Kecewa Sama CLS, Dimaz Muharri Bikin Surat Terbuka

Sabtu, 10 Juli 2021 – 19:55 WIB
Dimaz Muhari saat bermain di IBL untuk tim Louvre Surabaya/ IBL Indonesia

jpnn.com, JAKARTA - Dimaz Muharri merasa kecewa dengan klub yang telah membesarkan namanya CLS Knight Surabaya.

Pada Sabtu (10/7) WIB, mantan garda utama tim kebanggaan Kota Surabaya itu membuat surat terbuka kepada seluruh penggemar bola basket tanah air.

BACA JUGA: Tinggalkan Basket Profesional, Hati Dimaz Muharri Tetap Bersama CLS Knights

Dalam suratnya, Dimaz mengungkapkan rasa kecewa karena beberapa hari sejak mengundurkan diri dari klub CLS dirinya diminta membayar uang ratusan juta rupiah.

Permasalahan bermula saat Dimaz Muharri memutuskan untuk pensiun dari dunia basket pada 2014-2015.

BACA JUGA: Dimaz Pertajam Rekor, CLS Ungguli Garuda

Saat itu Dimaz yang masih memiliki kontrak dengan CLS memilih pensiun karena sang istri mengalami keguguran dua kali.

Mantan pemain Mikroskil Medan ini kemudian dipersilakan pihak klub apabila memilih untuk pensiun.

BACA JUGA: Timnas Bola Basket Indonesia Ajukan 3 Nama Sebagai Pemain Naturalisasi Baru

Namun, beberapa hari sejak mengundurkan diri dari dunia basket, Dimaz mengaku diminta membayar uang ganti rugi ratusan juta rupiah oleh CLS.

Uang ganti rugi ini merupakan gaji yang sudah dibayarkan pihak klub dan uang kontrak pada tahun pertama.

“Awalnya CLS tampak merestui keputusan saya. Namun, selang beberapa hari sejak saya mengutarakan pengunduran diri, saya diminta untuk membayar uang senilai ratusan juta Rupiah. Yang di dalamnya termasuk pengembalian gaji yang sudah saya terima dan juga uang kontrak tahun pertama,” tulis Dimaz dalam surat yang juga diterima JPNN.com.

Pihak CLS menginginkan uang tersebut segera dibayarkan secepatnya. Apabila mengalami terlambat Dimaz diwajibkan membayar bunga sebesar 5 % per bulannya.

Hal itu ternyata belum cukup, usai diminta mengembalikan uang gaji. Dirinya juga diminta tanda tangan surat perjanjian tidak bermain di klub basket profesional sampai dengan tahun 2017.

Jika terbukti melanggar perjanjian, Dimaz terpaksa harus membayar sebesar Rp 393,6 juta.

Dua tahun berselang, pada tahun 2019 atau dua tahun dari surat perjanjian, Dimaz Muharri kemudian memilih bermain kembali dengan bergabung bersama Louvre Surabaya.

CLS yang mengetahui kemudian malah menggugat Dimaz ke Pengadilan Negeri Surabaya.

Dimaz yang menyadari bahwa dirinya merasa diperdaya karena dalam surat perjanjian tak ada batasan tahun.

“Di masa pandemi yang sulit ini, CLS Knights kembali beraksi. Mereka menuntut saya membayar sebesar Rp 393.600.000 karena saya bermain basket kembali untuk Louvre di 2020, tahun yang sudah lewat dari kontrak terakhir kami. Kemudian baru saya sadar bahwa dalam surat tersebut tidak dituliskannya batasan tahun sama sekali,” tambah Dimaz.

Dalam surat terbuka yang dibuatnya, Dimaz Muharri mengaku sangat kecewa dengan manajemen CLS Knight Surabaya.

Hingga saat ini, kubu CLS Knight Surabaya belum memberikan keterangan terkait masalah dengan Dimaz Muharri. (mcr16/jpnn)

Surat Terbuka Dimaz Muharri 

Saya ingin tanya ke teman-teman, kalau ada pilihan karier dan keluarga, teman-teman pilih memprioritaskan mana? Saya, Dimaz Muharri, akan lantang menjawab: Keluarga. Inilah alasan saya dulu di 2015 mengundurkan diri sebagai pemain basket profesional Indonesia. Dengan sangat berat hati.

Bagaimana tidak berat hati. Olahraga yang saya cintai, yang mengizinkan saya tampil sebagai All-Star liga profesional hampir setiap tahun, yang sudah membuat saya mengenal dan dikenal banyak orang, harus saya tinggalkan. Sampai surat ini saya tulis, saya tidak pernah mengutarakan penyebab sesungguhnya ke publik. Tapi, saya rasa ini waktunya untuk bercerita.

Sebelum saya mengundurkan diri, istri tercinta saya Muma (Selvia Wetty) dua kali keguguran. CLS tahu betul situasi sulit keluarga kami ini. Dan dalam masa-masa dua kali kehamilannya itu, sering saya harus meninggalkan dia untuk bertanding basket di luar kota. Setelah pengalaman dua kali keguguran yang sangat memukul kami, saya merasa itulah saatnya saya harus fokus pada kesehatan Muma dan memikirkan keluarga kami. Karena itulah saya mengundurkan diri.

Awalnya CLS tampak merestui keputusan saya. Namun selang beberapa hari sejak saya mengutarakan pengunduran diri, saya diminta untuk membayar uang senilai ratusan juta Rupiah. Yang di dalamnya termasuk pengembalian gaji yang sudah saya terima (dimana ini adalah hak atas kewajiban yang sudah saya jalankan) dan juga uang kontrak tahun pertama. Saya tidak mau pusing, fokus saya adalah keluarga. Uang tersebut, walau jumlahnya tidak sedikit, saya bayar. Kontrak saya yang berlangsung di 2015-2017 pun seharusnya artinya tidak dilanjutkan karena semua nilai yang sudah diberikan kepada saya sudah dikembalikan. Pembayaran saya lakukan tepat sesuai tenggat waktu. Karena kalau tidak, CLS menyebut, setiap bulannya nilai uang itu akan berbunga 5 persen.

Namun ini tidak cukup. Setelah saya bayar semua, mereka juga minta saya tandatangani surat yang katanya bertujuan supaya saya tidak bermain di klub profesional lain. Kata pihak yang memberikan surat itu, kalau saya bergabung dengan klub profesional lain sampai 2017 (sesuai masa kontrak terakhir kami), maka saya harus membayar sebesar Rp 393.600.000. Surat ini juga saya tanda tangani karena saya memang tidak berniat main basket profesional dalam waktu dekat. Surat tersebut diberi nama sebagai Surat Pengakuan Utang. Namun, tidak ada sepeser pun uang yang mengalir ke saya dari jumlah yang disebutkan itu.

Pada 2019, dua tahun sudah berlalu dari 2017, tawaran untuk bermain basket profesional kembali datang ke saya, dari Louvre Surabaya. Saya yang rindu basket, dan kondisi keluarga yang membaik, membuat saya mengambil kesempatan ini. Walau kemudian Pandemi COVID-19 datang dan liga dihentikan pada Maret 2020. Saya memutuskan kembali berhenti bermain.

Di masa pandemi yang sulit ini, CLS Knights kembali beraksi. Mereka menuntut saya membayar sebesar Rp 393.600.000 karena saya bermain basket kembali untuk Louvre di 2020, tahun yang sudah lewat dari kontrak terakhir kami. Kemudian baru saya sadar bahwa dalam surat tersebut tidak dituliskannya batasan tahun sama sekali. Namun, bagaimana bisa kontrak kerja berlaku seumur hidup? Apakah kalau berkesepakatan dengan CLS Knights artinya mengikat hingga ujung usia? Dan yang makin menyedihkan, kalau saya tidak membayar uang tersebut, mereka menggugat supaya dapat menyita rumah saya di Surabaya dan rumah warisan almarhum Bapak saya di Binjai.

Saya menuliskan ini bukan hanya untuk menyampaikan kekecewaan yang mendalam atas klub yang sudah saya bela dan harumkan namanya bertahun-tahun. Tapi juga ingin menunjukkan betapa lemah posisi pemain basket profesional di negeri kita. Teman-teman bisa melihat betapa sering pemain tidak punya suara atas nasibnya. Bahkan, tidak ada badan khusus yang bertugas membantu membela kasus pemain basket seperti saya. Kini, kasus gugatan terhadap saya sedang berjalan di Pengadilan Negeri Surabaya.

Saya berharap kasus saya ini menjadi pelajaran untuk seluruh atlet dan calon atlet profesional Indonesia. Saya berharap kasus ini menjadi kasus terakhir seorang atlet profesional diperlakukan semena-mena. Untuk yang akan menandatangani kontrak, perhatikan betul apa hak dan kewajiban kalian. Hati-hati atas permainan kata dalam kontrak kerja atau surat lainnya. Maaf, tapi jangan hanya percaya pada kekeluargaan. Karena ujungnya bisa mengarah pada gugatan ajaib.

Sebelum saya menutup tulisan ini, saya ingin bercerita kembali tentang keluarga saya. Pada 2016, Muma kembali mengandung. Kemudian, di usia kandungan Muma yang ke tujuh bulan, kembali terjadi masalah. Yang saya syukuri, saya bisa ada di sisi Muma, mendampingi istri saya setiap hari selama masa mengandung, hingga akhirnya kami bisa bersama-sama memutuskan menjalankan kelahiran prematur. Pada 7 Mei 2017, lahir anak kami Naqasamy Akio Muharri. Kini, Alhamdulillah, Akio menjadi anak yang sehat. Usianya sudah empat tahun. Dan dia sudah bisa meniru gaya saya setelah membuat poin, hasil nonton dari YouTube.

Setiap Bapak dan Ibu (termasuk pihak-pihak di CLS Knights) pasti tahu betapa bahagianya menjadi orang tua. Maka kalau ada yang bertanya, apakah saya menyesal memilih meninggalkan basket pada 2015 untuk fokus kepada keluarga, jawaban saya masih lantang: Saya tidak menyesal.


Redaktur & Reporter : Muhammad Naufal

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler