab, filosofi adanya PK adalah untuk melindungi kepentingan terpidana dari ketidakadilan. Namun demikian Jaksa Agung berhak mengajukan PK yang dinamakan "PK demi hukum". Kewenangan ini hanya ada pada Jaksa Agung dan bukan pada jaksa biasa.

PK demi hukum itu hanya boleh digunakan Jaksa Agung semata-mata untuk kepentingan keadilan bagi terpidana. Misalnya, Jaksa Agung menemukan novum bahwa terpidana bukanlah pelaku kejahatan, tapi orang lain, sementara terpidana sudah dihukum. Dalam keadaan demikian, Jaksa Agung dapat berinisiatif mengajukan PK untuk membebaskan terpidana yang salah dakwa tersebut.

Namun, Jaksa Agung tidak boleh mengajukan PK demi hukum dengan tujuan untuk memperberat hukuman orang yang sudah dipidana. Jaksa Agung juga tidak boleh mengajukan PK untuk menghukum terdakwa yang dibebaskan oleh pengadilan karena dakwaan tidak terbukti dan sudah inkracht.

Apa yang saya katakan di atas dulu sering dilanggar oleh Kejaksaan Agung, lebih-lebih oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji. Jaksa Agung Basrief sekarang ini tegas, sudah tidak mau mengajukan PK karena menyadari hal tersebut adalah salah dan bertentangan dengan UU.

Persoalan PK boleh lebih sekali kini banyak diperdebatkan dari sudut pandang keadilan dan kepastian hukum. Keadilan dan kepastian hukum adalah dua hal yang sejak lama diperdebatkan dalam filsafat hukum. Dalam filsafat hukum di dunia Barat, keadilan dan kepastian hukum sering dianggap dua hal yang bertentangan. “Hukum adil tapi tidak punya kepastian;  hukum pasti tapi tidak mengandung keadilan”. Memang merepotkan.

Di MK, saya mengutip pandangan ahli filsafat hukum Islam, Imam Asy-Syatibi yang berpendapat bahwa landasan dan tujuan syariah atau hukum adalah keadilan. Bukan hukum namanya kalau tidak adil. Sementara norma dan putusan hukum juga wajib bersifat qat'i atau mengandung kepastian.

Maka, tugas dari ahli filsafat hukum adalah mempertemukan keadilan dan kepastian hukum itu sehingga dalam keadilan ada kepastian hukum, dan di dalam kepastian hukum ada keadilan.

Itulah inti argumentasi dalam Keterangan Ahli saya di hadapan MK ketika Antasari mengajukan uji ketentuan PK hanya sekali dalam pasa 268 KUHAP. Dalam kasus Antasari, saya katakan bahwa kepastian hukum sudah ada. Putusan Antasari sudah inkracht di tingkat kasasi.

Bahkan PK yang diajukan Antasari juga sudah ditolak oleh MA. Tak seorangpun yang mengingkari fakta bahwa Antasari kini seorang narapidana yang sedang menjalani hukuman penjara 18 tahun di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tangerang. Tak ada yang mengingkari fakta tersebut, termasuk Antasari sendiri. Artinya telah ada kepastian hukum bagi Antasari.

Namun jika saya bertanya sudahkah Antasari mendapatkan keadilan dengan kasus yang didakwakan padanya dan hukuman yang telah diterimanya? Saya berpendapat keadilan itu belum didapatkannya. Antasari masih meronta-ronta menuntut keadilan. Banyak orang sependapat dengan Antasari

Di MK, saya bertanya kepada Majelis Hakim MK dengan mengutip argumen MK dalam putusan mereka sendiri. Putusan MK itu terkait dengan putusan yang batal demi hukum sebagaimana diatur di dalam pasa 197 KUHAP yang dimohon oleh Parlin Riduansyah. MK menolak permohonan Parlin dengan mengemukakan Teori Keadilan Substansial dan Keadilan Prosedural.

Kalau secara subastansi/materil sudah terbukti, maka keadilan prosedural tak boleh menghalangi keadilan substansial tersebut. Maka, meskipun putusan hakim tidak memenuhi syarat formil pemidanaan dan putusan menjadi batal demi hukum, terdakwa tetap harus dieksekusi.

Atas dasar pendapat MK itu saya tanya, “Andai besok ada orang lain yang terbukti menjadi pembunuh Nasruddin Zulkarnain, dan ternyata itu bukan Antasari, apakah MK akan membiarkan mantan Ketua KPK itu terus mendekam di penjara karena tidak ada jalan untuk membebaskannya karena PK hanya boleh satu kali?”

Bahwa orang lain yang membunuh Nasruddin tetapi Antasari yang dihukum adalah persoalan keadilan materil atau keadilan substantif seperti kata MK sendiri. Sementara PK hanya boleh sekali adalah persoalan keadilan prosudural, yang juga seperti dikatakan MK sendiri.

Jadi kalau MK menolak PK lebih sekali dalam kasus Antasari, apakah MK telah berbalik arah mengedepankan keadilan prosedural dan mengabaikan keadilan substansial? Saya katakan, saya hanya ingin bertanya konsistensi sikap MK terhadap masalah ini.

Pada akhirnya saya berpendapat, seperti Imam Asy-Syatibi, “keadilan dan kepastian hukum haruslah dipertemukan, bukan dibiarkan jalan sendiri-sendiri”. Kepastian hukum yang tidak adil dalam kasus Antasari harus dihentikan ketika keadilan ditemukan.

Lebih jauh, banyak yang berkomentar PK lebih sekali adalah akal-akalan terpidana untuk menunda eksekusi, sehingga tidak ada kepastian hukum. Hal itu tidak mungkin karena PK sama sekali tidak dapat menghambat atau menghalangi eksekusi pidana. Kalau ada terpidana yang ajukan PK dan dengan itu dia tidak tidak dieksekusi, ini jelas permainan para jaksa selaku eksekutor.

Saya sependapat dengan MA bahwa ketika mengajukan PK, terpidana harus hadir di persidangan. Statusnya ketika itu adalah narapidana. Dalam hal pidana denda, kalau terpidana mengajukan PK, dendanya harus dibayar lebih dahulu.

Ketika saya tangani PK Agusrin Najamuddin, eksekusi memang belum dilaksanakan. Saya buat kesepakatan dengan jaksa, Agusrin saya hadirkan ke sidang PK di PN Jakarta Pusat. Selesai sidang PK dia saya antarkan ke LP CIpinang untuk jalani eksekusi. Jaksa eksekutor telah menunggu di LP Cipinang dan Agusrin saya serahkan kepada jaksa yang segera menaandatangani berita acara eksekusi.

Begitu juga ketika saya tangani PK tepidana Johannes di Pengadilan Negeri (PN) Pangkalpinang, Bangka. Johanes saya hadirkan ke sidang. Saya meminta izin Kalapas Pangkal Pinang untuk keluarkan Johanes dari LP untuk hadir di sidang PK dengan pengawalan petugas LP. Setelah sidang, Johanes kembali ke LP Pangkalpinang. Jadi PK memang baru dapat dilakukan dengan dihadiri oleh terpidana.(***)

*Penulis adalah Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Indonesia, Menteri Hukum dan Perundang-undangan Kabinet Gotong Royong


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler