Di tengah pandemi COVID-19, sejumlah universitas di Australia mengurangi staf dan dukungan bagi program Asia. Menurut pakar keputusan ini malah akan mempersempit peluang Australia untuk memahami dan berbisnis dengan negara-negara Asia.
Minggu lalu, La Trobe University mengumumkan rencana untuk memberhentikan sekitar 200 karyawannya karena kehilangan pendapatan sebesar A$165 juta, atau lebih dari Rp1,7 triliun.
BACA JUGA: Diaspora Indonesia dan Warga Australia Bersama Membantu Indonesia di Tengah Pandemi
Berkurangnya pendapatan ini, menurut Wakil Rektor John Dewar adalah karena ketergantungan universitas terhadap mahasiswa internasional selama ini.
Akibatnya, La Trobe Asia, lembaga dengan misi mengembangkan bidang akademis serta hubungan dengan negara Asia, hanya akan memperkerjakan satu orang karyawan paruh waktu. Padahal sebelumnya ada tiga karyawan di lembaga ini.
BACA JUGA: Ketidakpercayaan Warga kepada Aparat Hambat Vaksinasi di Papua
Perubahan ini, menurut direktur La Trobe Asia, Bec Strating, akan "sangat mengganggu efektivitas kinerja La Trobe Asia".
"Di tengah ketidakpastian dan persaingan geopolitik, kita justru perlu menambah interaksi dengan Asia, bukannya mengurangi," ujarnya.
BACA JUGA: Permintaan Ekspor Wagyu Meningkat Saat Pandemi dan Australia Ikut Merasakannya
"Ini adalah bagian dari tren melemahkan program Asia di sektor perguruan tinggi, yang turut membatasi kemampuan negara untuk lebih bergaul dan memahami negara tetangga kita."
Ia berharap agar Pemerintah Australia serta perguruan tinggi memberikan dukungan lebih pada studi, bahasa, serta program-program lainnya yang berhubungan dengan Asia.
La Trobe University sempat menerima kritik setelah menutup program Bahasa Indonesia tahun lalu, meski akan tetap mengajarkan bahasa Mandarin, Jepang, India, dan menawarkan jurusan Studi Asia.
Sementara itu, University of Western Australia (UWA) di Australia Barat berencana untuk mengurangi staf peneliti Studi Asia, termasuk ilmu antropologi dan sosiologi, dan fokus pada pengajaran bahasa.
Menurut juru bicara UWA penyebabnya adalah mereka sedang melakukan "reformasi struktural" demi mencapai "keberlanjutan finansial dan perbaikan strategis".
Keputusan yang "berlaku di segala bidang mata kuliah universitas" dan "disesali" ini, menurutnya, menyebabkan "hilangnya beberapa pekerjaan yang tidak bisa dihindari".
Kepada ABC, juru bicara tersebut mengatakan ilmu terkait sosial dan kemasyarakatan merupakan salah satu bidang yang sistemnya diubah duluan.
"Studi bahasa Asia akan ditunjang dengan ilmu yang fokus pada pengajaran." 'Seperti mayat hidup berlatar belakang profesional'
Keputusan ini mempengaruhi banyak pihak, termasuk para akademisi yang berkecimpung di bidang Studi Asia.
Salah satunya adalah Gerald Roche, peneliti senior La Trobe yang memiliki spesialisasi di bidang etnis Tiongkok minoritas.
Ia berencana untuk meninggalkan sektor akademis setelah kontraknya habis di akhir tahun 2021.
"Saya istilahnya sudah seperti mayat hidup berlatar belakang profesional," kata Dr Gerald.
Menurutnya, satu-satunya pilihan yang tersedia bagi akademisi yang baru memulai karier mereka di bidang studi Asia adalah untuk pindah ke luar Australia.
Dr Gerald sempat menghabiskan delapan tahun di Tiongkok dan dua tahun di Swedia sebelum kembali ke Australia untuk tinggal lebih dekat dengan keluarganya.
Namun, ia menyadari bahwa studi Asia "hanyut" di negaranya sendiri.
Seorang siswi UWA bernama May Hawkins juga ikut terpengaruh.
"Dihilangkannya penelitian bidang ilmu kemasyarakatan dan ilmu Korea berarti bidang studi saya di UWA mati perlahan-lahan," katanya kepada Max Walden dari ABC.
John Hewson, profesor kebijakan publik di Australian National University (ANU) yang pernah menjabat sebagai kepala Partai Liberal Australia turut bersuara.
Menurutnya, pemberian ilmu bahasa Asia tanpa mengajarkan sejarah, politik, dan kebudayaan mencerminkan lemahnya pola pikir strategis pemerintah dan pihak manajemen universitas.
Pandemi COVID-19, menurutnya, seharusnya menjadi "kesempatan untuk mengatur ulang" dan membangkitkan sektor perguruan tinggi. Namun sayangnya "tidak ada yang dilakukan".
"Malah semakin mundur, karena sekarang [universitas] mengambil langkah konyol untuk membuat mereka terlihat baik." Membahayakan posisi Australia di Asia
Keputusan mengurangi program studi Asia di universitas dilakukan saat pemimpin bisnis, pendidik, dan pakar kebijakan publik mengatakan pemahaman tentang Asia sangatlah penting.
Partai Buruh sebagai pihak oposisi Pemerintah Australia mengatakan kegagalan pemerintah Australia menyediakan bantuan keuangan akibat pandemi bagi sektor perguruan tinggi menjadi penyebabnya.
"Serangan yang dilakukan [PM Australia] Scott Morrison kepada universitas merusak mata pencaharian dan membahayakan posisi negara kita di Indo-Pasifik," ujar Tanya Plibersek, Menteri Bayangan Pendidikan Australia.
Ia mengatakan di tahun 2020, lebih dari tiga perempat ekspor Australia senilai A$330 triliun adalah ke negara Asia.
"Mencegangkan melihat Scott Morrison memberikan akses JobKeeper pada perusahaan yang mencari keuntungan dan sengaja mengecualikan universitas."
Universitas dengan omset tahunan kurang dari A$1 triliun dapat mengakses skema bantuan keuangan bernama 'JobKeeper' jika dapat memberikan bukti penurunan 30 persen pendapatan lebih dari enam bulan terakhir.
Berbeda dengan perusahaan bisnis atau amal yang hanya perlu menunjukkan bukti satu bulan terakhir.
Juru bicara Departemen Pendidikan Australia mengatakan pemerintah "tidak mengetahui keberadaan universitas [besar Australia] yang pendapatannya menurun tajam di tahun 2020", sehingga harus butuhkan 'JobKeeper'.
"Pemerintah Australia mengetahui pentingnya pendidikan bahasa di universitas dan sekolah," ujar juru bicara departemen tersebut. Haruskah Australia lebih fokus pada komunitas Asia?
Michiko Weinmann, peneliti studi bahasa di Deakin University, mengatakan Australia melihat bahasa Jepang, Mandarin dan Korea sebagai "bahasa strategis untuk keperluan perdagangan".
Sementara Bahasa Vietnam, Indonesia, India, dan Tagalog, dianggap sebagai bahasa yang dipakai komunitas tertentu.
"Penentuan posisi ini menyebabkan studi bahasa menjadi 'rentan' saat prioritas politik dan ekonomi bergeser, contohnya waktu peristiwa Balibo di Bali menyebabkan penurunan minat belajar Bahasa Indonesia," katanya.
Menurutnya, jika Australia menganggap pemahaman terhadap Asia sebagai hal yang penting, pemerintah perlu mengutamakan komunitas Asia pula.
"Penelitian menemukan [komunitas Asia] seringkali tidak dilibatkan dalam hal pengambilan kebijakan," katanya.
"Ini mungkin salah satu alasan mengapa tingkat kesuksesan pengembangan literasi terhadap Asia tidak konsisten."
Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan ABC dalam bahasa Inggris
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tentara Mulai Berpatroli di Sejumlah Wilayah di Sydney untuk Membantu Polisi Menegakkan Aturan Lockdown