Keindahan Kolam Susuk yang Memukau Koes Plus

Rabu, 10 April 2013 – 10:01 WIB
TAMBAK BESAR: Kolam Susuk di Kabupaten Belu, salah satu tempat wisata alternatif di NTT. FOTO: Doan Widhiandono/Jawa Pos
Nusa Tenggara Timur (NTT) akan punya perhelatan besar tahun ini. Bekerja sama dengan pemerintah pusat, NTT menggelar Sail Komodo 2013. Parade akbar kapal layar tersebut bakal menyinggahi tempat-tempat wisata alternatif di NTT yang mungkin sebelumnya tidak pernah didengar publik.

--------------------------------------------------------
DOAN WIDHIANDONO, Atambua
--------------------------------------------------
 
KEELOKAN alam Nusantara tergambar pas pada lagu Kolam Susu milik Koes Plus, grup legendaris yang asli Tuban, Jawa Timur. Tengok saja syairnya: Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai, tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman...
 
Dan, kolam susu yang digambarkan Koes Plus itu bukan sekadar frasa kosong pada lagu tersebut. Kolam susu itu benar-benar ada. Ia berada di Desa Junelu, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, NTT. Kolam susu yang nama aslinya adalah Kolam Susuk tersebut hanya berjarak sekitar setengah jam dari Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, yang berbatasan dengan Timor Leste.
 
Keelokan Kolam Susuk yang dalam bahasa lokal berarti sarang nyamuk itu sudah memikat hati anggota Koes Plus saat band tersebut mengunjungi Atambua pada 1971. Keindahannya terpatri pada lagu Kolam Susu tersebut. Meski begitu, sebagai tempat wisata, nama Kolam Susuk belum begitu didengar. Beruntung, Kolam Susuk akan menjadi salah satu jalur destinasi Sail Komodo 2013.
 
Sail Komodo adalah parade akbar kapal-kapal layar yang puncaknya berlangsung pada 27 Juli"7 September. Ratusan kapal layar, termasuk kapal perang, dari berbagai negara akan berangkat (flag off) dari Darwin, Australia. Mereka lantas singgah di Kupang dan disambut dengan acara kesenian yang sangat kolosal, melibatkan ribuan penari tradisional.
 
Dari ibu kota NTT itu, rombongan lantas dipecah dua. Kelompok A lewat "atas", berlayar melewati Atambua (Belu), Alor, Lembata, Larantuka (Flores Timur), Maumere (Sikka), Ende, Nagekeo, Ngada, hingga finis di Labuan Bajo (Manggarai Barat). Kelompok B lewat "bawah", yakni dari Rote Ndao, Pulau Sumba, Manggarai, dan berakhir di Labuan Bajo. Total, mereka melewati 21 kabupaten dan kota yang tersebar di seluruh penjuru NTT.
 
Tentu, rombongan itu tidak sekadar lewat. Sail Komodo 2013 yang di-launching di Jakarta pada Senin (8/4) oleh Menkokesra Agung Laksono itu ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat NTT, menekan tingkat kemiskinan, dan mengurangi angka pengangguran. Karena itu, rombongan Sail Komodo juga harus singgah dan menikmati sajian pariwisata dan budaya di NTT.
 
Situs Sail Komodo 2013 yang digarap secara apik oleh Pemprov NTT merilis berjibun destinasi wisata yang bakal dilalui peserta pelayaran akbar tersebut. Sejumlah destinasi unggulan yang sudah terkenal, antara lain, Taman Nasional Komodo di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Begitu juga, Taman Nasional Kelimutu yang terkenal lewat danau tiga warnanya. Ada lagi tradisi perburuan paus dengan senjata tradisional di Lembata. Juga Liang Bua, gua prasejarah yang pernah ditinggali Homo Floresiensis, manusia kate dari Flores.
 
Sedangkan, sajian budaya yang masuk destinasi unggulan, antara lain, Wae Rebo, desa mini di Kabupaten Manggarai yang terkenal karena rumah-rumah tradisionalnya yang berbentuk kerucut, dan Semana Santa, tradisi arak-arakan warga Larantuka saat memperingati wafatnya Isa Almasih (Jumat Agung).
 
Di antara puluhan destinasi ternama, Sail Komodo 2013 tetap berupaya memunculkan tempat-tempat wisata "alternatif" yang gaungnya belum terdengar itu. Termasuk, Kolam Susuk di Atambua.
 
Meski disebut sebagai tempat wisata, hari-hari di Kolam Susuk terasa begitu sepi. Saat Jawa Pos mendatangi tempat tersebut pada Rabu lalu (3/4), sama sekali tidak ada pengunjung di sana. Tidak tampak pula seorang penjaga. Yang ada justru kambing-kambing yang berkeliaran sembari mengeluarkan kotoran sesuka hati. Bau.
 
"Biasanya ramai kalau Sabtu, Minggu, atau hari libur," ungkap Paul Britto, warga Atambua. Paul dan keluarganya mengungsi dari Timor Timur saat pergolakan kemerdekaan bekas provinsi ke-27 Indonesia itu pada 1999. Kala itu, Paul masih SMA. Kini dia sudah bekerja sebagai staf salah satu perusahaan daerah di Kabupaten Belu.
 
Dari Atambua, jalur menuju Kolam Susuk sejatinya cukup asyik. Perjalanan dengan menggunakan sepeda motor hanya sekitar setengah jam. Jalurnya berkelok-kelok, naik turun, melewati lembah dan tebing. Tapi, jalannya beraspal mulus. Hanya ada satu"dua ruas yang diperbaiki lantaran ada bekas longsor.
 
Pemandangan di Kolam Susuk tampak elok. Kolam itu berupa danau besar yang alami. Di sekelilingnya terlihat tebing-tebing yang menjulang tinggi seolah-olah melindungi keasrian Kolam Susuk. Di sana sini terdapat pohon kedondong hutan dan bakau yang membuat Kolam Susuk terasa berangin sejuk meski matahari menyengat.
 
Meski sepi, satu"dua perubahan terus diupayakan secara perlahan oleh pemerintah setempat. Misalnya, di beberapa sudut terlihat bungalo-bungalo kecil untuk tempat berteduh. Ada pula bungalo besar yang menjorok ke salah satu kolam, tempat orang bisa menikmati bandeng bakar yang dimasak secara khas.
 
Ya, Kolam Susuk sejatinya adalah tambak besar tempat mengembangbiakkan ikan bandeng. "Kalau musim panen, bandeng murah sekali di sini," kata Paul. Karena itu, melalui dinas perikanan dan kelautan, Pemkab Belu pun ikut menggarap Kolam Susuk sebagai wisata tambak.
 
Salah seorang warga di Atambua menuturkan, masa-masa panen bandeng adalah puncak arus wisatawan. Biasanya ada ritual adat sebelum proses panen dimulai. "Yang ajaib, setelah upacara adat itu, ikan-ikan berlompatan dari dalam kolam," ungkapnya. Persis dengan lagu Koes Plus, "ikan dan udang menghampiri dirimu..."
 
Kolam Susuk bukan satu-satunya tempat wisata alternatif di Atambua. Di dekat Kolam Susuk terdapat Teluk Gurita, salah satu dermaga penyeberangan di Kabupaten Belu. Jarak antara Kolam Susuk dan Teluk Gurita tidak begitu jauh. Hanya sekitar 3 kilometer. Tapi, jalannya... minta ampun. Berkelok-kelok dan naik-turun dengan kemiringan yang tajam. Beberapa penggal juga longsor hingga menyisakan separo badan jalan. Selain itu, aksesnya bukan aspal mulus. Jalannya berupa jalur berbatu-batu. Paul Britto yang mengantar Jawa Pos ke sana beberapa kali menggerutu. "Parah sekali," keluhnya sembari bermanuver memakai motor.
 
Namun, sesampai di Teluk Gurita, "penderitaan" itu terbayar. Teluk tersebut apik banget. Layak memang dijadikan salah satu tempat bersandar para peserta Sail Komodo 2013.
 
Teluk Gurita yang dalam bahasa setempat disebut Kuit Namon itu sudah lama menjadi tempat pendaratan. Lautnya dalam sehingga airnya tampak sangat biru. Lantaran berbentuk teluk, ombak pun jarang datang. Teluk itu juga dipagari bukit-bukit yang menghijau. Pasirnya yang kecokelatan tampak halus. Pas sebagai sebuah dermaga penyeberangan. "Biasanya ini untuk penyeberangan ke Pulau Alor," terang Paul.
 
Dalam sejarah, pedagang Asia hingga Eropa dulu pernah menyinggahi Teluk Gurita untuk mencari komoditas cendana. Konon, ada kapal Spanyol yang dililit gurita raksasa hingga tenggelam ke dasar teluk. Hingga kini, bangkai kapal itu masih berada di dasar teluk dan berubah menjadi terumbu karang. Saat Jepang masuk, Teluk Gurita difungsikan sebagai pendaratan kapal. Begitu pula ketika Sekutu datang mengusir Jepang.
 
Seperti halnya Kolam Susuk, pada hari-hari biasa, nyaris tak ada pengunjung di Teluk Gurita. "Kalau Minggu atau tahun baru, pantainya tidak kelihatan. Yang terlihat hanya orang-orang piknik," cerita Paul.
 
Sebagai sebuah destinasi wisata alternatif, Kolam Susuk dan Teluk Gurita sudah punya modal yang kuat. Tugas besar yang diemban pemerintah setempat ialah memasarkan plus menyediakan infrastruktur pariwisatanya. Itulah yang ingin didorong lewat perhelatan Sail Komodo 2013.
 
Kabupaten Belu juga punya Lahurus, dataran tinggi nan sejuk, tempat warga Atambua memperoleh jaringan air bersih. Lahurus terkenal lantaran kawasan tersebut punya Gereja Katolik St Petrus, gereja tertua di Pulau Timor. Lahurus juga moncer lantaran menjadi tempat kelahiran Gabriel Yohanes Wilhelmus Manek, salah seorang pastor pribumi pertama di NTT. Gabriel Manek akhirnya menjadi uskup pertama di Larantuka.
 
Kini di tempat kelahiran Gabriel Manek itu didirikan kapel megah untuk mengenang pastor yang begitu peduli dengan kaum papa tersebut. Di belakang kapel itu ada sendang (mata air) yang airnya dingin dan menyegarkan. Sesekali ada peziarah yang berdoa dan mengambil air di sendang tersebut.
 
Gabriel Manek yang sangat dihormati warga NTT itu meninggal dunia di Amerika Serikat pada 1989. Pada 2007, jenazahnya dipulangkan kembali ke Larantuka. Yang menakjubkan, jenazah dan pakaian yang dikenakan Gabriel Manek masih utuh seperti saat meninggal 18 tahun sebelumnya.
 
Kini jenazah utuh itu disemayamkan dalam sebuah peti besi di tengah-tengah ruang kaca pada salah satu biara di Larantuka. (*/c4/ari/bersambung)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dari Keluarga Sederhana, Kuliah Tak Minta Orang Tua

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler